Berbicara mengenai genealogi salafi, sebenarnya sudah ada jauh sebelum Ibnu Taimiyah. Arrazy Hasyim dalam penelitian desertasinya menyebutkan bahwa salafi pertama kali muncul pada masa Aḥmad ibn Ḥanbal (164 H.) di Baghdad pada masa mihnah.
Ibnu Hambal dan para pengikutnya mendapatkan intimidasi dari pemerintah yang saat itu dipengaruhi oleh teologi Muʽtazilah. Kejadian yang menimpa mereka menjadi semacam trauma teologis sehingga melahirkan kaedah-kaedah yang defensif dan reaktif. Ungkapan-ungkapa tersebut dijadikan panduan dan diriwayatkan sebagaimana hadis, salah satu ungkapan Ahmad bin Hambal tersebut adalah:
لست بصاحب كلام ولا أدري الكلام في شيء من هذا، إلا ما كان في كتاب الله أو حديث عن النبي صلى الله عليه وسلم أو عن أصحابه أو عن التابعين رحمهم الله، فأما غير ذلك فإن الكلام فيه غير محمود
“Aku bukanlah orang yang suka ilmu kalam, aku tidak menilai kalam sedikitpun kecuali yang terdapat pada kitab Allah atau hadis dari Nabi Saw. atau dari para sahabatnya, dan tabiin. Adapun selain itu, maka membicarakannya adalah tidak terpuji.”
Selanjutnya pada abad kelima dan awal abad keenam tokoh-tokoh Hanabilah yang lebih terkenal sebagai teolog di Baghdad seperti Ibn Abu Hamid, al-Qadi Abu Yaʽla dan Ibn al-Jauzi. Ajaran mereka lalu dibawa oleh Ibn Qudamah ke Damaskus. Ini merupakan akhir kejayaan teologi Hanabilah di Baghdad dan awal perkembangan di Damaskus. Tokoh-tokoh tersebutlah yang menjadi poros genealogi (madar sanad) teologi Salafi sebelum abad kedelapan. Pada abad kedelapan muncul Ibnu Taimiyah sebagai tokoh dan memiliki simpatisan cukup banyak.
Setelah Ibnu Taimiyah ajaran teologi salafi dikembangkan oleh murid-muridnya. Atas peran murid-murid Ibn Taimiyah ini teologi Salafi tidak hanya tersebar di kalangan Ḥanabilah. Sayangnya sinar teologi ini mulai meredup dan hidup kembali setelah kemunculan Muḥammad ibn ʽAbd al-Wahhab. Namun tidak serta berkembang, gerakan Wahhabi ini juga mengalami pasang surut.
Gerakan Wahabi ini berkembang setelah keturunan Ibnu ʽAbdul Wahhab dibantu oleh kerajaan Saudi Arabia pada perempat abad kedua puluh Masehi, 1924 M. Wahabi baru berhasil setelah secara resmi menjadi teologi resmi negara setelah lebih dari satu abad kewafatan pendirinya.
Gerakan penyebaran teologi ini semakin masif setelah ditemukannya tambang minyak di Semenangjung Arab hingga saat ini. Hal ini ditandai dengan aktivitas keilmuan yang berkembang dari Riyadh dan Haramayn hingga ke seluruh belahan dunia. Berbagai taḥqiq atau penyuntingan teks terhadap menuskrip teologi membanjiri perpustakaan, bahkan penyebaran melalui teknologi informasi juga dilakukan di berbagai negara.
Di Indonesia sendiri penyebaran Salafi-Wahabi dilakukan melalui lembaga pendidikan seperti LIPIA, pesantren-pesantren dan lembaga pendidikan dasar yang tersebar di berbagai daerah, dan membanjirnya teknologi informasi seperti stasiun televisi dan radio (Rodja TV dan Radio Rodja), serta situs-situs web keislaman (rumaysho.com, muslim.or.id, muslimah.or.id, almanhaj.com dan situs-situs web sejenis).
Masifnya penyebaran Salafi Wahabi ini menjadikannya tidak hanya berkutat dalam teologi sebagaimana awal mula kemunculan genealoginya, tetapi juga sudah beralih pada bidang-bidang lainnya. Lebih jelasnya lihat bagan berikut ini:
Bacaan terkait Salafi dan Wahabi ini bisa dibaca lebih lanjut dalam buku Teologi Muslim Puritan karya Arrazy Hasyim di sini.