Bagi penggemar Adipati Dolken, nampaknya tidak akan bisa melewatkan film ‘Posesif’. Film ini sudah lama tayang di layar bioskop cukup lama. Film ‘Posesif’mengambil realitas nyata di kalangan anak muda. Yudhis dan Lala adalah dua orang siswa SMA yang pertama kali pacaran. Rasa cinta yang muncul dari keduanya membuat keduanya sulit terlepas. Yudhis sangat takut kehilangan Lala, begitu pun sebaliknya. Terkadang, tindakan kasar dari Yudhis seringkali dimaafkan atas nama cinta. Akan tetapi, Yudhis yang diperankan oleh Adipati Dolken seakan menjadi pria yang pengecut ketika dihadapkan oleh Ibunya dan Lala.
Menginjak pase terakhir sekolah, Yudhis dan Lala dihadapkan pada beberapa pilihan. Yudhis harus kuliah di ITB atas tradisi keluarga. Sementara Lala, harus kuliah di Universiras Indonesia. Keduanya mulai dilema apakah harus tetap bersama dan putus. Hingga akhirnya Lala tetap pada keputusannya. Hal ini tidak bisa diterima oleh Yudhis. Keduanya bertengkar hebat.
Kisah antara Yudhis dan Lala adalah kisah yang termasuk cinta buta bagi pelajar SMA. Hal yang perlu disoroti dalam film tersebut adalah tindakan seks pranikah yang diungkap secara tersirat. Seperti kissing, necking, petting sampai pada intercourse. Hal tersebut diungkap dari percakapan ketika Yudhis marah kepada Lala, menanyakan sudah berapa kali ‘dipakai’ oleh pria selain Yudhis. Bahkan dalam pacaran berpelukan, berciuman adalah sesuatu yang lumrah.
Kita perlu bercemin konsep hidup bersama yang terjadi di Amerika Serikat sudah mencapai 72 persen. Di mana, tidak lagi berlandasan pada moralitas agama. Tetapi, lebih bertumpu kepada hal yang rasional dan pragmatis. Bahkan sebagian besar berkata, hemat biaya karena hidup bisa patungan. Selebihnya bisa latihan untuk berumah tangga.
Dalam masa ini, dianggap sebagai tolak ukur menimbang kecocokan dengan pasangan. Bahkan menurut psikolog, hal ini bisa memicu semangat dan gairah hidup. Menurut Catherine Cohan, konsep hidup bersama lebih membuat seseorang lebih agresif melakukan kekerasan. Bukan hanya itu, sikap orangtua yang lebih permisif dalam menyikapi pacar anaknya menginap di rumah.
Berdasarkan data yang dihimpun, 60 persen di antaranya mengatakan tidak masalah dengan syarat tetap dalam pengawasan. 30 persen di antaranya mengatakan tergantung dalam kondisi tertentu. Sisanya 10 persen tetap menolak bagaimana pun alasannya. Menurut Psikolog, Wenny Wirawan, kebanyakan orangtua lebih berdamai dengan pergeserakan zaman, melapangan dada dan mengendurkan aturan. Dampak dari perkembangan zaman yang harus disikapi secara realistis. Menurut data yang diambil dari BKKBN, diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa. Bahkan, 800 ribu diantaranya terjadu di kalangan remaja. Beberapa wilayah lain di Indonesia, untuk wilayah bandung sendiri mencapai 47 persen.
Fenomena hidup bersama seperti ini, baik laki-laki dan perempuan sama-sama berpendapat bukan pada zamannya lagi menilai reputasi perempuan dengan sejauh mana ia masih perawan atau tidak. Tidak lagi menjamin langgengnya sebuah pernikahan. Bagi feminis, seksualitas merupakan hasil dari kontruksi sosial. Sesuatu yang diciptakan oleh masyarakat patriarki, bukan sesuatu yang bersifat biologi alamiah, serta ditata untuk mempertahakankan tatanan kekuasaan yang didominasi oleh kaum laki-laki.
Akar dari penindasan perempuan berasa dari kontrol laki-laki terhadapi seksualitas perempuan. Lalu seksualitas dijadikan isu politis bagi feminis. Para tokoh feminis radikal menganggap seksualitas sebagai kunci supremasi laki-laki. Bahkan menganalogikan kerja dalam kaitannya dengan alienasi perempuan. Seksualitas diyakini sebagai sesuatu yang dimiliki oleh perempuan tapi justru yang direnggut dari perempuan. sehingga perempuan teralienasi dari seksualitas miliknya sendiri.
Akan tetapi, prilaku seks seperti ini menjadi potret atas kegelisahan yang terjadi di pemerintah. Selain itu juga, memperlihatkan moralitas konvensional. Serta menekankan seks yang benar adalah hanya dalam institusi perkawinan saja. Ketika prilaku seksual dilembagakan, kepentingan pemuasan hasrat individu disubordinasikan kepada kepentingan masyarakat.
Sejak itu pula tindakan seksual perempuan diartikan sebagai bentuk pelayanan seksual kepada laki-laki yang diwajibkan. Dengan begitu, menjadi wajar untuk mengabaikan preferensi pilihan seksual perempuan. Di Indonesia, pengaruh feminis radikal dikembangan menjadi konsep feminis sosial. Contohnya pada kasus Inul yang bergoyang ngebor. Pembelaan terhadap Inul adalah presentasi perempuan kalangan bawah, berjuang untuk tetap bertahan di Ibu Kota. Lalu berhadapan dengan kekuasaan laki-laki, begitu banyak kritik terhadap kekuatan patriarki publik yang juga dimainkan melalui media.
Kapitalisme media dengan ekonomi libidonya yang mengambil manfaat mengarahkan hasrat konsumen (penonton), kepada erotisasi tubuh perempuan. Lebih dari itu, melibatkan fragmentasi tubuh perempuan sebagai wilayah yang dierotiskan yaitu pinggul, dada dan lain sebagainya. Hal hanya menjadi sasaran perjuangan kaum moralitas tradisional dengan kepentingan sendiri. Serta masih belum menjadi fokus utama bagi perjuangan feminisme. Bahkan menolak keberadaan Rancanangan Undang-undangn (RUU) Pornografi dan pornoaksi di DPR. Wilayah ini tidak tersentuh sama sekali.
Para perempuan mengikuti arus media, serta dengan senang hati atas nama kebebasan berekspresi mengikapi eksploitasi tubuh dan hasrat individu. Dalam dewasa ini, upaya kaum muda dalam menstranformasikan struktur perkawinan dan norma seksualitas konvensional. Reproduksi institusi hetroseksualitas terjadi dikalangan metropolitan, yang mengejar kenikmatan dan kebebasan seksual melalui pembentukan hasrat “erotisasi subordinasi”.