Sengaja saya tulis sebuah refleksi tentang hari santri selepas euphoria dan seremoni-seremoni mereda, agar refleksi tidak didominasi perasaan gegap gempita kebanggan dan menutup logika. Sebelumya, saya ucapkan hari santri kepada seluruh penimba ilmu agama yang berdiam di pesantren-pesantren yang rela menggadaikan masa mudanya untuk mendalami ilmu agama. Semoga kebaikan, kecerahan pikiran dan kemuliaan budi selalu menyertai.
Bagi saya, santri adalah idiom yang saya syukuri sekaligus membebani. Kisah konyol nan lucu, dusel-duselan ketika mau tidur, berebut bantal dalam satu kasur, perang canda dalam satu selimut dan masih banyak lagi kisah yang saya syukuri takdirnya. Meski kadang kesedihan dan kisah nelangsa juga ikut menyertai.
Namun, beban juga tentu ada. Apa beban santri? Ya, mengamalkan. Apakah mudah? Tentu susah, karena butuh kematangan ilmu dan tingkah laku sehingga tidak timpang. Kurikulum pesantren yang tidak hanya menuntut kematangan kognitif namun juga afkesi serta perilaku membuat santri lengkap dari segi penempaannya.
Kitab-kitab setiap hari dikaji, kematangan emosi diuji ketika arus hidup bersama teman sebaya. Perilaku dibentuk oleh aturan dan teladan sang kyai. Tentu, kelengkapan pengajaran ini sengaja dibuat agar santri siap mengabdi dan berkontribusi di masyarakat nantinya.
Karena ukuran keberhasilan santri bukan dari nilai rapot kelas diniyah-nya, namun seberapa bermanfaat ia kelak di masyarakat. Banyak di antara manusia-manusia kekinian yang banyak mengetahui tanpa mengamalkan, sehingga kita temui orang-orang yang berbicara baik namun timpang dengan perilaku yang ia tunjukan secara spontan.
Mengapa santri dituntut untuk tidak sekedar mengetahui tapi juga mengamalkan? Karena santri adalah orang yang belajar kitab suci yang juga bertanggung jawab menjaga kesuciannya. Tugas ini memang berat, tugas mengawal cita-cita kenabian yang ingin membuat sebuah peradaban islami yang menjunjung tinggi nilai toleransi, moderasi dan kemanusiaan. Menyampaikan dakwah dengan cara yang lembut dan indah, bukan dengan dakwah ribut dan marah.
Nasihat tentang keharusan mengamalkan bagi mereka yang telah dianugerahi ilmu telah disampaikan oleh Imam Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah:
“Celakalah bagi orang bodoh yang tak mau belajar tapi seribu kali lebih celaka orang berilmu yang tak mau mengamalkan”.
Belum selesai menulis nasehat Imam Ghozali ini saya teringat nasihat Kyai Mustholih, seorang dai yang sampai sekarang masih rajin mengajar di pelosok pegunungan Dieng. Ia pernah berpesan:
“Cobaan orang berilmu adalah bagaimana dia bisa mengamalkan dan cobaan orang bodoh adalah bagaimana ia menghilangkan kemalasannya.”
Santri dididik untuk terus menggerus kemalasan belajarnya sembari terus diguyur dengan nasihat tutur dan laku kyai sebagai teladan. Selain itu, selepas “boyong” dan pulang kampung ia harus mengamalkan. Jadi jangan terjebak dengan hegemoni dan seremoni hari santri tanpa merefleksikan makna santri dan tanggung jawabnya terhadap diri sendiri.
Kaum sarungan hari ini harus berada di garda terdepan untuk menjaga pesan kenabian yang damai dan penuh kasing sayang. Bangsa ini juga membutuhkan santri untuk menjaga keutuhan NKRI dan toleransi antar skat primordial Negara. Selamat Hari Santri !