Orang-orang yang mendapat anugerah hafal al-Qur’an, paham al-Qur’an dan berbagai prestasi apapun berkaitan dengan al-Qur’an harus selalu mewaspadai munculnya sifat dan perasaan “paling benar/baik/sholih”, karena ini sangat berbahaya bagi perjalanan ibadahnya.
Cukuplah dia bersyukur dan berusaha menebar rahmat kepada orang lain sebagai upaya membalas anugerah Allah berupa al-Qur’an kepadanya.
Ketika Ibnu Katsir menafsirkan Q.S. Al-A’raf ayat 175, yang berbunyi:
{وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آَتَيْنَاهُ آَيَاتِنَا فَانْسَلَخَ .. الآية {الأعراف: 175
Beliau meriwayatkan sebuah hadist riwayat Abu Ya’la, dari Hudzaifah al-Yaman Ra yang diriwayatkan dari Nabi Saw, beliau bersabda:
«إن مما أتخوفَ عليكم رجلٌ قرأ القرآن، حتى إذا رُئِيتْ بهجتُه عليه، وكان رِدْءًا للإسلام، اغتراه إلى ما شاء الله، انسلخ منه، ونبذه وراء ظهره، وسعى على جاره بالسيف، ورماه بالشرك»
“Sesungguhnya di antara yang aku takutkan terjadi pada kalian adalah seseorang yang membaca al-Qur`an, sehingga terlihat pada dirinya pesona al-Qur`an, dia pun menjadi pendukung Islam; lalu ia tertimpa sesuatu yang dikehendaki Allah, kemudian terkuliti darinya (berbalik dari asalnya, keluar dari ajaran Islam) & melemparkannya ke belakang, diapun pergi ke tetangganya dengan membawa pedang & menuduh sang tetangga sebagai orang musyrik”.
Hudzaifah berkata:
يا نبي الله، أيهما أولى بالشرك : الرامي، أو المرمي؟
“Wahai Nabi Allah, siapakah di antara mereka yang lebih pantas dengan kesyirikan: yang menuduh atau yang dituduh?”
Rasulullah SAW bersabda:
«بل الرامي»
“Sang penuduhlah (yang lebih pantas dengan kesyirikan)”.
Naudzubillahi min dzalik
HR: Ibnu Hibban dan Al Bazzar dengan sanad yang jayyid, juga diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam “at Taarikh al Kabiir”