“Sebagai seorang santri,” tuturnya, sambil memegang sarung dan menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang santri. Ia mendorong agar para santri bisa menulis. Baginya santri tidak kolot, mereka mampu berkreativitas, misalnya menulis. Ketika salah seorang peserta Sekolah Menulis Kreatif (SMK) yang diadakan oleh Komunitas Santri Gus Dur (SGD) pada 21 Oktober 2018 tersebut memberikan statement seperti itu, sepenuhnya penulis mendukung. Namun, ketika ia menunjukkan identitas santrinya dengan sarung, penulis kemudian nyeletuk dengan teman samping, “Saya pakai celana dan kaos oblong, tapi saya dulu nyantri di pesantren 5 tahun, saya masih santri nggak ya?”.
Tidak ada masalah ketika ada seseorang menunjukkan ia sebagai santri dengan atribut sarung, peci dan lain sebagainya. Memang itu semestinya seorang santri, kebiasaan menggunakan sarung, peci dikenakan ketika di pondok pesantren, melekat hingga sudah menjadi alumni pondok pesantren. Namun ada sebagian orang yang dulunya nyantri, atribut santri tidak dikenakan lagi ketika ia di kampus atau sudah bekerja di kantoran, apakah masih santri atau bukan? Pertanyaan itulah yang menjadikan bahan renungan penulis, siapakah sebenarnya santri ketika hari ini, hari santri dirayakan oleh banyak orang. Apakah mereka yang masih nyantri di pondok pesantren atau orang-orang yang mengikuti para kiai dan mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam dengan ramah?
Bagi penulis, santri tidak terbatas ketika ia masih nyantri, dan tidak terbatas pada pakaian yang setiap saat melekat seperti sarung dan peci. Sepertihalnya ketika penulis sudah menjadi mahasiswa, ada salah seorang pembina Pramuka sewaktu di Madrasah Aliyah berkomentar di facebook penulis, “bangga ya sekarang sudah tidak berpakaian Pramuka,” ujarnya. Komentar seperti itu memang wajar, kalau Pramuka hanya dimaknai sebatas berseragam dan bersepatu, kemudian berlatih baris-berbaris dan kedisiplinan. Lebih luas lagi, penulis beranggapan, anak Pramuka tidak selamanya menjadi anak Pramuka kalau dipahami sebatas identitas seragam Pramuka, namun ketika ia mengamalkan jiwa sebagai anak Pramuka, ia tetap menjadi anak Pramuka. Jiwa Pramuka yang mencakup kedisiplinan, sikap bersedia, siap dan setia, apabila menjadi landasan hidupnya, ia bisa dikatakan anak Pramuka.
Begitu juga dengan santri, apabila santri hanya dipahami sebatas identitas yang melekat pada dirinya, tidak mementingkan bagaimana perilaku seorang santri ia hanya terbatas pada atribut yang melekat pada dirinya. Ia dikatakan sebagai seorang santri, ketika ia mengenakan atribut santri. Berbeda ketika santri tidak hanya dimaknai sebatas identitas, melainkan sebagai sistem nilai, tanpa atau melekat pada atribut, ia akan menjadi seorang santri. Santri bagi KH. Musthafa Bisri, merupakan murid kiai yang dididik dengan kasih sayang, menjadi mukmin yang kuat, mempunyai akhlak yang baik, mencintai tanah air, menghargai perbedaan, menghargai tradisi, menghormati kiai dan orang tua yang mendidiknya, menyayangi sesama hamba Allah, tidak pernah berhenti belajar kepada para kiai. Apabila nilai-nilai santri tersebut dijadikan sebagai landasan hidup, di mana pun dan kapan pun ia akan menjadi santri. Sistem nilai yang diambil dari pendidikan pesantren, kemudian diterapkan dalam setiap kehidupan sehari-hari, jiwa santri ia selalu bawa tidak lekang oleh waktu dan tempat. Ia akan selalu berperilaku santri, kepada siapa pun
Kata Sifat dan Kata Kerja
Ketika memahami santri, penulis terinspirasi pada analisis Muhammad Al-Fayyadl ketika menuliskan artikel “Gus Dur sebagai Kata Kerja,”. Bagi Fayyadl, sekadar menjadi “Gus Durian”, berarti meletakkan Gus Dur sebagai kata sifat, dan itu artinya menyematkan suatu identifikasi diri dengan Gus Dur sebagai sumber nostalgia dan ingatan. Gus Dur, menurutnya tidak cocok untuk sekadar menjadi kata sifat, menjadi ajektif, karena Gus Dur adalah pelaku, subjek, yang sepanjang hidupnya bergulat dengan laku, dengan tindakan dan aksi. Tapi para Gus Durian, baginya bukan copy paste dari Gus Dur, bukan pula pengikut dari sebuah isme, atau fans club dari sebuah federasi sepak bola Gus Dur. Baginya, mereka hanya orang yang ingin mengubah Gus Dur dari kata sifat, menjadi kara kerja, kerja untuk Indonesia dengan atau tanpa baju Gus Dur.
Begitu juga dengan santri, ketika dipahami sebagai kata sifat, ia hanya menjadi bahan nostalgia saat nyantri dan menjadi ingatan momentum saat di pondok pesantren. Ia memaknai santri terbatas saat di pondok pesantren, selepas itu, ia tidak sebagai santri karena terbatas pada atribut. Ia akan kembali menjadi santri, ketika mengenakan baju koko, peci, sarung dan mengikuti pengajian atau sedang bersilaturahmi ke rumah kiainya. Ia akan merayakan hari santri dengan bahan nostalgia saat nyantri.
Santri bukan hanya terbatas pada kata sifat, yang menjadi sumber nostalgia dan ingatan. Santri dipahami sebagai bahan nostalgia dan ingatan, kecil kemungkinan ia akan bisa menerapkan nilai-nilai pendidikan pesantren pada dirinya, pun pada masyarakat. Santri tidak bisa menjadi sumber inspirasi dalam setiap perilaku dan sikap, kalau hanya terperangkap pada nostalgia.
Sebagaimana Gus Dur, walaupun ia sudah menjadi seorang Presiden Republik Indonesia, ia masih menganggap dirinya sebagai seorang santri. Baginya sebagai seorang santri, harus nurut apa yang dikatakan oleh kiai, ketika ia menjadi presiden. Gus Dur ketika dewasa pun masih menjalankan nilai-nilai yang diajarkan pesantren. Suka berziarah ke makam para wali, bersilaturahmi ke para sahabat dan ke kiai, serta banyak hal lain yang dilakukan sebagai seorang santri.
Santri tidak cukup kalau dipahami sebagai kata sifat. Santri adalah pelaku resolusi jihad, berkontribusi untuk mempertahankan tanah air. Peran santri pun banyak ikut andil dalam membangun bangsa Indonesia. Santri sudah selayaknya menjadi kata kerja, kerja untuk masyarakat, mengabdi di berbagai lini, mulai keagamaan hingga perekonomian, serta atau tanpa memakai atribut santri.
Nur Solikhin, Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana, Psikologi Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan pegiat Komunitas Santri Gus Dur Yogyakarta.