Salah satu fenomena urban religiosity di Jakarta adalah membaca al-Qur’an di transportasi publik seperti di Commuter Line, Bis dan terkadang saya melihatnya di gojek. Ini adalah tanda gairah keagamaan yang relatif baru di Jakarta.
Pada satu sisi hal ini menggembirakan karena kesadaran akan pentingnya membaca al-Qur’an menggejala di masyarakat, namun pada sisi lain ada hal yang hilang dari gaya hidup baru ini, yakni soal sakralitas al-Qur’an sebagai kitab suci.
Ini sudut pandang antropologis saya karena membaca al-Qur’an tidak seperti membaca buku-buku yang lain. Apa hal yang hilang tadi?
Pertama, keikhlasan. Sudah barang tentu orang membaca al-Qur’an itu hendaknya dibarengi dengan rasa ikhlas. Artinya membaca al-Qur’an hanya untuk Allah. Penyakit girah baru adalah soal menjaga keikhlasan, mampu menjaga riya’ dan sum’ah.
Jika membaca al-Qur’an di commuter line untuk penegasan identitas keislaman pada diri orang lain, maka di sinilah soal keikhlasan menjadi tanda tanya. Namun rasa seperti ini terkadang kalah dengan rasa ghirah tadi.
Kedua, soal ruang dan waktu. Carilah ruang yang bersih dan waktu yang utama. Ruang yang bersih ini adalah ruang yang terbebas dari kotoran (najis). Usahakan ruang itu memungkinkan kita menghadap kiblat. Bukan ruang sembarangan karena pilihan ruang menunjukkan sacrality of the Qur’an.
Waktu yang utama adalah waktu-waktu dimana kita membaca Qur’an bisa khusyu’ dan tidak terganggu oleh hilir mudik orang di depan kita. Memang, khusyu’ bukan persoalan orang lain, namun persoalan diri kita dalam mengendalikan hati dan mata.
Masalahnya, tidak semua orang mampu menahan hati dan mata, kecuali orang yang sudah tertata hati dan matanya.
Ketiga, diwajibkan menyentuh al-Qur’an apabila dalam bentuk mushaf tanpa terjemahan dalam keadaan tidak batal wudhu, pendapat mayoritas ulama. Dalam keadaan umpek-umpekan di kereta dengan penumpang yang lain apakah diri kita tidak terkena najis atau tersentuh kulit kita dengan ajnabi (bukan mahram)? Soal dalam keadaan suci ini yang saya lihat banyak pembaca Qur’an di transportasi publik tidak memperhatikannya.
Keempat, soal tajwid. Dianjurkan agar membaca Qur’an dengan tajwid yang benar. Bahkan menurut ulama tajwid, hukumnya wajib membaca al-Qur’an dengan tajwid yang benar karena jika tajwid salah bisa berpengaruh pada pemaknaan al-Qur’an. Hendaknya para pembaca al-Qur’an ini memiliki tajwid yang benar, jika tidak maka setiap hari dia melakukan kesalahan tajwid.
Kelima, menunaikan hak Qur’an dimana jika ketemu ayat sajdah kita dianjurkan untuk sujud. Dalam ruang publik seperti trasportasi, bersujud mungkin bisa menimbulkan kerepotan bagi orang lain, namun jika tidak bersujud ketika ketemu ayat-ayat sujud maka itu secara etik tidak memenuhi hak al-Qur’an.
Masih banyak lain hal-hal yang hilang lainnya yang tidak saya catat. Karena bagi saya al-Qur’an itu adalah kitab suci, maka waktu dan ruang yang saya gunakan untuk membacanya haruslah mencerminkan kesucian al-Qur’an.