Sebagai generasi 90-an, saya hanya mengenal Wahyu Sardono alias Dono Warkop sebagai pekerja haha-hehe belaka. Ia sangat lucu sebagai aktor film komedi. Itu saja. Kehadirannya di Warkop DKI bersama Kasino dan Indro (meski saya tetap menyebutnya “Film Dono”) nyaris selalu berhasil membuat generasi kami tertahan di saluran TV yang menyiarkan mereka.
Tak ada yang memberitahu bocah-bocah ingusan seperti kami, kala itu, bahwa Dono Warkop adalah penyiar radio Prambors yang membawakan program ngetren circa 1973: Obrolan Santai di Warung Kopi; aktivis mahasiswa yang kritis pada rezim otoritarian Orde Baru; dosen sosiologi di Universitas Indonesia; atau tak kalah penting: seorang penulis handal dengan cara bertutur reflektif nan menyentil yang khas.
Saya sendiri baru tahu belum lama ini. Itu pun hasil mencari-cari sendiri. Tak ada yang memberitahu. Saya membaca satu-dua esainya, dan terakhir, saya rampungkan salah satu noveletnya. Novelet yang tak sengaja saya temukan di toko buku bekas depan Stasiun Lenteng Agung, saat mampir. Setelah dipikir-pikir cukup beruntung juga, mengingat novel pendek berjudul Senggol Kiri, Senggol Kanan itu adalah karya pamungkas almarhum Dono yang sudah tak cetak lagi.
Tapi tenang, di sini saya akan membedahnya. Tidak semua memang. Saya hanya akan menunjukkan anomali-anomali menarik dalam novelet bergenre roman-komedi ini. Pasalnya, latar belakang Dono sebagai aktivis sangat memengaruhi isi buku yang seharusnya berisi kisah menye-menye dua insan yang sedang mabuk asmara. Tapi nyatanya tak selalu begitu.
Senggol Kiri, Senggol Kanan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka pada tahun 2009. Satu dekade sebelumnya, tahun 1999, penerbit yang sama juga menerbitkan tiga novel Dono yang lain: Dua Batang Ilalang, Bila Satpam Bercinta, dan Cemara-Cemara Kampus. Agak berbeda dengan tiga buku sebelumnya, Dono menginginkan karyanya ini berbentuk novelet seratusan halaman dan dibuat berseri. Tapi takdir berkata lain, Dono keburu berpulang. Ia tak pernah merampungkan serinya. Bahkan ia tak sempat melihat buku pertama dalam seri ini terbit.
Dalam Senggol Kiri, Senggol Kanan, Dono sebenarnya ingin menceritakan seorang laki-laki beristri yang terlibat perselingkuhan (affair) dengan wanita lain. Ia menuliskannya dengan bahasa yang sederhana, bahkan cenderung nge-slang, kuat dalam penokohan, dan cukup detail dalam pendeskripsian. Meski banyak humor-humor lucu yang diselipkan, tapi acapkali juga terasa garing dan terlampau komikal.
Adalah Mas Gabus, sang tokoh utama dalam novelet 135 halaman ini. Secara fisik, sepertinya Dono ingin menciptakan gambaran atas dirinya (sembari menertawakan diri sendiri) melalui karakter utama, sebagaimana materi leluconnya di film-filmnya. Atau mugkin juga tidak.
“Badan Mas Gabus ini kerempeng, tulang pipinya agak menonjol, giginya berlomba dengan mulutnya, tapi masih bisa mingkem jika berhadapan dengan wanita cantik. Tapi kalau lagi flu, ya maaf saja. Mulut Mas Gabus nganga kayak ikan mujair, habis nggak bisa napas dari hidung,” tulis Dono.
Karakterisasi di atas cukup gerrr untuk permulaan cerita. Memang, dalam beberapa detail Dono cenderung lucu. Barangkali di situ keahliannya. Sama seperti upayanya ketika hendak menjelaskan keberadaan kampus Mas Gabus: “Universitas ini lokasinya di dalam gang. Gang Haji Dul Wahid, RT 06 RW 03, ujung musala belok kiri. Mobil nggak bisa masuk, jadi harus ditempuh dengan jalan kaki. Karena jemuran malang melintang di sepanjang gang, kalau jalan pun harus hati-hati, supaya celana dalam tidak sampai nyangkut di kepala.”
Sebagaimana yang dibahas di awal, novelet ini tak hanya lucu dan romantis, ia menyelipkan sebuah anomali yang tak sewajarnya ada di genre roman-komedi, yaitu kritik politik. Berbagai kritik (baik implisit maupun eksplisit) umumnya ditujukan kepada pemerintahan Orde Baru. Sedangkan sisanya menyasar instansi kepolisian, budaya korupsi yang mewajar, loyonya hukum, dan sebagainya.
