Sebuah Seni Melawan Sepi

Sebuah Seni Melawan Sepi

Sebuah Seni Melawan Sepi
Kota-kota di dunia berhenti ‘berputar’ dan memberikan waktu bagi bumi untuk sedikit beristirahat

Yang membunuhmu adalah rasa sepi. Ketika kamu mulai membandingkan dirimu dengan orang lain, lalu kamu merasa ringkih atau insecure karenanya, atau sebaliknya: kamu merasa lebih unggul dari yang lain, cek kembali cara berpikirmu. Ketika kamu menjalin hubungan atau pertemanan dengan pertimbangan, misalnya, apa yang akan aku dapatkan darinya? Apa keuntungan yang akan aku peroleh? Pokoknya kamu menjadikan pertimbangan transaksional sebagai pijakan utamanya, cek kembali cara berpikirmu.

Alquran mengajarkan kepada kita untuk bersedekah. Begitu juga yang termuat dalam agama lain dengan istilah yang berbeda seperti dharma dalam Buddha, zedaka dalam Yahudi, cinta kasih dalam Kristiani. Bahkan, senyum sekalipun adalah sedekah, bukan? Semua itu mengajarkan kepada kita untuk menjadi seorang giver, pemberi, bukan taker, penerima!

Ketika rapat bersama teman-teman panitia pengajian Halal bihalal di kampung, Lek Rohman diberi tugas untuk pengadaan sound system. Dia menawarkan peralatan sound system miliknya untuk digunakan dalam acara pengajian tersebut. Sungkono, ketua panitia, menanyakan berapa biaya sewanya. “Halah, tinggal diambil bareng-bareng saja tidak usah pakai biaya sewa segala!”

“Alhamdulillah,” suara koor dari semua yang hadir pada rapat malam itu.

Ternyata, Lek Rohman tidak hanya meminjamkan peralatan itu apa adanya, melainkan dia membeli mic dan peralatan lainnya sehingga suaranya semakin mantap dan jemengglung, tidak kalah dengan persewaan sound system pada umumnya. Dia merogoh koceknya sendiri untuk semua hal itu.

Mendengarkan cerita itu saya merasa senang. Dan saya yakin pada malam hari usai pengajian yang terbilang lancar jaya itu, Lek Rohman tidur dengan sangat nyenyak. Ada kepuasan batin di dalam hatinya.

Saya meyakini bahwa manusia, secara naluriyah, akan merasa senang ketika mendengarkan orang berbuat baik seperti yang dilakukan Lek Rohman. Apalagi mereka yang melakukan kebaikan tersebut. Makanya, belakangan ini saya merasa heran kok ada orang yang nyinyir ketika melihat orang lain bersedekah untuk saudara kita di Palestina. Kok bisa orang tidak merasakan kesenangan ketika melihat orang berbuat baik seperti itu?

Bukankah kepuasan hati, fulfillment, juga sering kita rasakan ketika kita telah membantu orang lain? mengoreksi tulisan dari teman, menemani sahabat untuk sekadar mendengarkan cerita dan mungkin keluh kesahnya sambil minum kopi, memberikan uang jajan untuk anak-anak kecil di lingkunganmu, misalnya.

Kepuasan batin inilah lawan kata dari kesepian itu.

Rasa sepi dan stres yang menumpuk, menurut sebuah penelitian, akan memicu lahirnya penyakit yang secara perlahan menggerogoti tubuhmu. So, jadilah pemberi, bukan penerima!

Beberapa hari lalu, saya bertemu dengan seorang pimpinan fakultas di sebuah kafe. Satu jam sebelumnya, saya mengobrol dengan pemilik kafe itu yang juga merupakan seorang pemilik salah satu penerbitan besar di Indonesia. Di hadapan keduanya, saya merasa diperlakukan layaknya seorang anak oleh kedua orangtuanya: penuh empati!

Tentu saja ada hal-hal terkait karir atau pekerjaan yang ingin kami bicarakan. Namun, sebelum mengarah ke sana, keduanya menanyakan tentang hal lain terkait kehidupan pribadi: eh, bagaimana kabar usaha sayuranmu? Masih jalan to? Bapak ibu di rumah sehat? Udah menemukan calon belum? Atau mau tak kenalin sama mahasiswiku?

