Sebenarnya, Saya Manusia Seperti Apa?

Sebenarnya, Saya Manusia Seperti Apa?

Sebenarnya, Saya Manusia Seperti Apa?

Beberapa waktu yang lalu, saya penasaran oleh sebuah selebaran yang menginformasikan akan diselenggarakannya sebuah pengajian yang membahas pemurtadan terselubung oleh  Jaringan Islam Nusantara. Dan saya pun menyempatkan diri untuk mendatangi majlis pengajian tersebut. Namun saya tidak mendapatkan apa-apa di sana selain uraian para pengkhotbah yang mewacanakan tentang kebencian. Tentu saja itu dalam pandangan saya, dari sisi penyelenggara pengajian dan mereka yang sepaham, mereka tengah melakukan pembelaan terhadap agama dengan penuh cinta.

Kemarin, saya kembali mendapatkan meme bergambar Kyai Said Aqil Siradj dengan tulisan, “Jaga Polri dari virus Anus (Aliran Nusantara)! Dedengkot Anus, Said Aqil Siradj, yang beraliran liberal curhat ke Kapolri bahwa HTI anti nasionalisme, FPI rusak citra Islam, serta MTA haramkan tahlil. Kapolri harus hati-hati dengan makhluk yang satu ini karena inilah makhluk rasis fasis yang secara terang-terangan memfitnah syariat Islam sebagai arabisasi. Kapolri harus diingatkan bahwa gara-gara makhluk yang satu ini, banyak kyai dan santri serta pesantren keluar dari NU, karena pemikiran dan perilakunya yang bertentangan dengan akidah aswaja sebagai jiwa NU.”

Agaknya memang benar belaka apa yang dikatakan oleh Alquran bahwa dunia ini hanyalah ajang sendau gurau dan main-main saja. Meskipun untuk bisa benar-benar memahami sendau guraua dan pelbagai permainannya juga tidak mudah. Beruntung kita memiliki pemikir lokal seperti Ki Ageng Suryomentaram yang telah menyederhanakan banyak hal yang rumit menjadi sangat mudah dipahami.

Dalam kehidupan di dunia ini menurut Ki Ageng, di mana setiap manusia normal akan mengalami fase kelahiran, birahi, berkeluarga, dan mati, maka pertama-tama mesti bisa menjawab pertanyaan, “Aku iki wong apa?” (Saya ini manusia yang seperti apa?). Karena sewaktu lahir dan tetap menjadi kanak-kanak pertanyaan itu tidak akan pernah muncul apalagi terjawab, maka pertanyaan tersebut memang baru akan muncul pada mereka yang menyadari bahwa dirinya tengah berada dalam fase birahinya orang dewasa.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa rasa manusia itu ada yang dangkal, dalam, dan sangat dalam. Dan, Ki Ageng yang berperasaan sangat halus, selalu menekankan pada aktivasi rasa terdangkal kepada para audiensnya di dalam menyampaikan wejangan. Karenanya saat membahas fase birahi ini pun Ki Ageng hanya mengklasifikasikan adanya birahi kecil dan birahi besar dengan penjelasan sederhana sebagai berikut.

Anak yang mulai tumbuh dewasa dan telah menyadari bahwa dirinya tengah memasuki fase birahi kecil, dengan sendirinya akan memikirkan yang menjadi kebutuhannya. Remaja yang mulai birahi kecil membutuhkan pengetahuan dasar tentang birahinya. Awalnya ia akan memiliki rasa malu. Jika sebelumnya anak laki-laki dan perempuan dapat bermain secara lepas, maka setelah memasuki fase birahi kecil akan muncul rasa malunya jika mesti bermain bersama.

Rasa malu ini awalnya muncul secara general terhadap lawan jenis, namun kemudian akan mengerucut kepada yang ditaksir saja. Rasa inilah yang kemudian melahirkan rasa suka kepada lawan jenis, jika normal perkembangannya. Jika tidak normal, menjadi rasa suka dengan sesama jenis misalnya, Ki Ageng menyebutnya sebagai tumbuhnya rasa malu yang salah kedaden (tidak semestinya).

