Baru-baru ini MUI Sumbar menolak penutupan Masjid (termasuk mushalla) saat PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat di Sumatera Barat. Melalui Maklumatnya, MUI Sumbar menyatakan bahwa ibadah di masjid tetap dilaksanakan termasuk penyelenggaraan shalat Idhul Adha dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Keputusan ini berbeda dengan fatwa MUI Pusat, NU, dan Muhammadiyah yang menyetujui aturan PPKM terkait penutupan rumah ibadah sementara waktu.
Sebagaimana kita tahu, aturan PPKM ini lahir untuk menekan tingginya lonjakan kasus Covid-19 di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Sumatera Barat. Hingga saat ini, tercatat 59.066 kasus positif Covid-19 di Sumatera Barat, dengan rincian 1.312 meninggal, 50.638 sembuh, dan 7.116 dirawat (https://corona.sumbarprov.go.id/). Ada empat daerah/kota di Sumbar; Padang, Bukittinggi, Padang Panjang, dan Solok termasuk di dalam zona merah dan aturan PPKM. Wilayah ini berada dalam status level empat, di mana Covid-19 tidak terkontrol dan kapasitas kesehatan sudah terbatas.
Di tengah fakta di atas, keputusan MUI Sumbar yang membolehkan ibadah di masjid tersebut justru mendapatkan dukungan dari gubernur Sumbar. Asal dengan syarat tetap menjaga protokol kesehatan. Namun narasi yang dibangun oleh MUI Sumbar terkait aturan penutupan rumah ibadah tersebut patut kiranya disoroti. Hal ini terlihat dalam isi Maklumat dan wawancara ketua MUI Sumbar di sejumlah media.
MUI Sumbar masih saja memainkan isu klasik tentang pembatasan beribadah saat pandemi. Larangan beribadah dan aktifitas keagamaan di masjid dianggap sebagai larangan untuk beribadah. Padahal ini dua hal yang berbeda. Melarang bermain bola di halaman rumah, misalnya, tentu berbeda dengan melarang bermain bola itu sendiri. Namun seolah aturan terkait larangan aktifitas di rumah ibadah saat pandemi dianggap sebagai upaya untuk melarang umat Islam beribadah. Juga narasinya, seolah jika ada pembatasan aktifitas ibadah di masjid, maka hal itu akan mengurangi kesalehan bahkan meruntuhkan kemuliaan Islam.
Dalam Islam, ada banyak dalil yang membolehkan untuk tidak melakukan shalat berjamaah di masjid. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah melarang seseorang untuk mendekati masjid karena bau sayuran tertentu, sebab akan mengganggu orang shalat. Dalam kondisi wabah Rasulullah juga menganjurkan kita agar berada di rumah. Karenanya para ulama membolehkan untuk tidak mengikuti shalat berjama’ah jika ada udzur syar’i, diantaranya adalah kondisi wabah. Bahkan dalam kitab fikih, hujan lebat termasuk ke dalam udzur syar’i. Selama udzur syar’i masih ada, maka rukhsah untuk tidak mengikuti ibadah berjamaah di masjid masih berlaku. Konsekuensi dari hal ini adalah kosongnya masjid dari shalat berjamaah. Tentu hal ini tidak mengapa dan tidak merusak kemuliaan Islam.
Aturan tentang penutupan masjid bukan hanya berlaku di Indonesia. Negara-negara di Timur Tengah juga memberlakukannya, seperti Aljazair, Maroko, Yordania, Kuwait, Palestina, Libya, dan Tunisia. Masjidil Haram dan Masjid Nabawi juga pernah ditutup saat pandemi. Sekarang, kedua masjid ini dibuka untuk aktifitas ibadah dengan tetap menjaga prokes.
Saat ini thawaf dan sholat berjamah di sana dilaksanakan dengan menjaga jarak. Sementara fatwa MUI Sumbar menganjurkan umat agar tetap merapatkan shaf saat shalat berjamaah. Padahal merapatkan shaf hukumnya sunnah dan dianjurkan jika tidak ada udzur sedangkan jika ada udzur maka boleh menjaga jarak tanpa makruh, sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj.
MUI Sumbar juga memainkan narasi membenturkan masjid vs pasar; masjid ditutup sementara mal tetap buka. Padahal membenturkan dua hal ini tidaklah relevan. Fungsi masjid bisa dialihkan ke rumah karena adanya rukhsah, kita bisa melaksanakan shalat berjamaah dan ibadah di rumah. Sementara fungsi ekonomi tidak bisa dipindahkan ke rumah kita masing-masing.
Dalam aturan PPKM, untuk menjaga ekonomi tetap berjalan, 25% mal dan pasar diizinkan beroperasi dengan tetap menjaga prokes. Memang dalam pelaksaan aturannya, masih ditemui mal yang memperlihatkan pengunjung yang ramai dan tidak melaksanakan prokes. Hal ini yang selama ini menjadi benturan dalam masyarakat dan MUI Sumbar menganggapnya sebagai inkonsistensi pemerintah dalam menegakkan aturan. Pemerintah hanya tegas melaksanakan aturan terkait penutupan rumah ibadah tapi tidak tegas terhadap mal dan pasar yang tidak menerapkan prokes.
Hal ini memang menjadi PR pemerintah untuk lebih tegas dalam menerapkan aturannya dan tugas kita bersama untuk saling mengingatkan. Namun menjadikan ini sebagai alasan untuk menolak penutupan masjid tidaklah tepat. Menutup masjid akan menghindari kerumunan dan mengurangi penyebaran virus. Hal ini adalah baik. Sedangkan terjadinya kerumunan di pasar dan mal jelas akan menambah penyebaran virus. Hal ini adalah buruk. Ketika dua hal ini dibenturkan bukankah ini cemburu pada hal yang buruk? Bukankah harusnya umat Islam senang karena turut memberi sumbangsih dalam menekan penyebaran virus?
Keputusan MUI Sumbar untuk menolak penutupan masjid sementara waktu saat PPKM agaknya kurang tepat. Mengggulingkan narasi bahwa aturan PPKM terkait penutupan masjid bermakna melarang beribadah dan narasi masjid vs pasar tidak akan membantu dalam upaya mengatasi pandemi ini. Harusnya MUI Sumbar bisa bekerjasama dengan pemerintah dalam upaya mengatasi pandemi. Bukan membuat narasi yang berpotensi meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aturan pemerintah dalam mengatasi pandemi.