Obrolan seputar kehidupan pribadi seperti itu tidak hanya terjadi kali itu saja. Mereka seolah ingin melihat keadaanku lebih baik dari sebelumnya dan siap mengulurkan tangan jika sewaktu-waktu aku membutuhkannya.

Pimpinan fakultas itu adalah satu di antara sedikit orang yang percaya kalau saya bisa menulis. Mungkin tahun ini adalah tahun ketujuh hubungan kami berlangsung. Beliau mengajari saya dari hal-hal kecil semisal tentang bagaimana menulis paragraf yang baik, kata depan di ketika bertemu dengan kata kerja harus digabung, ketika bertemu dengan keterangan waktu dan tempat harus dipisah, mengirimkan dan meminjamkan buku-buku atau hasil penelitian terbaru untuk memperluas cakrawala pemikiran saya, mengirimkan info lowongan pekerjaan sekiranya aku mau mendaftarkan diri, termasuk memberikan kepercayaan untuk mengajar di kelasnya. Dia memberikan kesempatan kepada saya untuk mencoba hal-hal baru dan mengapresiasinya.

Bagaimana saya tidak percaya diri ketika orang lain di sekitarku turut meyakini atas apa yang aku yakini?

Sementara itu, sang pemilik kafe dan penerbitan itu memberikan kesempatan kepada saya untuk menerbitkan buku. katanya suatu hari, “kalau tulisanmu sudah cukup untuk dijadikan buku dibawa ke saya ya? insyaallah saya siap menerbitkan”

Padahal, Anda tahu sendiri, saya tidak memiliki follower banyak yang dapat dijadikan sebagai ceruk bisnis atau pembaca tulisan saya.  Saya bukan orang berpengaruh yang memiliki posisi atau jabatan tertentu. Saya juga belum pernah menerbitkan buku yang layak disebut sebagai buku. Beliau dengan benderang mengesampingkan kalkulasi bisnis semacam itu!

Pada kesempatan lain, seorang aktivis yang telah mendirikan beberapa media online keislaman berkata di hadapan para penulis pemula seperti saya: “Silahkan ini dijadikan sebagai ajang berlatih, sebagai intellectual exercise, belajar membangun argumen dan menjadi seorang penulis,” kata-kata tersebut terus membekas dalam hati saya. Saya terpacu untuk terus membaca dan menulis. Dan di luar dugaan, saya telah menulis lebih dari 40 artikel setelah pertemuan itu.

Ketika banyak pemimpin atau CEO perusahaan membanggakan jabatannya seraya memanfaatkan kesempatan itu untuk meraih keuntungan pribadi mereka, tiga orang yang saya ceritakan itu justru menggunakannya sebagai medium untuk memberi, menebar inspirasi, mengangkat moral orang-orang di sekitarnya, dan menciptakan generasi baru yang bakal melanjutkan visi kepemimpinan mereka.

Jika Anda melihat diri saya saat ini sebagai seorang penulis, misalnya, ketahuilah bahwa saya adalah penulis yang diciptakan, bukan semata bakat. Saya bertemu dan dipertemukan dengan orang-orang dan lingkungan yang memungkinkan saya untuk terus berkembang. Memiliki rasa percaya diri dan mengasah kompetensi.

Saya membayangkan dunia ini akan menjadi lebih baik sekiranya lebih banyak orang seperti mereka. Para pemimpin yang melihat orang-orang di sekitarnya bukan sebagai karyawan, bawahan, atau sejenisnya, tetapi sebagai manusia yang memiliki masalah pribadi, memiliki mimpi, cita-cita, dan kehidupan. Pemimpin yang memberi atau bahkan mengorbankan kepentingan dirinya untuk orang-orang di sekitarnya. Pemimpin yang menjadikan empati sebagai nilai utama menjalankan kepemimpinannya.

Lalu bagaimana kita memperlakukan orang-orang di sekitar kita, anak kita, adik-adik dan saudara kita di rumah, dan karyawan di perusahaan yang kita bangun dan banggakan? Bukankah kita adalah pemimpin dan calon pemimpin?