Beberapa tahun terakhir fenomena hijrah menjadi wacana yang cukup hangat untuk diperbincangkan. Fenomena hijrah berkembang pesat di tengah hiruk-pikuk kehidupan pemuda-pemudi muslim perkotaan. Gema hijrah terus dikumandangkan di berbagai media sosial: Facebook, Twitter, Instagram dan lain sebagainya, baik oleh netizen maupun oleh ustadz-ustadz seleb, seperti Felix Siau dan Hanan Attaki, berbarengan dengan wacana-wacana syar’i lainnya: seperti nikah muda, ta’aruf dan lain sebagainya.
Tentu, hijrah sebagaimana fenomena religio-sosial lainnya, tidak muncul dengan sendirinya dalam ruang kosong. Fenomena hijrah muncul di tengah derasnya arus moderniasi dan globalisasi yang terjadi di kota-kota di Indonesia pasca terbukanya katup-katup demokrasi yang ditandai dengan lengsernya orde baru. Hal ini mengisyaratkan bahwa ada hubungan antara hijrah sebagai bagian dari ritus keagamaan dengan tuntutan modernitas.
Diakui atau tidak, modernisasi dan globalisasi yang terjadi di Indonesia membawa dampak yang signifikan terhadap perubahan lanskap keberagamaan masyarakat Indonesia, terlebih bagi masyarakat muslim kota.
Di satu sisi, melalui modernisasi dalam bidang teknologi komunikasi, masyarakat muslim semakin menampakkan eksistensinya dalam menjalankan ritus keagamaan di ruang publik. Spirit keislaman mewujud dalam program televisi, bank syari’ah, wisata halal, sertifikasi halal dan sebagainya. Tetapi di sisi lain modernisasi juga berdampak terhadap bergesernya nilai dan orientasi keberagamaan, sebagaimana yang terjadi dalam fenomena hijrah.
Konstruksi Makna Hijrah
Istilah hijrah sebagaimana yang lazim dipahami merupakan terma yang berkembang dalam Islam yang disandarkan pada peristiwa hijrah-nya (pindah) Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Dalam hal ini, hijrah tidak hanya dimaknai berpindah secara fisik dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga berpindah dari satu keadaan ke keadaan lain. Singkatnya hijrah menandai momentum perpindahan dan perubahan dalam diri seseorang dari keburukan menuju kebaikan.
Akan tetapi ada yang khas dengan pemaknaan hijrah dalam konteks fenomena hijrah yang berkembang di kalangan pemuda dan pemudi muslim perkotaan saat ini. Yakni penekanan makna hijrah pada aspek eksitensialnya, bukan pada aspek substansialnya.
Bagi kaum perempuan hijrah akan senantiasa dikaitkan dengan perubahan cara berbusana yang lebih islami. Tata cara berbusana yang islami merujuk kepada cara berpakaian seorang muslim atau muslimah yang menutup aurat. Oleh karena itu wacana hijrah bagi perempuan tidak bisa dilepaskan dari seputar penggunaan jilbab, cadar dan busana-busana muslimah lainnya.
Tidak jauh berbeda dengan kaum perempuan, busana juga menjadi perhatian bagi kaum laki-laki. Biasanya fokus perhatiannya pada celana yang digunakan. Dalam menggunakan celana laki-laki dilarang untuk isybal (celana yang panjangnya melebihi mata kaki) karena merupakan wujud dari kesombongan. Selain itu kaum laki-laki juga dianjurkan untuk memanjangkan jenggot dan mencukur kumis sebagai perwujudan dari sunnah rasul.
Perubahan berikutnya yang juga tidak bisa dilepaskan dari wacana seputar hijrah adalah penggunaan istilah-istilah kata yang diambil dari bahasa arab. Beberapa kata yang sering digunakan adalah “ukhti” untuk menyebut saudara perempuan, “akhi” untuk menyebut saudara laki-laki, “ana” untuk menyebut aku/saya, “anta/antum” untuk menyebut kamu/kalian “na’am/la” untuk menyatakan iya/tidak dan beberapa istilah tambahan lain seperti fillah dalam kata ukhti fillah dan akhi fillah. Fenomena ini berkembang dikalangan pemuda dan pemudi perkotaan yang mengaku sedang berhijrah.
Terlepas dari segala macam pembelaan yang menyatakan bahwa fakta-fakta di atas merupakan tahapan awal dalam berhijrah, tetap saja hal itu menunjukkan adanya bentuk narsisme atau keinginan untuk diakui. Dalam hal ini telah terjadi pergeseran nilai dalam menjalankan ritus keagamaan dari semua bernilai etis-ideologis menjadi estetis-eksistensialis.
Mengembalikan Makna Hijrah
Disadari atau tidak terlalu fokus pada penekanan makna hijrah pada aspek eksistensial memiliki dampak negatif terhadap relasi sosial. Faktanya, kebanyakan orang yang berhijrah, mengalami keretakan hubungan sosial dengan teman atau kawan lamanya yang belum berhijrah. Hal ini dikarenakan konstruksi berfikir hijrah yang menekankan pada aspek eksistensial sebagaimana yang dijelaskan di atas, serta cenderung membuat dikotomi antara “aku yang sudah berhijrah” dan “mereka yang belum berhijrah”.
Terlebih jika ini didasarkan pada konsepsi negatif terhadap orang-orang yang tidak memakai atribut yang sama dengan dirinya, tidak memanjangkan jenggot dan mencukur kumis sebagaimana yang ia lakukan.
Oleh karena itu makna hijrah harus dikembalikan pada asalnya. Bahwa hijrah bukan hanya terbatas pada aspek eksistensi saja. Tetapi hijrah harus mampu menembus batas-batas fisik, karena sejatinya hijrah bukan hanya persoalan sudah bercadar atau tidak, hijrah bukan persoalan seberapa besar kerudungmu, seberapa cingkrang celanamu, juga bukan seberapa panjang jenggotmu. Hijrah itu tentang bagaimana kita memperbaiki hubungan kita kepada Allah, kepada manusia dan kepada alam sekitar.