Arab sebagai kebudayaan kerap disalahpahami sebagai bagian dari syariat islam. Padahal Arab dan Islam adalah dua hal berbeda dan tidak bisa disamakan. Lalu, bagaimana sih Islam di Indonesia?
Ditinjau dari sejarahnya, setiap agama yang datang ke Nusantara selalu mengalami akulturasi dengan budaya setempat. Tak terkecuali islam yang datang belakangan setelah Hindu dan Budha, serta agama-agama lokal yang telah lama mendiami negeri ini. Percampuran dialogis semacam ini tentunya mengalami proses yang sangat panjang, serta pemahaman akan makna kebudayaan setempat.
Dari proses ini, akhirnya islam di Indonesia mempunyai corak yang sangat khas dan berbeda dengan keberislaman di negara lain, serta membuat kebudayaan islam mengalami pergeseran dari aslinya. Hingga mencipta kebudayaan baru: islam Indonesia. Namun, akhir-akhir ini pakem keislaman itu berubah wajah menjadi angker dan menakutkan di bawah payung radikalisme yang nampak subur di tanah air.
Syaiful Arif dalam buku Deradikalisasi Islam (2010) mencoba menguak perubahan lelaku dan paradigma keberagamaan islam Indonesia yang inklusif dan toleran secara perlahan menjadi eksklusif, serta cenderung intoleran terhadap yang lain.
Paling tidak ada tiga hal penting yang diketengahkan peneliti yang juga santri di Pesantren Ciganjur ini dalam elaborasi teoritis gerakan islam di tanah air.
Pertama, Islamisme Indonesia. Pada taraf tertentu, para radikalis, begitu Arif menyebutnya, mencoba mengislamkan negara yang—konon—dianggap belum islam. Tentu yang demikian sangat bertolak belakang jika meninjau sejarah islamisasi nusantara, serta keniscayaan bahwa bangsa ini tidak hanya didominasi satu agama.
Hadirnya pancasila sebagi paradigma berpikir menjadi bukti koordinasi agama-agama yang mampu berjalan beriringan dalam bingkai nasionalisme .
Kedua, Pribumisasi Islam. Tesis ini pertama kali diwartakan oleh Abdurahman Wahid (Gus Dur) medio 80-an. Menurut beliau, pribumisasi telah mengakar dalam keberagamaan masyarakat Indonesia.
Konsep ini kerap salah dipahami oleh banyak orang, yang sering mengidentikannya dengan sinkretisasi agama-agama. Padahal hal ini sangat berbeda.
Pribumisasi islam yang dimaksudkan adalah akulturasi islam dengan kearifan lokal yang membudaya di tiap daerah. Pada banyak kasus, pribumisasi ini sudah menjadi ciri keindonesiaan.
Masjid di Kudus misalnya, yang mengadopsi gaya bangunan ala hindu, adalah contoh sahih akulturasi budaya. Pun kehidupan masyarakatnya yang plural dan toleransi merupakan bukti ihwal pribumisasi islam yang mampu mengokomodasi khazanah dan kearifan lokal.
Ketiga, Pendidikan Kultural. Pola ini diharap akan menjadi filter bagi radikalisme. Arif menuturkan bahwa pada dasarnya, pesantren, merupakan wadah terpenting dalam menangkal virus kekerasan tersebut. Peran kependidikan islam ini menjadi vital mengingat semakin menjamurnya pola rekruitmen para radikalis ini.
Faktanya, mereka kebanyakan merupakan orang dengan tradisi keberislaman yang minim–meskipun harus diakui juga. Bahkan cenderung memanfaatkan janji-janji teologis demi tujuannya.
Untuk itulah, saya kira, perlu sekali untuk membedakan antara Arab sebagai tradisi dengan islam sebagai sebagai ajaran agama. Tentu kita tidak mau Islam Indonesia yang toleran dan ramah dibajak oleh para radikalis maupun mereka yang intoleran dan menganggap dirinya paling islam. Wallahu a’lam bisshowab.