Jika hal paling ditakutkan semua yang kolonial dan imperial adalah nasionalisme, maka “sosok” santri bisa pula dikatakan sebagai salah satu paling konkrit dari yang menakutkan itu. Kenapa? Sebab sejak nama itu mulai digunakan untuk sebutan atau menyebut, santri dan nasionalismenya adalah satu dan padu. Santri hidup dalam semangat nasionalisme yang menjadi jalan hidup sejak kesadaran akan keberadaan dirinya mulai ada dan tumbuh. Tidak ada santri yang tidak dalam dirinya menancap dalam perasaan nasionalisme.
Bagi santri nasionalisme bukan hanya harga mati tapi “Ora bisa diregani” alias “priceless”!
Bila saja hak paten dari nasionalisme ditancapkan dalam diri santri, hal itu pun punya akar dan jejak sejarahnya yang nyata dan faktual sampai hari ini. Tidak dalam rangka mengabaikan nasionalisme selain kaum santri. Tapi untuk menegaskan akar politik bahwa kaum santri bukan merupakan batas tradisionalisme dan keakhiratan, sementara urusan negara dan nasionalisme adalah urusan selain para santri.
Misalnya bahwa nasionalis adalah “abangan” santri adalah agamis. Negara urusan lulusan “sekolah” sementara soal non-negara bagiannya lulusan “pesantren”.
Pengkotakan dan pembatasan semacam itu pada masa lalu sebenarnya sesat semata. Paradigma sosial yang membuat batas semacam itu merupakan model pendekatan sosial yang menggerus dan mematahkan persatuan nasional, dan secara khusus melemahkan peran dan sejarah santri.
***
Mengingat pada masa yang lalu, santri (kaum pesantren) dalam proses pembangunan terutama setelah 1965, pesantren dan para santri sering dianggap sebagai penghambat kemajuan—entah karena alasan apa! Sementara di satu sisi negara pada tahun-tahun itu sengaja tidak menjadikan pesantren sebagai rekan membangun melainkan sebisa mungkin menjadikan santri sebagai “juru doa” semata kalau tidak sekalian dijadikan oposisi dan lawan.
Seakan pembangunan urusan siapa saja pokoknya, santri berdoa saja pokoknya! Kesalahan “adat” demikian berumur begitu panjang hingga seakan diterima bahwa santri tidak bisa punya peran dalam pembangunan bangsa dan negara dalam semua lininya. Santri cukup ditempatkan dalam ruang keTuhanan saja, oh ya?
Pada masa lalu, saya dengan latar belakang santri cukup lama dijadikan juru doa terutama dalam komunitas pergaulan heterogen di mana saya adalah satu-satunya santri. Jika ada acara baik diskusi dan seremonial lain, bagian saya jelas; berdoa. Kenapa? Karena saya santri! Santri jangan “ngeMC” atau jadi moderator atau keynote speaker. Sementara yang lain bisa jadi pemateri, pembicara diskusi, peneliti, dan peran lain.
Saya meski bisa dan dalam prosesnya kerap juga meneliti dan mengambil peran “strategis” lain, dalam urusan puncaknya saya pokoknya bagian doa saja. Bahkan dalam urusan “sukuran dan makan-makan” meski saya ikut masak dan “urunan” dalam komunitas sosial yang lebih besar saya sekali lagi “dipublikan” sebagai “juru doa”.
Jadi tidak pernah kesantrian saya difungsikan dalam medan lain selain berdoa dan urusan “ukhrawi”. Lah memangnya santri dibekali berdoa doank?
Kesilapan bahwa sebenarnya santri juga dibekali oleh pendidikan pesantrennya dengan misalnya menulis, matung, melukis, memasak, pembawa acara bahkan sampai urusan teknologi, animasi dan nyanyi juga hal kreatif lainya, tidak pernah dilihat atau diberi tempat dalam kurun yang cukup lama.
Mulanya hal itu berlangsung sebagai politik peminggiran yang “kolonialis” sifatnya. Tapi berangsur menjadi hegemonik dan membudaya sehingga seperti diterima begitu saja!
Akibatnya dalam rentang waktu lama, banyak santri ketika mulai terlahir di alam dunia (tidak lagi di pesantren) ia kerap menyembunyikan identitas kesantriannya demi mendapat peran sosial-budaya lain selain daripada juru baca doa-doa!
Padahal mungkin, setengah dari penduduk indonesia adalah santri alias secara teknis mau pun non teknis pernah “mondok” dan ngaji di pesantren. Tetapi mereka yang memiliki kepasitas kontributif dalam pembangunan pada bidang-bidang non doa dan non ukhrawi tidak dinyatakan sebagai santri. Sebab lama juga berlangsung hegmoni kesadaran dan pengetahuan bahwa kemajuan dan modernitas sumbernya dan ukurannya dari barat semata. Sehingga paradigma, motode, cara dan ilmu ala pesantren dianggap tidak rasional, tidak maju dan kerap “mustahal”. Tentu saja iya kalau ukurannya melulu misalnya filsafat barat dan renaisance eropa. Bagaimana kalau cakrawala metafisika kita bentangkan lebih luas lagi? Bagaimana jika horizon seni, filsafat, sains kita bentangkan lebih luas lagi melampaui adagium-adagium barat? Bagaimana?
***
Hari Santri yang kini dirayakan dan kian meriah, dan faktual, mulai memberi bekal untuk mengangkat para santri dari rasa keterpinggirannya secara sosial budaya sebagai akibat hegemoni kekuasaan selama berpuluh tahun lalu. Hari santri membuat fungsi dan peran santri yang sebenernya telah lama menembus batas “doa-doa”, kini mengejewantah dalam tanah besar membangun indonesia. Menteri yang santri, pelukis yang santri, penulis yang santri, koki, pematung, pesepakbola dan areal hidup lain yang “rupanya” para santri bisa juga berkontribusi dalam membangun indonsia—tentu saja dengan “nasionalisme” yang tak layak lagi dipertayanyakan!
Tugas (zaman) Baru
Bagaimana kemajuan semacam ini akan dirayakan? Selain dari euforia dan seremonial sifatnya, para santri kini memiliki tantangan atau beban yang lebih yaitu menemukan jalan yang lebih lapang lagi bagi terutama tegaknya nasionalisme di tengah merebaknya internasionalisme paham dan kecenderungan fundamentalis dalam banyak kehidupan sosial-budaya kita sekarang.
Santri mesti kembali menegaskan semangat nasionalisme dan jihad kulturalnya dalam menegakkan nasionalisme dalam pengertian anti kolonialisme-inperialisme; melawan kecenderungan yang memungkinkan indonesia yang bhineka terpecah persatuannya.
Dengan medan tugas kultural semacam itu, ditambah eksistensi kesantrian yang kian faktual, tugas menjaga persatuan bangsa dan merawat nasionalisme indonesia menjadi medan tugas faktual dan utama. Selain perlunya menambal beban dan kekurangan pada masa lalu yang terjadi juga sebagai akibat dari politik negara dalam meminggirkan peran santri.
Yang dimaksud adalah misalnya peran santri yang lebih nyata dalam bidang-bidang penghidupan seperti pertanian, perikanan, pembangunan desa, seni-budaya dan lainnya. Supaya dunia santri tidak terus terjebak dalam streotype tukang doa semata.
*) Sabiq Carebesth, pendiri “Galeri Buku” Jakarta; pernah nyantri di pondok “Mbulus” Jawa Tengah.