“Tenang anakku, solusinya khilafah.”
Ungkapan itu berulangkali terucap dari komika muslimah Sakdiyah Ma’ruf di Harlah Fatayat NU Yogyakarta ke-69 di Taman Budaya Yogyakarta, tahun 2019 silam.
Di harlah itu, tak kutemui lagi pukulan rebana dan paduan suara, yang kutemukan adalah drama kolosal, Sakdiyah Ma’ruf, Alissa Wahid dan budayawan Iqbal Aji Daryono.
Berkat perubahan itu, saya kembali ke Pesantren Krapyak hingga menanti kesempatan beruluk-salam pada kepergian mobil yang ditumpangi oleh Mba Alissa Wahid beserta keluarga.
Setiap penampilan berjalan begitu memukau. Terutama komika muslimah Sakdiyah Ma’ruf. Bukan Sakdiyah Ma’ruf kalau tidak satir, ngguyokke namun tetap lincah mengkritik. Dia mengkritisi fenomena khilafah dengan menyindir mereka yang terbiasa dengan formalisasi, khilafah adalah segala solusi.
Ketika menyampaikan materi tentang “Khilafah hanya merek dagang,” Sakdiyah Ma’ruf hendak menggali imajinasi audiensi dalam mengenali metode penterjemahan Islam formal melalui penamsilan yang sangat aktual.
Dia mengambil penamsilan seorang anak perempuan yang mempunyai problem sehingga harus bertanya kepada ibunya, “Ibu, rambutku kering dan lepek.”
“Tenang anakku, solusinya khilafah. Menyelesaikan segala problem rambut dengan menutupnya selamanya.”
Di kemudian hari anak perempuan itu mempunyai problem yang harus ditanyakan kepada ibunya, “Ibu, aku punya problem bau badan.”
“Tenang anakku, solusinya khilafah. Sabun anti kuman khilafah, dengan aroma kasturi, karena aroma lain mengandung fitnah.”
Anak perempuan itu, lagi-lagi menghadapi problem yang mesti ditanyakan kepada ibunya. “Ibu aku mempunyai problem kewanitaan.”
“Tenang anakku, solusinya khilafah. Pembersih kewanitaan khilafah, dijamin membersihkan otak perempuan dari keinginan keluar rumah, mengejar karir dan menolak poligami.”
Warga Kelas Dua
Pertanyaan yang menyangkut problem seorang anak perempuan itu apabila terus diulang-ulang, jawabannya akan tetap sama, khilafah.
Begitulah gaambaran bentuk sengketa yang alang-kepalang banyak dilakukan orang, yaitu mengacaukan antara orientasi kehidupan dengan pencapaian, yang dalam hal ini menyangkut universalitas Islam sebagai sebuah formalitas.
Namun terlalu pagi untuk menyimpulkan apabila formalisasi agama seperti itu mengancam kebersamaan kaum muslimin Indonesia sebelum kita mengetahui alur dan jalan yang mereka yakini. Bahwa kerangka teoritik yang menyebut adanya sistem Islami dalam bentuk Negara Islam: khilafah sama saja dengan penyempitan jalan.
Dalam pandangan Islam formal, ajaran Islam akan menjadi pijakan dalam membangun aturan bernegara dalam bentuk undang-undang. Melalui penetapan UU tersebut berarti mereka mengamini satu versi mazhab dalam Islam, sedangkan meniadakan versi mazhab lain di luar UU.
Pendek kata, Islam formal membunuh keragaman atau universalitas Islam, dan apabila hal itu terjadi maka warga non-muslim akan dikucilkan sebagai ‘warga kelas dua’. Tentu ini melukai Pancasila.
Khayalan Negara Islam
Dalam catatan sejarah, di masa Umar bin Khattab, Islam adalah imperium dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara.
Akan tetapi ternyata di era itu tidak ada kejelasan apakah mereka disebut sebagai sebuah Negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis), juga tidak jelas; negara-bangsa (nation-state) ataukah negara kota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.
Sementara itu, ketika masa Khilafah Usmaniyyah atau Ottoman Empire yang oleh para sarjana Islam politik, mereka dianggap sebagai prototype pemerintahan dan harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah “formulasi Islami”, model kekuasaan mereka adalah sistem sosial dan politik monarki.
Selasa siang (3/3/2020), kita kembali dipertontonkan dengan demonstrasi otoritarian. Atribut Hizbut Tahrir Indonesia diangkat dan dikibarkan sembari mulut lantang bertakbir; “Allahu Akbar.” Mayoritas demonstran adalah para kaum muda yang kali ini beraksi di ruang publik mashur Yogyakarta: Jalan Malioboro.
Tidak jelas motif apa mereka berdemonstrasi, sependek pengetahuan saya, mereka sedang mengenang keruntuhan Khalifah Ustmani (3 Maret 1924 M/28 Rajab 1342 H) yang diruntuhkan oleh Musthafa Kemal Ataturk, sedang mereka melabelinya sebagai “Agen Yahudi didikan Inggris.”
Demonstrasi sebenarnya barang yang lazim di negera demokrasi.
Namun yang menjadi masalah adalah penggerak demonstran itu adalah organisasi Islam yang sudah dibubarkan secara hukum oleh negara melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Selain itu, parade atribut HTI berupa poster dan baliho terangkat pada saat longmarch dan memuat beberapa pekikan lawas pada negara, seperti “Nasionalisme pemecah belah persatuan umat”, “96 tahun tanpa khilafah, umat Islam tertindas,” dan lain sebagainya.
Dalam kasus ini, saya mengamini Jeremy Menchik (2016) dalam artikelnya yang berjudul An Escapist View of Extremism yang menyebut kalangan Islamis Baru hanya menghasilkan drama berita utama tetapi sumbangsih sosialnya sungsang. Sejalan dengan apa yang ditamsilkan oleh Sakdiyah Ma’ruf di atas, bahwa “…ini hanya persoalan marketing.”
Oleh sebab itu, mendirikan sistem islami, menurut Gus Dur, tidak termasuk syarat bagi seseorang untuk dianggap “muslim yang taat”. Ini menjadi titik tengkar yang penting jadi bahan pertimbangan, karena di banyak tempat telah tumbuh paham yang tidak mementingkan arti sistem.
Kini, tinggal menunggu sikap dari Keraton Ngayogyakarta. Setelah beberapa kasus menyebabkan kesenjangan sosial yang terjadi di kota toleransi ini. Semoga! (AN)