Selubung Wacana di Balik Kebijakan Masuk Sekolah Pukul 05.00 Pagi di NTT

Selubung Wacana di Balik Kebijakan Masuk Sekolah Pukul 05.00 Pagi di NTT

Akses menuju sekolah saja masih jauh, bahkan ada yang masih sulit dan menantang, seperti melewati lembah dan sungai. Jadi, ini mau sekolah apa hiking…?

Selubung Wacana di Balik Kebijakan Masuk Sekolah Pukul 05.00 Pagi di NTT

Beberapa hari belakangan diskusi tentang kebijakan masuk sekolah pukul 05.00 Wita oleh Gubernur NTT, Victor Bungtilu Laiskodat bergulir liar dalam ruang publik nasional. Semua masyarakat dari berbagai golongan, dari daerah hingga pusat ramai-ramai mendiskusikan dan mengkritik kebijakan tersebut, bahkan ada yang mencibir sang pembuat kebijakan.

Media-media lokal dan nasional tak tinggal diam, menjadikan kebijakan ini sebagai konten berita dan tema diskusi. Sang Gubernur menjadi sasaran dan bulan-bulan kritik dan suara sarkas dalam media sosial, sebagai konsekuensi dari kebijakan yang dinilai out of the box tersebut.

Sebagaimana diketahui, kebijakan masuk sekolah pukul 05.00 Wita ini diungkapkan oleh Gubernur Victor dalam pertemuan dengan sejumlah guru serta kepala SMA dan SMK di Kota Kupang, Rabu (23/2/2023).

Tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan dan menempa karakter, kedisiplinan dan etos kerja para siswa, sehingga para siswa NTT bisa bersaing di perguruan tinggi ternama, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Hal senada diafirmasi oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi. Katanya, alasan penerapan aturan masuk sekolah pukul lima pagi adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di NTT. Kebijakan yang dikhususkan untuk siswa kelas XII ini sudah dan sedang diterapkan di 10 sekolah menengah atas di Kota Kupang.

Tulisan ini tidak hanya bermaksud membaca scara kritis kebijakan masuk sekolah pukul 05.00 wita tersebut. Saya juga ingin melihat dari kacamata lain terkait kebijakan yang direspon banyak pihak dari berbagai kalangan ini.

Kualitas Pendidikan di NTT vs Masuk Sekolah Pukul 05.00 Wita

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2020, kualitas Pendidikan Nusa Tenggara Timur masih berada pada posisi tiga dari belakang, hanya mengungguli Provinsi Papua dan Papua Barat.

Bagi Philipus Tule, Rektor Unwira Kupang, dalam sebuah diskusi publik Empat Tahun Kepemimpinan Victory-Joss, salah satu persoalan yang masih melilit tubuh NTT dari dulu hingga sekarang adalah persoalan terkait kualitas Pendidikan.

Lebih dari itu, masih ada resesi ekonomi dengan dampak jutaan orang akan jatuh miskin di NTT secara khusus akibat usaha gagal, putus sekolah hingga tugas belajar menjadi terganggu.

Praktisi Pendidikan yang sudah mengabdi di dunia Pendidikan hampir 50 Tahun ini, mengaku bahwa ada banyak persoalan yang membuat Pendidikan NTT tidak maju dan tidak berkualitas. Ini seperti masalah ketimpangan dan biaya sekolah yang mahal.

Tambahan lagi, sarana sekolahan, kualitas serta tunjangan para guru (honorer), termasuk juga akses atau infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (internet) rupanya masih kurang menggembirakan.

Terkait teknologi informasi, misalnya, dalam data statistik BPS 2020 tercatat bahwa akses internet dalam dunia Pendidikan di NTT masih rendah. NTT masih berada pada posisi buntut (89,04%), di atas Maluku (88,88%), Maluku Utara (85,99%), Papua Barat (82,51%) dan Papua (60,07%).

Selain itu, sebagaimana tercatat dalam databoks.katadata.co.id (11/06/2021), gaji tenaga pendidikan honorer di NTT juga masih berkisar 200 ribu hingga 750 ribu rupiah. Hal ini diakui oleh salah seorang guru honorer di salah satu SMKN di Ende, NTT kepada republika.co.id (27/11/2021).

Menurut guru tersebut, gaji yang dia dapat adalah sebesar 700 ribu rupiah per bulan. Mirisnya, angka ini jauh dari yang dicatat BPS, bahwa upah jasa pekerja Pendidikan di NTT pada tahun 2019 sebesar 1,96 juta per bulan, meskipun upah yang dimaksud masih yang terendah dibandingkan provinsi lain.

Inilah berbagai persoalan mendasar dalam dunia pendidikan di NTT. Karena itu, tidak mengherankan ada banyak kritik dan suara sarkastis yang muncul ketika Gubernur NTT mengeluarkan kebijakan untuk memajukan jam sekolah dari yang biasanya pukul 07.00 Wita ke pukul 05.00 Wita.

Masyarakat pada umumnya, serta beberapa para “pengamat” pendidikan melihat secara jamak kebijakan ini dari segi kesehatan. Juga, kebijakan tersebut dianggap sangat ganjal atau kontradiktif dengan situasi kontekstual di NTT.

