KPU: Kampanye yang Benar Menurut UU Pemilu adalah Kampanye Edukatif

KPU: Kampanye yang Benar Menurut UU Pemilu adalah Kampanye Edukatif

“Praktik kampanye itu, menurut UU Pemilu, adalah kampanye edukatif. Karena kampanye adalah sarana pendidikan pemilih.”

KPU: Kampanye yang Benar Menurut UU Pemilu adalah Kampanye Edukatif
Kegiatan Forum Jumat Pertama yang diselenggarakan oleh GUSDURian Jakarta.

JAKARTA, ISLAMI.CO – Anggota Komisioner KPU, Idham Holik, mengungkapkan bahwa praktik kampanye yang sesuai dengan Undang-Undang Pemilu adalah kampanye edukatif. Hal ini disampaikan dalam acara Forum Jumat Pertama GUSDURian Jakarta yang bertajuk “Refleksi Menuju Pemilu 2024: Tetap Waras di Zaman Edan”, Jum’at (1/9/2023) kemarin.

“Praktik kampanye itu, menurut UU Pemilu, adalah kampanye edukatif. Karena kampanye adalah sarana pendidikan pemilih,” ungkap Idham.

Undang-Undang yang dimaksud adalah UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Adapun ketentuan tentang kampanye pemilu terdapat pada BAB VII dalam UU yang disebutkan.

Selain edukatif, Idham menambahkan, UU tersebut juga menegaskan bahwa kampanye pemilu juga harus rasional.

“Karena UU Pemilu menegaskan bahwa kampanye adalah sarana meyakinkan pemilih dengan cara menawarkan visi-misi dan program. Walaupun ada tambahan yaitu berkaitan dengan citra diri,” terangnya.

Menurutnya, dalam proses kampanye, rasionalitas harus dijunjung tinggi. Di samping para kontestan harus berkampanye secara rasional, para pemilih juga harus rasional ketika para kontestan menyuguhkan narasi politik dalam kampanye mereka.

“Praktik kampanye itu harus dibingkai dalam konteks komunikasi politik yang rasional. Tidak hanya kontestan kepada para pemilih, tapi pemilih juga harus rasional menghadapi pesan-pesan komunikasi politik. Atau lebih tepatnya persuasi atau propaganda politik yang dimainkan oleh para politisi maupun para kontestan,” paparnya.

Selain itu, alumnus program doktor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia ini juga menekankan agar para politisi tidak menggunakan isu SARA dalam berkampanye. Karena hal itu termasuk larangan-larangan kampanye yang tertulis di dalam Undang-Undang.

“Sekarang, ketika penyelenggaraan pemilu masih dalam landskap politik pasca-kebenaran (post-truth politic), maka berpotensi politik identitas juga dikembangkan (oleh kontestan Pemilu). Itulah mengapa UU No. 7 tahun 2017 yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilu, khususnya di dalam pasal 281 tentang larangan dalam berkampanye, itu tidak boleh menggunakan pendekatan SARA,” beber Idham.

Baca Juga: Politik Identitas itu Bagian dari Kemusyrikan dan Tanda Jahiliyah

Terakhir, ia menyampaikan rasa optimismenya dalam menyongsong pesta demokrasi di tahun 2024 mendatang. Ia berkeyakinan bahwa Pemilu mendatang bisa lebih baik dari Pemilu-pemilu yang sebelumnya.

“Saya yakin, Pemilu 2024 dari sisi partisipasi politiknya, dari sisi diskursus maupun komunikasi politiknya, lebih baik, di mana etika lebih dikedepankan. Karena etika politik, etika komunikasi politik, juga representasi dari peradaban,” tegasnya.

Ia melanjutkan, “dan Gus Dur selama beliau hidup, selama beliau mengabdikan diri untuk kepentingan bangsa dan negara, beliau menginginkan peradaban Indonesia ini maju. Dan Pemilu menjadi representasi itu semua. Mari kita wujudkan pemilu yang etis, damai, harmoni, yang rasional, demi Indonesia yang lebih maju.”

Forum Jumat Pertama diselenggarakan di Griya Gus Dur, Menteng, Jakarta Pusat. Selain Idham Holik, narasumber yang turut diundang dalam acara tersebut adalah Inaya Wahid, Dirut Charta Politika Yunarto Wijaya, serta Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja. [NH]