Sedihnya Pengalaman Lockdown Corona di Maroko, Kami Dipanggil “Cina”

Sedihnya Pengalaman Lockdown Corona di Maroko, Kami Dipanggil “Cina”

Sedihnya Pengalaman Lockdown Corona di Maroko, Kami Dipanggil “Cina”
Jaber Abdulkhaleg/Anadolu Agency

Penyebaran dan dinaikkannya level virus corona menjadi Pandemi, kegelisahan saya dan teman-teman sebagai perantau di Negeri Seribu Benteng, Maroko, semakin bertambah.

Seperti yang dilansir oleh Hespress Maroko, per Senin (16/03/2020) ini, di Maroko sudah ada 37 kasus coronavirus dengan 1 orang meninggal dan 1 orang pulih. Secara angka, jumlah ini terlihat jauh lebih sedikit dibanding kasus corona di Indonesia. Tapi jika dilihat dari jumlah penduduk Maroko yang hanya sekitar 34 juta, persentase kasus di sini justru lebih besar.

Kabar baiknya, angin segar berhembus dari Pemerintah Kerajaan Maroko yang sudah menginstruksikan untuk lockdown (penguncian) sejak Senin sore (16/03/2020). Mulai dari penutupan tempat-tempat umum seperti restoran, kafe-kafe, bioskop, pemandian umum, lapangan, dan taman-taman.

Sedang polisi rutin berpatroli di blok kota-kota sembari menyerukan perintah “ilzamuu buyutakum, ilzamul buyuut! laa tukhoolithunnaas!” Yang berarti sebuah himbauan kepada masyarakat supaya #dirumahsaja / #khlikfdarek.

Selain itu, polisi yang berpatroli juga berupaya menutup kafe-kafe yang masih memaksa untuk tetap buka. Hampir semua penerbangan internasional dihentikan sementara. Namun imbauan ini tidak termasuk restoran yang melayani pesan antar, pasar-pasar, toko, dan supermarket yang masih diperbolehkan buka seperti biasa.

Yang menarik lagi adalah himbauan untuk tidak bersalaman yang dipasang di bannyak tempat. Himbauan ini pada dasarnya sangat berbanding terbalik dengan kebiasaan orang Maroko, yang mentradisikan saling sapa dengan cium pipi kanan dan kiri.

Baca juga: Tiga Identitas Keagamaan Muslim di Maroko

Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Kerajaan Maroko juga menginstruksikan agar madrasah-madrasah diliburkan, termasuk madrasah tempat saya belajar. Dari sini banyak mahasiswa Maroko yang lebih memilih pulang daripada menetap di asrama. Asrama pun sepi dan hanya hening jadi teman sehari-hari.

Pun dengan masjid, beberapa ada yang ditutup. Masjid Sa’ad Bin Abi Waqqash di Kota Uyun, misalnya, di daun pintunya tertempel selebaran pengumuman dari kementerian yang mewajibkan penutupan masjid tidak hanya ketika Sholat Jum’at, tapi juga untuk semua sholat maktubah. Meski demikian, azan tetap wajib dikumandangkan. Dijelaskan juga bahwa penutupan ini sifatnya sementara, bukan permanen.

Di tengah suasana kegetiran tersebut, saya dan teman-teman pernah ditimpa pengalaman tidak mengenakkan. Meskipun saya mengakui, banyak sekali orang baik di sini, muhsinin-muhsinin yang nyah-nyoh bersedekah, memberi, dan memenuhi keperluan hidup kami sebagai orang jauh. Tapi, sekali lagi, kejadian kurang mengenakkan dari orang-orang yang tidak baik juga tidak bisa diabaikan.

Dimulai dari hal sepele seperti panggilan. Bahkan sebelum virus corona masuk di Maroko, panggilan “Shinwah” (Cina) atau “Nihao” yang biasa mereka teriakkan pada sembarang orang Asia, kini mulai ditambah dengan teriakkan “Corona!” Kasus ini sering dialami oleh teman-teman saya.

Belum lagi, cobaan dari masyarakat di sekitar rumah atau asrama yang kita huni. Bukan berarti semua orang Maroko berlaku tidak baik, tapi tidak jarang tindakan-tindakan rasisme pada orang-orang Asia di sini juga terjadi.

Hingga ketika akhirnya ada pasien suspect positif corona di Maroko, perilaku itu kian parah saja. Sering terjadi orang Maroko mengimbuhi sentiment itu dengan gestur menutup mulut dan hidung, juga dengan tatapan-tatapan sinis yang bikin sesak dada.

Pun dengan kejadian beberapa hari lalu saya alami sendiri, ketika sopir taksi yang menolak saya beserta rombongan. Saat itu kami hendak mengisolasi diri di sebuah rumah kontrakan sesama orang Indonesia di Kota Uyun. Penolakan seperti itu juga diterima oleh calon penumpang lain yang berwajah Asia. Sehingga menuntut kami untuk sedikit bersabar, menanti taksi demi taksi yang bersedia kami tumpangi. Sialnya, kini harga bahan pokok mengalami kenaikan disusul dengan melonjaknya harga taksi dan moda transportasi lain.

Terdapat pula pemandangan-pemandangan yang–dalam amatan saya–sedikit tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia, yaitu panic buying yang juga terjadi di sini. Supermarket dibanjiri pengunjung, dan stok banyak barang termasuk mie instan, cepat sekali habis. Masker dan hand sanitizer sudah sulit ditemukan, bahkan di apotek-apotek.

Sehubungan dengan itu, pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia di Maroko juga sudah menghimbau WNI di Maroko untuk tetap waspada dan mematuhi himbauan dan instruksi dari pemerintah. KBRI juga menghimbau agar WNI bisa mengisolasi diri, menjauhi ruang publik dan memeriksakan diri ke rumah sakit jika mengalami gejala-gejala yang dicurigai sebagai gejala virus corona.

Sebagai warga negara yang tinggal di luar negeri, WNI di Maroko juga terus-menerus diingatkan untuk selalu melaporkan diri secara online melalui website Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

Sudah banyak tindakan penanganan dan pencegahan virus corona dari pemerintah, yang terpenting – meskipun nasib menjadi orang rantau kadang menyiksa – memang kita tetap harus menjaga diri dan kesehatan masing-masing. Tetap melakukan social distancing baik yang diinstruksikan oleh pemerintah atau pun inisiatif pribadi, sebagai usaha agar tidak tertular dan tidak menularkan. Jangan lupa juga yang paling sederhana, banyak-banyak cuci tangan dengan sabun dan air mengalir.

Semoga kita semua senantiasa dalam lindungan-Nya.