Alkisah, di Baghdad, hidup seorang bernama Samnun bin Hamzah. Ia adalah seorang ‘abid (seorang yang sangat rajin ibadah). Konon, setiap hari ia selalu mengerjakan sunnah sebanyak lima ratus raka’at.
Teman Samnun yang bernama Abu Ahmad al-Qalanisi pernah bercerita. Suatu ketika, ada seorang dermawan yang menyedahkan hartanya kepada para fakir miskin. Tidak tanggung-tanggung, yang ia berikan sebanyak empat puluh ribu rakaat.
Mendengar cerita itu lantas Samun bertanya kepada Abu Ahmad.
“Bagaimana pandangan Anda tentang bantuan yang disedekahkan oleh dermawan itu?” tanya Samnun bin Hamzah
Sebelum sempat dijawab, Samnun meneruskan kalimatnya, “kita tak akan bisa membalasnya. Oleh karenanya, mari kita pergi ke suatu tempat. Kita mengerjakan shalat di sana, dengan jumlah raka’at sebanyak harta yang si dermawan sedekahkan.”
Mereka berdua akhirnya berjalan ke suatu tempat yang telah disepakati itu dan mengerjakan shalat sebanyak 500 rakaat.
Kisah di atas terdapat dalam kitab Sifat al-Shafwah karya Ibnu Jauzi. Dalam kisah di atas, tidak disebutkan apakah Samnun juga ikut menerima bantuan atau tidak. Namun yang jelas, Samnun membalas kebaikan si dermawan itu.
Tentang membalas kebaikan orang lain, Nabi Muhammad Saw. bersabda:
“Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi siapa yang tidak tahu berterima kasih pada manusia.” (HR. Tirmidzi)
Dalam kitab Tuhfah al-Akhwadzi bi syarhi Jami’ al-Timridzi, dijelaskan menurut al-Khitabi, hadis ini memiliki dua takwil, yang salah satunya adalah “Allah enggan menerima rasa syukur seorang hamba atas kebaikan Allah kepadanya, selagi ia sendiri tidak mau berterimakasih (bersyukur) atas kebaikan orang lain kepadanya. Hal ini, lanjut al-Khitabi, karena keduanya saling berhubungan satu dengan yang lain.
Jadi, dari sini, kita bisa memahami bahwa tolok ukur seseorang dikatakan bersyukur kepada Allah adalah dengan melihat seberapa besar ia pandai berterimakasih kepada seseorang yang telah berbuat baik kepadanya.
Mengapa kita perlu berterimakasih kepada sesama manusia? Karena mereka telah menjadi perantara datangnya nikmat kepada kita.
Dalam keterangan lain, Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Barangsiapa diperlakukan baik oleh orang lain kemudian ia berkata kepadanya “jazaakallah khairan” (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka ia telah memujinya dengan setinggi-tingginya.” (HR. Tirmidzi)
Dalam syarah hadisnya (Tuhfah al-Akhwadzi) dijelaskan, doa itu diucapkan bisa karena ketidakmampuan pengucapnya untuk memberi penghargaan/hadiah kepada si pemberi bantuan, atau bisa diucapkan begitu saja secara mutlak (baik mampu memberi hadiah atau tidak).
Doa ini juga harus dipahami sebagai bentuk taqsir (meringkas). Maksud dari meringkas balasan, yakni karena si penerima bantuan tidak bisa membalas kebaikan yang telah ia terima, maka ia meminta tolong kepada Allah agar Dia saja memberi balasan.
Yang terberat dari menerima bantuan, menurut penulis, adalah adanya perasaan “hutang rasa”. Yang demikian ini tak akan bisa terbayar selamanya.
Mungkin kita pernah dibantu oleh teman/kerabat kita saat kita sedang mendapat musibah. Bisa jadi, nominal bantuannya tidak terlalu besar. Namun, karena saat itu kita sedang butuh-butuhnya, maka bantuan sekecil apapun akan kita anggap besar.
Hal inilah yang akan membuat kita akan terus merasa tidak akan pernah bisa membalasnya meski dengan nominal yang lebih besar. Dan jika demikain adanya, maka hanya dengan doa sebagaimana tersebut dalam hadis di ataslah kita bisa membalas, “Jazakallah khairan”.
Terjemah leksikal kalimat doa “jazaakallah khairan” ini adalah “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan”. Namun sebagaimana disebutkan dalam kitab syarahya, maksud dari doa ini ada dua macam: (1) agar Allah membalas si pemberi bantuan dengan balasan yang terbaik atau (2) Semoga Allah membalasnya dengan balasan yang lebh baik dari apa yang diberikan. Wallahu a’lam.