Setelah remaja memasuki fase birahi besar, maka yang tumbuh di dalam dirinya adalah kebutuhan untuk mendapatkan pasangan; istri bagi laki-laki, dan suami untuk perempuan. Pasangan adalah teman hidup. Yaitu teman yang memiliki kesediaan untuk berbagi susah dan senang bersama-sama. Nah, setelah menemukan pasangan, maka fase selanjutnya adalah berkeluarga. Dan kemudian memasuki fase terakhir yaitu mati.

Menelisik fase kehidupan versi Ki Ageng Suryomentaram dengan rasa dalam

Secara kodrati, semenjak kelahirannya manusia selalu membutuhkan keberadaan manusia lainnya. Bahwa kesemuanya itu berjalan sesuai sunnatullah adalah hal yang tak bisa dipungkiri. Namun, ketika di masa “birahi” dimana saat berinteraksi dengan sesama kemudian melahirkan “problem sosial” akibat bertumpu pada rasa dhemen-sengit (like-dislike/suka-tidak suka), maka kemudian lahirlah kelompok-kelompok yang disukai atau tidak disukai dengan berbagai alasan, tak terkecuali alasan agama.

Landasan untuk melegitimasi rasa suka atau tidak suka ini memang banyak sekali macamnya di tengah kehidupan bermasyarakat. Ki ageng menyebutnya sebagai masalah sosial yang melahirkan cinta kasih dan perselisihan (reribed ingkang ndadosaken sih tuwin congkrah). Dalam wejangannya dijelaskan secara gamblang mulai dari persoalan suami-istri, orangtua-anak, orang miskin-orang kaya, hubungan bertetangga, hubungan pertemanan, majikan-kuli, guru-murid, kelompok agama, komunisme-kapitalisme, bangsa satu-bangsa lainnya, dan persoalan turunannya.

Dalam hubungan suami-istri, Ki Ageng menyontohkan misalnya suami yang pulang kerja tengah hari namun masakan istrinya di rumah belum tersedia. Lalu si suami marah, maka tentu akan menimbulkan pertengkaran karena istrinya juga memiliki alasan yang valid mengapa ia sampai terlambat menyiapkan makan siang.

Marahnya si suami menurut Ki Ageng, karena belum atau tidak tumbuh rasa cinta kasihnya yang tulus kepada istri. “Dene yen sampun thukul sihipun, lajeng sumerep yen ingkang estri anggenipun ngliwet dereng mateng wau temtu wonten sebabipun. Dados anggenipun ngliwet dereng mateng wau rumaos leres mangka yektos leres. Ing ngriku lajeng saged taken: Wayah mene nggonmu ngliwet kok durung mateng, ana apa ta, Mbokne?”

(Jika sudah tumbuh rasa cinta kasih pada diri suami, maka dia akan menyadari bahwa istrinya terlambat menyiapkan makan siang tentu ada sebabnya. Wajar saja jika dia merasa tidak bersalah karena memang tidak salah. Di situ si suami bisa bertanya baik-baik, “Jam segini makan siang kok belum siap, ada apa Bu?”).

Dan istrinya pun pasti dengan tenang akan memberikan jawaban, “O, anu Pakne, anake wiwit isuk tansah rewel, ora kena disambi nyambut gawe, dadi nggonku ngliwet wis rada awan.” (Iya, Pak, anak kita rewel sejak pagi, jadi aku harus menenangkannya dan tidak bisa mengerjakan pekerjaan lainnya, makanya aku baru bisa mulai memasak agak siangan.”)

Dan yang demikian itu juga berlaku pada persoalan lainnya, termasuk yang berhubungan dengan agama. Orang yang saling menyalahkan pihak agama lain, pun terjadi karena belum atau tidak tumbuhnya rasa cinta kasihnya yang tulus terhadap sesama umat manusia. Apalagi jika hal itu juga terjadi pada kalangan yang seagama.

Terkhusus bagi kaum muslim, mungkin kita belum atau bahkan tidak menyadari bahwa Nabi kita Muhammad pernah bersabda, “Maa bu’itstu la’aanan walaa faahisyan innamaa bui’itstu rahmatan!” (Aku tidak diutus untuk mencaci maki dan mengutuk, namun aku diutus Allah untuk menebarkan cinta kasih!). Mari bersama-sama kita bercermin, dan meneliti ke dalam diri di saat kita tengah “birahi” terhadap apa pun sebagai seorang manusia—khalifah Allah di dunia—sebelum ajal menjemput, “Sesungguhnya saya ini manusia yang seperti apa?” Wallaahu a’lamu bishshawab.