Sejarah Yerusalem adalah sejarah dunia. Yerusalem dulu pernah dipandang sebagai pusat dunia, dan kini pandangan itu bahkan lebih tepat dari yang pernah terjadi sebelumnya. Yerusalem kini menjadi fokus pertarungan antar agama Abrahamik, tempat suci bagi Yahudi, Kristen dan Islam. Yerusalem adalah Kota Suci, tapi ia juga selalu berdarah-darah karena menjadi dambaan dan sasaran rebutan aneka kekaisaran walau tak punya nilai strategis.
Yerusalem merupakan ibu kota dua bangsa (Arab-Yahudi) dan kuil tiga agama. Ia sebuah tempat yang begitu menggoda sehingga digambarkan dalam literatur sakral Yahudi dengan ciri-ciri feminim: seorang perempuan hidup yang selalu sensual, selalu cantik, tapi kadang menjadi pelacur, terkadang pula menjadi seorang putri yang terluka ditinggal sang kekasih.
Tak heran dia menjadi bahan tulisan dari banyak penulis yang menaruh perhatian pada agama, politik dan sejarah. Apalagi setelah Presiden AS, Donald Trump menambah guyuran bensin dengan mengklaim bahwa Yerusalem sepenuhnya adalah ibu kota Israel. Hal ini memperburuk perjuangan kemerdekaan Palestina yang juga mengklaim Yerusalem sebagai ibu kotanya. Perbincangan tentang Kota Suci ini kembali mengemuka.
Yerusalem merupakan salah satu kota tertua di dunia. Pada masa lalu, kota Yerusalem ini pernah berulang kali direbut, ditaklukkan, dihancurkan, dan dibangun kembali oleh berbagai pihak, dan seakan setiap lapisan buminya mengungkapkan berbagai potongan sejarah masa lalu. Namun, agar dapat objektif memandang konflik modern Israel-Palestina yang memperebutkan Yerusalem, sebaiknya kita merunut hingga akhir abad ke-19 sebelum pecahnya Perang Dunia I.
Awal Konflik Modern Israel-Palestina
Menjelang akhir abad ke-19, warga Yahudi banyak tersebar di daratan Eropa. Banyaknya perlakuan anti-semit di Eropa, membuat beberapa orang Yahudi memimpikan untuk kembali ke kampung halamannya (yang kala itu dikuasai oleh kekaisaran Ottoman Turki). Tahun 1897, muncul gerakan zionisme yang bercita-cita agar bangsa Yahudi memiliki tanah airnya sendiri. Dan, tidak semua orang Yahudi mengamini cita-cita politik zionisme.
Gerakan Zionisme yang didukung Dana Nasional Yahudi kemudian mendanai pembelian tanah di Palestina (yang masih daerah kekuasaan Ottoman Turki) untuk pembangunan permukiman para imigran Yahudi. Semakin banyaknya imigran Yahudi yang datang ke Palestina membuat kebutuhan tanah untuk pembangunan permukiman semakin tinggi. Konflik dan perebutan tak jarang terjadi antara pribumi Arab dan pendatang Yahudi.
Sementara itu, langkah menentang imigran Yahudi pun dilakukan penduduk lokal, khususnya warga Arab. Mereka mulai memprotes akuisisi tanah oleh pendatang Yahudi. Atas aksi protes ini, akhirnya Kekaisaran Ottoman Turki menghentikan penjualan tanah kepada para imigran dan orang asing. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Pada 1914, jumlah warga Yahudi di Palestina sudah mencapai 66 ribu orang!
Perang Dunia I pecah dan Kekaisaran Ottoman Turki kalah. Kekalahan ini mengakibatkan Kekaisaran Ottoman harus rela daerah teritorialnya diambil oleh pemenang perang. Pada mulanya, Inggris dan Perancis mendirikan daerah-daerah mandat, tetapi satu persatu negara-negara di Arab diberikan kemerdekaan: Yordania, Lebanon, Suriah, Mesir dan Irak. Hal ini sekaligus menandakan runtuhnya kekaisaran Ottoman Turki. Seandainya dalam kondisi damai, Palestina mungkin juga akan merdeka dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya.
Tetapi lobi warga Yahudi terhadap pemerintahan Inggris nampaknya berhasil. Hal ini ditandai dengan dinyatakannya “Perjanjian Belfour” pada 2 November 1917 oleh Inggris. Inti dari deklarasi tersebut adalah mengupayakan Palestina sebagai rumah bagi bangsa Yahudi. Pada masa ini, gelombang imigrasi Yahudi naik hampir dua kali lipat dari sebelumnya. (Bersambung)