Adegan Mas Gabus melawan tiga preman adalah kritik pertama yang menyentil. Alkisah, ia berhasil mengalahkan tiga pria berotot itu berkat alat setrum pemberian temannya yang menjadi polisi. Alat yang biasa digunakan pada waktu menghadapi demonstran, katanya.
Dono menulis, “Waktu Mas Gabus menerima alat itu, ia bertanya kenapa barang inventaris negara itu bisa gampang dipindahtangankan. Kawannya menjawab, ‘Karena saya sudah kerja lebih dari dua puluh tahun, sudah tak jelas lagi mana barang milik negara, mana milik pribadi.’”
Sebagai karya sastra, pemilihan diksi dan istilah oleh pengarang adalah sesuatu yang perlu ditelusuri. Ia bisa bermakna ganda, multitafsir, homonim, atau simbolik. Seperti dalam adegan kala Mas Gabus kencan dengan Kirana, selingkuhannya, di sebuah restoran agak mewah.
Mas Gabus memesan menu daging sapi bernama “Le Coup d’Etat”. Kalau mau ditelusuri, Le Coup d’Etat bisa saja sekadar nama daging biasa, tapi bisa pula bermakna lain. Kata coup d’état (dalam bahasa Prancis dilafalkan kudeta) atau kup merujuk pada definisi penggulingan pemerintahan berkuasa secara tiba-tiba oleh kelompok kecil melalui upaya kekerasan. Kalau makna terakhir benar, kita pasti tahu sindirian itu ditujukan untuk siapa, bukan?
Karakter lain, yaitu Bibik, dalam beberapa kesempatan mendapat jatah cukup banyak untuk menyelipkan kritik. Pembantu Kirana tersebut dihadirkan dalam kontradiksi antara stigma pekerja rumah tangga yang pasif dan berwawasan sempit dengan semangat perlawanan aktif dan wawasannya yang luas.
Seperti dalam adegan ketika Kirana sedang ada masalah dengan Mas Gabus, ia menyuruh pembantunya itu sambil membentak. Meski nurut, Bibik tetap nggrundel, “Nyuruh aja kok bentak-bentak. Mending gajinya naik! Nanti kalau dilaporkan ke LSM Advokasi Pembantu, baru tahu. Didemo lu.”
Begitu pula dalam adegan perdebatan sengit antara Mas Gabus dan Bibik. Tepatnya ketika Mas Gabus berbelit-belit saat ditanya Bibik, Dono menuliskan adegan tersebut sebagai berikut: “’Jangan bikin bingung. Situ itu kayak anggota parlemen saja, suka membuat konstituennya bingung!’ pembantu Kirana nyerocos, kayak tembakan aparat kalau berhadapan dengan demo mahasiswa.”
Satu tepuk dua lalat! Dono mendaratkan kritiknya pada parlemen dan aparat sekaligus dalam satu adegan pendek.
Perdebatan terus berlanjut. Kritik pun makin frontal. Ajaibnya, kritik yang terselip dalam adu mulut dua orang dewasa ini tetap relevan hingga sekarang. Alkisah, setelah Bibik terus mereka-reka alasan supaya Mas Gabus segera cabut dari rumah Kirana, Mas Gabus pun akhirnya kesal karena merasa dikibuli. Lalu terjadilah dialog berikut:
“He! Situ jangan bohong ya! Nanti saya laporkan polisi baru tahu!”
“Polisi? Nggak takut! Sekarang ini hukum sedang sakit. Kalau cuma bohong saja, saya nggak bakalan masuk penjara! Polisi bisa disogok saja kok susah!”
“Wah, menghina polisi!”
“Mau menghina… mau menghujat, itu urusan saya sendiri. Kenyataannya polisi bisa disogok!”
“Itu oknum! Bukan lembaga polisi!”
“Eh, lembaga itu kumpulan oknum. Lha, kalau 99 persen oknum bisa disogok, apa nggak boleh dikatakan kalau polisi memang bisa disogok?!”
Begitulah. Berbagai kritik di atas hanyalah sebagian gambaran dari kenakalan dan kekritisan Dono Warkop melalui sejumput karyanya. Meski Senggol Kiri, Senggol Kanan ditulis pasca-reformasi, tapi trauma represi Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari ingatan para aktivis kala itu. Dono salah satunya.
Saya akui ia sangat berani. Saya akui pula ia adalah sosok yang kreatif dan cerdas. Semangat Dono adalah bara yang perlu kita adopsi hari ini. Sebagaimana ia selalu mengajak kita melalui pesan di kaos putihnya dalam sebuah potret, “JOIN US! WE FIGHT FOR A CLEAN GOVERNMENT.”