Sejak dahulu, dengan kelimpahan kecerdasan yang diberikan Allah kepada umat manusia, masyarakat mampu membaca tanda-tanda dari segala yang ada di alam. Secara naluriah manusia mencocokkan tanda dengan kejadian yang terjadi setelahnya: mendung pertanda akan hujan, gempa kecil menandai ada gunung akan meletus, dan bintang gemintang di langit menunjukkan waktu tepat untuk mulai berlayar ke laut lepas atau mulai bercocok tanam.
Manusia mendapat masukan informasi dari panca indera, dan pengalaman hidupnya membantu menerjemahkan masukan tersebut. Demikianlah kurang lebih bagaimana manusia menangkap pesan dari sekitarnya.
Kemudian kita patut bertanya, bagaimana informasi dicipta dan disalurkan dari satu pihak ke pihak lain?
Sebelum bicara lebih banyak tentang media, ada baiknya sedikit disinggung tentang media. Media, secara bahasa berarti alat atau perantara, demikian kurang lebih dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Mungkin secara sederhana, ia bisa dimaknai dengan wasilah, dalam bahasa Arab.
Informasi saat ini juga bisa kita simak dari media massa dan elektronik. Ada sebuah informasi nun jauh disana, lantas diliput dan ditulis ke kolom-kolom berita, juga stasiun-stasiun televisi. Ada hal yang dilaporkan oleh jejaring pengelola informasi, lantas mereka memanfaatkan media, baik digital atau cetak, visual maupun siaran radio, yang mampu membuat seseorang menyadari bahwa ada yang diberitahukan padanya di suatu tempat antah berantah.
Permisalan yang menarik dari kebudayaan Indonesia adalah pemahatan relief di candi-candi peninggalan banyak kerajaan Hindu atau Buddha. Relief adalah salah satu model media masa lampau dengan sudut pandang visual, dengan ukiran yang khas, dan cara menggambar yang mungkin bisa didapati waktu itu. Kita ambil contoh candi Borobudur, Anda pernah berkunjung ke sana? Ada sebuah model penceritaan lewat gambar yang sebenarnya menunjukkan kejadian pada masa itu. Untuk memahaminya, seseorang harus mengitari seluruh tingkatan dan sekeliling candi, serta sedikit jeli untuk mendapatkan informasi yang utuh. Demikianlah media visual yang dicipta pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Sejarah media di Indonesia kiranya sangat panjang. Mulai dari media prasasti, relief, lalu dikembangkan wayang. Hal ini untuk menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat. Ketika memasuki peradaban aksara yang lebih lanjut, berkembang kurir pos baik dengan merpati ataupun pasukan berkuda. Belum lagi ketika masyarakat Indonesia mengenal pengelolaan media massa, sejak berfungsi sebagai penyampai informasi sampai alat propaganda. Ulama Nusantara pun sejak awalnya juga turut berkontribusi kepada pemberian informasi kepada publik lewat karangan Babad, Serat, serta naskah-naskah kitab dengan aksara Jawi-Melayu ataupun pegon.
Perkembangan media menandakan betapa beragamnya keadaan masyarakat, dan rupanya orang-orang hari ini menuntut kecepatan. Cepat, akurat, aktual, bisa dipercaya. Media adalah aset penting dalam penghubung dari sebuah masa atau tempat, bahkan lebih dari sekedar penghubung, ia adalah alat perantara informasi yang mempengaruhi dan mencekoki kesadaran manusia.
Agama, Media dan Memberi Kepercayaan
Setidaknya karena dalam media ada banyak informasi yang disampaikan, maka masyarakat tak henti menimbang apa yang dilihatnya lewat media. Simpang siur segala artikel, berita, serta opini yang mondar-mandir di pikiran berusaha dipilah dan dipertimbangkan: manakah yang bisa dipercaya?
Islam sebagai model agama yang menyerukan pentingnya keteraturan, rantai penyampaian, serta kebenaran informasi dari setiap zaman tentu memperhatikan betul terkait ajarannya.
“Agama adalah sanad. Tiada agama bagi siapa yang tidak memperhatikan sanad”.
Dikenal istilah tawatur, yang secara bahasa berarti berturut-turut. Dalam agama Islam sumber hukum yang dirujuk kebanyakan berbicara dengan ketersambungan antara satu keterangan dengan yang lain, yang kecocokannya pun ditelaah untuk memastikan akurasinya. Konsep tawatur yang berbicara tentang banyaknya penerima informasi serta ketidakmungkinannya untuk membuat kesalahan juga kebohongan, menyebutkan bahwa Islam menekankan pentingnya ketersampaian informasi agama. Belum lagi jika kita menelaah perihal hadis, yang penting sekali peranannya sebagai sumber hukum agama Islam.
Seiring waktu, manusia mulai menyadari dirinya sebagai makhluk yang berkepentingan dan bersosial. Di balik runtutan informasi dari masa ke masa, seringkali terselip kepentingan di situ. Maka media dengan berbagai perkembangan teknologinya mampu menjadi semacam alat kepentingan.
Dengan banyaknya keterangan diterima seseorang, mau tidak mau ia harus mampu memilah apa yang menjadi kebutuhan dan kepercayaan. Objektifitas semacam ini menjadi penting dalam konteks agama, karena ajaran yang menyimpang dan menyalahi prinsip-prinsip, tentu akan menimbulkan chaos, sebentuk kekacauan. Kesadaran yang dimasuki informasi-informasi yang tidak perlu dan belum teruji kebenarannya, termasuk kehati-hatian dalam bertindak.
Informasi yang Membentuk Opini Publik
Seiring perkembangan, media dihadapkan pada segmentasi. Salah satu dampaknya adalah terbentuknya masyarakat yang terkotak-kotak oleh media. Ada sekelompok kaum yang percaya pada media tertentu, ada sebagian lainnya yang selalu menyandarkan infonya pada media lainnya. Akibat ketidakcocokan dan perbedaan referensi media, terjadilah seteru pemikiran, bahkan sampai terjadi perlawanan fisik.
Seperti kita singgung di awal bahwa media bisa jadi adalah perpanjangan tangan sebuah golongan. Informasi yang dibagikan, adalah menukar harga kesadaran yang harusnya tetap dipertahankan seorang individu.
Bagaimana membina sikap kritis dan objektif semacam itu, terlebih dalam menelaah media? Seiring dengan manusia yang mau terus belajar, maka ada waktunya banyak hal terjadi dan ternyata tidak sesuai prinsip-prinsip yang diajarkan oleh agama Islam.
Kajian telaah hadis mengajarkan untuk “melihat apa, bukan siapa”. Beberapa literatur menyebutkan bahwa aliran ideologi tertentu tidak menghalangi seseorang untuk menjadi periwayat hadis. Contoh, riwayat hadis yang diambil dari golongan Khawarij ataupun Syiah yang tentu harus tetap berada dalam koridor Islam. Karena itu, pada dasarnya kultur kajian keilmuan Islam harusnya tidak memandang siapa dan apa latar belakang sang pengampu ilmu.
Jangan sampai kepercayaan dan kebaikan menutupi sikap kritis dalam menimbang informasi, walau hal tersebut berkaitan dengan keterangan yang sudah dipercaya sebelumnya. Mencari keterangan lebih lanjut dari sumber yang teruji untuk dipercaya, menjadi harga yang penting. Sembari ilmu terus bertambah, sikap terbuka harus tetap dipertahankan, dialog menjadi yang diutamakan untuk menghadapi peradaban media yang cepat dan dinamis ini. Wallahu a’lam.