Post-Islamisme senyatanya telah tenggelam dalam diskursus keislaman, khususnya di Indonesia. Istilah ini terbit kembali, setidaknya dalam dunia maya, setelah calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo, yaitu Sandiaga Uno disebut-sebut oleh pendukungnya sebagai santri post-Islamisme. Secara sederhana kita bisa katakan bahwa istilah ini diangkat tidak lain untuk tetap menjaga kesolidan pendukung Islamis dari kubu ini.
Sudah bukan rahasia lagi, kubu Prabowo dengan gerbong politiknya selama ini, selalu mengidentifikasi kelompoknya sebagai kelompok yang pro Islam. Bahkan dalam Ijtima Ulama, nama-nama yang diusulkan untuk mendampingi Prabowo adalah nama yang dianggap sebagai representasi ulama. Salim Segaf Al-Jufri dan Ustaz Abdul Somad, dua nama yang diusulkan, dianggap paling tepat merepresentasikan kategori ulama tersebut.
Apa lacur, politik jauh lebih rumit dari sekedar kalkulasi matematika yang paling sulit sekali pun. Pada saat-saat terakhir, Prabowo justru tidak memilih nama ulama yang diusulkan, sebaliknya Ia memilih Sandiaga Uno. Seorang pengusaha dengan latar belakang pendidikan sekuler dan kini sebenarnya baru seumur jagung menjadi wakil gubernur Jakarta. Tapi begitulah politik para elit di Indonesia yang masih diselimuti oleh situasi yang muram. Kekuasaan menjadi orientasi yang paling utama.
Tentu saja pilihan terhadap Sandiaga Uno ini mengecewakan para kelompok Islamis di kubu Prabowo. Dengan terang-terangan kelompok GNPF MUI menyebut Jokowi lebih cerdas dalam memilih wakilnya. Tidak ingin kehilangan massa pendukung, serta-merta partai-partai pengusung Prabowo berupaya menyulap Sandiaga Uno. Dari orang dengan latar belakang pendidikan sekuler tulen disebutlah sebagai santri post-islamisme. Diksi ini setidaknya adalah upaya untuk memberi gambaran bahwa Sandiaga sendiri adalah sosok yang mewakili kalangan Islamis.
Saya tidak akan bicara soal pantas-tidaknya Sandi memikul gelar santri dengan latar belakang pendidikan sekulernya tadi. Namun yang saya mau ceritakan lebih lanjut adalah kejanggalan dari diksi ini.
Istilah post-Islamisme sendiri adalah semacam pengembangan dari istilah Islamisme. Jika Islamisme adalah gerakan politik keagamaan yang radikal dengan mengasumsikan bahwa Islam adalah sistem sosial politik, ekonomi dan moral yang telah lengkap menjawab persoalan manusia, maka post Islamisme menunjuk pada gerakan politik kelompok Islam garis keras yang mulai menerima dan berpartisipasi dalam sistem politik modern. Asep Bayat (2007) salah satu yang paling intens mengkaji persoalan ini, memberikan contoh PKS sebagai salah satu partai Islam dengan ciri post-Islamisme untuk kasus di Indonesia.
Post Islamisme sejatinya adalah gerakan pragmatisme kelompok Islamis, setelah politik ‘kemarahan’ mereka terhadap sistem pemerintahan modern tidak membuahkan hasil. Ada kesadaran bahwa sikap anti pati terhadap modernitas, tidak hanya tak membuahkan hasil apa-apa, tapi juga sekaligus akan membuat mereka semakin terpuruk sebagai kelompok yang dianggap keras dan radikal.
Selain itu, seturut yang dikatakan Ulil Abshar Abdallah, melunturnya ideologi, seperti yang dikatakan Daniel Bell sebagai the end of idiologi, turut mendorong perubahan sikap kelompok Islamis ini.
Sebagai satu sikap pragmatis dalam gerakan politik, menurut saya sejatinya post islamisme tidak mengubah apa pun isi dalam tubuhnya. Sikap menerima demokrasi, pluralisme dan sistem politik modern hanyalah strategi untuk mencapai tujuan merebut kekuasaan politik.
Perubahan strategi gerakan politik yang akhirnya memunculkan terminologi post-islamisme ini, gencar di Timur-tengah khususnya pasca peran Irak-Iran pada tahun 1988. Tahun itu, khususnya di Iran di bawah pemerintahan Rafsanjani mulai meruak isu demokrasi, pluralisme dan civil society.
Lalu di mana letak kejanggalan pada kalimat ini ?
Persis ketika tokoh-tokoh partai dari PKS memberikan julukan pada Sandiaga Uno sebagai santri post-Islamisme. Menggabungkan santri dengan post islamisme terasa membuat kalimat ini begitu canggung. Mengapa demikian ?
Ada konteks dan historisitas yang begitu senjang antara diksi santri dengan kata post-Islamisme. Diksi santri ini sejatinya lebih dikenal di kalangan Islam tradisional (atau juga pada Islam post tradisional) di Indonesia. Dalam tradisi masyarakat tersebutlah, kata santri menemukan ruang, sejarah dan pergulatannya. Sementara istilah post-Islamisme jelas merujuk pada konteks politik masyarakat Islam Timur Tengah dari tahap anti modernitas ke ‘menerima’ modernitas.
Santri sendiri adalah istilah yang berasal dari bahasa sanskerta, yaitu shastri yang memiliki akar kata yang mirip dengan kitab suci dan agama. Ada yang menyebutnya berasal dari kata cantrik yang berarti para pembantu seorang bengawan atau resi. Walau asalnya dari bahasa sanskerta atau Jawa kuno, namun kata santri ini menemukan makna, konteks dan historisitasnya dalam sistem kehidupan Islam tradisional.
Kiai Zaifuddin Zuhri dalam bukunya Guruku Orang-orang dari Pesantren menyebutkan santri sebagai anak rakyat, paham arti rakyat, paham benar kebudayaan rakyat; paham keseniannya, pikirannya, cara hidupnya, suka dukanya dan seterusnya. Dengan demikian seorang santri pasti bukanlah yang gampang mengkafirkan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Santri pastilah tidak anti dengan kesenian dan tradisi lokal yang hidup dan menghidupi rakyat.
Bagaimana mungkin kata santri ini bisa digabungkan dalam satu kalimat dengan post-islamisme ? Sementara post-islamisme ini walau dianggap telah menerima modernitas, namun anti terhadap tradisi. Post-islamisme jika pun dianggap telah menerima modernitas, namun Ia tak lain dari kelompok yang ingin memurnikan Islam dari unsur-unsur kebudayaan lokal.
Dengan demikian istilah santri post islamisme adalah susunan kalimat yang canggung atau tepatnya janggal. Kalimat itu memaksakan menyandingkan kata yang tidak tepat, dengan susunan sintagmatik dan paradigmatik yang kacau. Kalimat yang janggal dan gelar yang aneh. Tapi bukankah politik memang janggal dan aneh?
*Artikel ini ditulis oleh Syamsurijal Ad’han (Pembina Komunitas GUSDURian Makassar)