Mustahil Reuni 212 nihil dari muatan politik. Sejak meletupnya arus massa yang, katanya, membela Islam pada pekan awal di akhir tahun 2016, kenyataannya 212 dimengerti sebagai kulminasi dari gerakan protes untuk mengutuk seorang Ahok yang non-Muslim dan kebetulan saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Selain itu, sulit juga membayangkan adanya gerakan yang demikian besar bilamana tidak ada Pilkada DKI yang demikian kompetitif.
Dilihat dari line up-nya saja, gerakan itu justru kebanyakan memuat tokoh kunci dari rahim politik. Sekurang-kurangnya Islam politik di samping juga terdapat jubelan tokoh politik praktis yang turut memenuhi mimbar orasi.
Berbeda dengan NU atau Muhammadiyah, sejauh ini FPI merepresentasikan dirinya sebagai gerakan nahi munkar yang memiliki misi Indonesia bersyariat. Akibatnya, ia cenderung mengurusi persoalan-persoalan yang dianggap melenceng dari syariat, seperti: pesebaran miras, warung buka di siang hari saat bulan puasa, lokalisasi, karaoke yang ada lokalisasinya, dan belakangan turut memeriahkan panggung demokrasi limatahunan, baik Pilkada maupun Pilpres, sebagai produsen dalil agama.
Tetapi, mengapa FPI yang secara eksistensi lebih kecil dari dua Ormas di atas justru mampu meraup dukungan cukup luas? Terbukti, DKI Jakarta pada aksi 212 dan kemungkinan pada reuninya juga nyaris sesak oleh para “pejuang agama”.
Mengutip Ahmad Najib Burhani (2016), bahwa fenomena itu bisa dijelaskan setidaknya melalui dua pasal. Pertama, dalam hal otoritas keagamaan, telah terjadi fragmentasi otoritas keberagamaan. NU dan Muhammadiyah umpamanya, kini nyaris tak lagi menjadi referensi—setidaknya untuk Muslim urban.
Sebaliknya, yang menjadi rujukan dalam mengkonsumsi ilmu-ilmu agama adalah ustaz-ustaz selebriti populer dan kerap muncul di TV atau Youtube. Para ustaz itu, lebih banyak dirujuk karena dianggap lebih mudah dimengerti dan praktis ketimbang orang-orang yang umumnya berasal dari pimpinan organisasi keagamaan Islam.
Kedua, adanya transformasi konservatisme. Apa yang sebelumnya tampak tabu, misalnya penggunaan istilah kafir, sekarang bertransformasi menjadi bagian dari arus utama. Wacana konservatisme yang terungkap dalam sentimen anti-Ahok itu pun akhirnya mempertemukan kelompok-kelompok yang satu frekuensi seperti penganut vigilantisme, Wahabi, juga pengusung ide khilafah, sehingga memungkinkan mobilisasi massa yang begitu masif.
Walhasil, tak heran kalau ada semacam kontras yang begitu tajam antara atribut kesalehan yang seolah direpresentasikan lewat setelan takwa dengan spanduk-spanduk bertajuk tangkap, bunuh, dan gantung Ahok. Lebih jauh, upaya-upaya untuk menjernihkan atau merespon situasi justru ditanggapi dengan penuh emosi.
Pada titik ini saya kira, tidak salah kalau KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) mulai resah dengan cara keberislaman kita. Keterangan Gus Mus sendiri saat menjelaskan bahwa Jumatan di jalanan merupakan bid’ah terbesar misalnya, alih-alih dibantah dengan pendekatan kritis-dialektis. Yang terjadi justru kritik Gus Mus itu ditanggapi dengan umpatan-umpatan emosional setamsil Ndasmu.
Akhirnya, sebagaimana dikatakan Gus Mus, kita, umat Islam harusnya mengerti mana urusan yang sifatnya hanya sementara dengan urusan yang berlaku abadi. Dengan kata lain, menganggap urusan lima tahunan sebagai ranting keimanan dan keislaman tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebuah ironi yang menggelikan.
Oleh sebab itu, mengatakan reuni 212 alpa dari kepentingan politik saya kira adalah sebuah pandangan ahistoris. Merayakan reuni 212 sama saja merayakan ketidakberdayaan hakim di bawah tekanan massa yang hendak mengintimidasi mereka yang lemah.
Jelas, ini tidak sehat bagi keberlangsungan masa depan hukum kita. Sebab, selain Ahok, masih terdapat banyak korban akibat palu hakim yang diintervensi tekan massa atas nama agama. Memperjuangkan dan membela prinsip-prinsip serta nilai-nilai syariat memang perbuatan terpuji. Namun, upaya-upaya pemberantasan kemaksiatan dan melawan kezaliman yang diperagakan dengan cara represif menang-menangan dan tidak manusiawi adalah tidak masuk akal.