Bayangkan, akses menuju sekolah saja masih jauh, bahkan ada yang masih sulit dan menantang, seperti melewati lembah dan sungai. Seorang kawan pun berseloroh, “jadi, ini mau sekolah apa hiking…?”

Kembali ke Bapak Victor. Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di NTT, Gubernur NTT sepertinya mengeluarkan kebijakan yang tidak sinkron dengan persoalan mendasar yang disebutkan di atas.

Hal itu laksana “gatal di kepala, tapi garuknya di pantat”. Alih-alih memperhatikan sektor urgen yang terkait erat dengan kualitas pendidikan seperti kualitas sarana pendidikan, mutu dan kualitas serta tunjangan guru (honorer), juga infrastruktur teknologi komunikasi dan informasi, Sang Gubernur malah membuat daftar tambahan deretan persoalan dalam dunia Pendidikan NTT. Hadeh

Pada titik ini, saya lalu menyimpulkan bahwa kebijakan yang terkesan dibuat secara sepihak oleh pemerintah provinsi NTT ini mempunyai maksud terselubung.

Pertanyaannya, mengapa Pemprov NTT justru memilih kebijakan yang tidak biasa ini (untuk tidak dikatakan aneh) sebagai langkah untuk memajukan Pendidikan di NTT? Apa tujuan Gubernur Victor menggaungkan kebijakan ini?

Saya melihat ini bukan murni dan tunggal untuk meingkatkan kualitas pendidikan di NTT. Dari kacamata teori wacana, kebijakan ini boleh jadi merupakan strategi sang Gubernur untuk menarik perhatian nasional terhadap masalah di daerah NTT.

Gubernur seakan tidak mau, pemerintah pusat hanya terus mengembangkan sektor pariwisata di NTT, tanpa memperhatikan secara khusus sektor pendidikannya. #aplausebuatbapak!!

Problem Wacana Sekolah Jam 05.00 Wita

Wacana yang dimaksud dalam tulisan ini, bukan wacana dalam arti umum, seperti sebuah konsep yang belum dan/atau akan terwujud. Wacana yang saya maksud di sini memliki makna yang lebih luas dari konsep umum di atas.

Wacana (discourse) dipahami lebih luas dari teks (text). Ini menurut bapak duta wacana, Michel Foucault, sebagaimana dikutip Ari Subagyo (2018: 17).

Lebih dari itu, wacana juga dimengerti sebagai praktik sosial (Fairclough, 2010) dan tindakan sosial (van Dijk, 1997). Karena itu, wacana terkait erat dengan praktik sosial yang berdaya memengaruhi kognisi dan pola pikir serta cara pandang masyarakat.

Bertolak dari penjelasan ini, saya beranggapan bahwa memajukan jam sekolah bukan merupakan sebuah jawaban untuk mengatasi kemerosotan kualitas pendidikan di NTT.

“Memajukan jam sekolah” lebih dilihat sebagai sebuah permainan wacana Gubernur NTT untuk membangun kesadaran kritis masyarakat NTT. Ini juga merupakan bagian dari cara Gubernur NTT untuk membuka mata nasional dalam melihat persoalan Pendidikan di NTT.

Artinya, Gubernur NTT sedang melemparkan persoalan Pendidikan di NTT bukan hanya sebagai persoalan daerah tetapi juga persoalan nasional. Mata dan kesadaran nasional seolah sedang dipaksa-buka oleh Gubernur NTT melalui kebijakan yang sangat kontroversial sekaligus out of the box ini.

Gubernur NTT di sini menjadi aktor pengontrol wacana yang sukses membuka mata nasional. Target utama wacana ini bukan hanya respon masyarakat lokal, tetapi juga lebih pada tanggapan serta respon dan tindakan konkrit pemangku kepentingan nasional.

Sebagaimana diketahui, ada beberapa tokoh nasional yang memberikan tanggapan terkait kebijakan ini. Termasuk juga, beberapa media nasional, seperti CNN Indonesia, Tempo, Cnbcindonesia, Kompas.com, Kompas TV, INews, dan TvOne memberitakan kebijakan sekolah dari ba’da subuh ini.

Di titik ini, Victor tentu berhasil memainkan perannya sebagai pengontrol wacana. Namun di balik itu semua, penting untuk dicatat bahwa memajukan jam sekolah sebagai upaya meningkatkan kualitas Pendidikan di NTT harus dikaji secara mendalam dengan berbasis pada konteks lingkungan NTT sendiri.

Baca Juga, Tiga Perempuan Ulama dari Indonesia Timur yang Jarang Kita dengar

Sebagian besar sekolah di NTT bukanlah sekolah berasrama, seperti Pesantren atau Seminari yang mudah dikontrol. Murid-murid di NTT tersebar pada berbagai wilayah dengan topografi yang sangat sulit untuk dijangkau dalam waktu singkat, apalagi kalau badai atau musim hujan. Artinya, sekolah jam 5 sangat tidak sesuai dengan konteks dan topografi di NTT.

Tambahan lagi sarana sekolah, kualitas dan tunjangan guru (honorer), serta infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi yang minim, seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah provinsi dalam membenahi kualitas Pendidikan. Memajukan jam sekolah hanya berpotensi melahirkan persoalan baru dalam dunia Pendidikan, seperti masalah kesehatan dan psikologis siswa dan guru.