Beberapa hari ini linimasa diramaikan dengan berita Syahrini menjual mukena seharga tiga juta lebih dan ludes terjual hingga lima ribu potong dalam waktu singkat. Fakta penjualan tersebut jelas menjadi sebuah paradoks dan cukup mengagetkan, apalagi saat ini, kondisi ekonomi sedang lesu dan pembelian mukena dengan harga yang cukup fantastis malah laris. Fenomena artis hijrah dan pakaian Islami memang tidak selalu memiliki korelasi, tapi di Ramadan malah terjadi fakta yang berbeda. Keduanya bisa berjalan serasi dan beriringan.
Fakta terpapar dengan telanjang di hadapan kita semua. Bahkan, pakaian Islami dalam fenomena hijrah justru bagai sekrup kecil dari industri besar dan terkadang kita tidak sadar. Di mana terus memunculkan berbagai produk yang dikaitkan baik secara langsung hingga tidak langsung dengan perjalanan ruhani (baca: hijrah) seorang manusia. Hijrah artis menjadi perbincangan baru-baru ini lewat desiminasi penelitian yang dilakukan oleh pengamat terorisme bernama Ahmad Muzakki.
Felix Siauw menuliskan sebuah status panjang di akun Instagram dan Facebook miliknya beberapa waktu lalu. Dalam statusnya tersebut, dia menjelaskan ketidaksetujuannya atas penelitian yang mengatakan bahwa seorang artis yang telah berhijrah bisa disebut rentan terpapar pada radikalisme dan terorisme, sebagaimana ditegaskan oleh penelitian tersebut.
Dalam cuitan diberi judul oleh Felix dengan “Artis-artis Manis Dikata Teroris”, dia mengawali gugatannya dengan narasi manusia normal sudah semestinya senang melihat kebaikan. Logika yang dipakai Felix adalah kalau ada artis yang “hijrah” itu baik jadi kalau merasa sebagai manusia harus senang melihatnya. Berangkat dari titik tersebut kritik Felix terhadap atas penjelasan Ahmad Muzakki di atas, yang dianggapnya kritik tersebut telah bercampur hasad karena tega membeberkan kerentanan mereka (baca:artis) yang berhijrah bisa terpapar jika tanpa pendampingan.
Kritik Felix mungkin terlihat wajar karena beberapa artis yang telah berhijrah berinteraksi dengan ceramah Felix sendiri bisa dibilang cukup intens. Mungkin disebabkan hasil penelitian tersebut justru menohok dirinya sebagai penceramah yang sering terlibat bersama para artis hijrah baik langsung diundang dalam kajian kecil atau dalam sebuah acara besar seperti Hijrahfest yang beberapa hari berlangsung. Padahal, entah disadari atau tidak, Felix tidak melihat titik berangkat dari penelitian tersebut adalah paparan radikalisme dan terorisme bisa dengan mudah masuk melewati konsumsi dan transmisi pengetahuan agama para artis hijrah, yang sering mengandalkan media sosial. Seperti Youtube, Facebook, dan Instagram.
Felix mengindahkan fakta bahwa konten agama di media sosial cukup didominasi dengan konten kekerasan dan terorisme. Irisan radikalisme dan terorisme di media sosial memang bukan barang baru. Sebab, transmisi pengetahuan agama yang sering dikonsumsi lewat media sosial sangat dangkal karena tidak banyak konten yang merujuk langsung pada kitab-kitab mu’tabarah untuk memperluas pemahaman agama Islam. Yang memperparah adalah pengetahuan yang dangkal dan sempit tersebut yang didapat di sana kemudian dibagikan sebelum mengadakan pendalaman, sehingga persebaran keilmuan yang dangkal justru semakin massif.
Berlindung pada dalil “sampaikan kepadaku walau satu ayat”, banyak para pembelajar dari media sosial dengan sangat sadar membagikan pengetahuannya yang sangat sedikit tersebut di ruang publik baru bernama media sosial. Sedangkan, hal yang kurang disadari adalah pengetahuan agama tidak sesempit yang mereka terima di media sosial, sehingga saat bertemu dengan persoalan khilafiyah yang bersifat kontradiktif dengan pemahaman mereka malah menjadi pembicara cukup vokal menyuarakan penolakan terhadap perbedaan tersebut. Sikap tawadhu di saat mereka belajar di awal sering belajar malah hilang seketika, berubah menjadi pembela tafsiran agama mereka yang sempit. Di sinilah akar radikalisme bisa menjangkiti mereka.
Sebagai muslim, tentu saja saya senang sekali ketika banyak sekali yang hijrah. Tapi, memang, harus disadari bahwa makna hijrah harus ditelaah ulang bukan sekadar pakaian dan ‘lebih islami’ belaka. Sebab, diksi tersebut lebih mengarahkan jika masih seperti ini hijrah masih rentan terjebak pada pemahaman agama yang sempit, egosentris dan menindas. Keberagamaan tidak lagi dipandang sebagai pencarian makna kemanusiaan, kebersahajaan, dan penghayatan dalam.
Egosentris dan narsistis akhirnya mendominasi dalam keimanan yang ditampilkan dalam bahasa-bahasa millenial, Instagramable dan politik pragmatis. Proses penghayatan makin tersingkir dalam momen paling eksistensial dan otentik dalam diri. Akhirnya, hijrah yang disebut bagian dari perjalanan keimanan seseorang lebih di luar pengalaman kemanusiaannya yang justru menyeretnya pada praktek keberagamaan saling marah dan silih mengobjektivikasi yang liyan.
Di saat mukena berharga fantastis menjadi viral, sudah seharusnya kita semua mulai merasa jengah dengan persoalan pendangkalan agama lewat konsumerisme berbalut dalil. Selain persoalan konsumerisme, kalangan artis hijrah seharusnya menyadari bahwa pengalaman keberagamaan harus tidak lagi menonjolkan egosentrisme dan narsistis, agar lebih dekat kebersahajaan dan kemanusiaan. Untuk juga terhindar dari pada pendangkalan makna agama lewat radikalisme dan terorisme.