Nabi Muhammad sudah banyak berinteraksi dengan dua agama besar di Jazirah Arab waktu itu, Yahudi dan Kristen. Dengan Yahudi, Nabi menampilkan perlakuan yang berbeda, mulai dari pola yang relatif liberal seperti dalam Piagam Madinah, hingga perlakuan yang relatif keras seperi yang Nabi tunjukkan kepada umat Yahudi Khaibar. Kepada Kristen, Rasulullah menampilkan sikap yang lebih moderat. Misalnya, ketika berunding dengan beberapa suku di Arab Selatan. Nabi mengizinkan mereka untuk mengamalkan agama mereka selama mereka tunduk kepada kekuasaan Islam.
Pasca wafatnya Rasulullah, pola perilaku Nabi tersebut menjadi acuan bagi umat-umat Muslim sesudahnya dalam bersosialisasi dengan umat Kristen. Namun, pola perilaku ini cenderung lebih bervariatif, menyesuaikan dengan kepentingan dan agenda yang sedang dilakukan oleh kaum Muslim saat itu. Hal ini nampak dalam rentang waktu dua abad setelah wafatnya Rasulullah. Kaum Muslim nampak mengambil dua sikap utama dalam berhubungan dengan umat Kristen, yaitu sikap keras dan konfrontatif, dan sikap lembut dan toleran.
Sikap yang keras dan konfrontatif ditunjukkan selama periode awal yang singkat, misalnya ketika mereka menyerang beberapa komunitas Yahudi dan Kristen dari Jazirah Arab. Hal ini misalnya seperti yang diriwayatkan oleh al-Thabari, bahwa khalifah kedua Umar bin Khattab mengusir kaum Yahudi Khaibar dan kemudian memberikan negeri itu kepada kaum Muslimin. Beberapa sumber Islam yang lain juga meriwayatkan perintah Umar untuk mengusir kaum Kristen Arab dari Jazirah Arab. Namun, laporan itu masih bisa dikaji ulang karena terdapat bukti lain yang menunjukkan bahwa terdapat bukti lain yang menunjukkan bahwa masih terdapat kaum Kristen di najran setidaknya hingga 200 tahun berikutnya.
Pada masa-masa awal ini, umat Islam lebih banyak menggunakan pendekatan militer terhadap kaum Yahudi dan Kristen. Serangan-serangan itu nampak berangkat dari QS. at-Taubah: 29 yang memerintahkan umat Islam untuk memerangi mereka yang mengingkari Islam. Pada masa-masa ini, dakwah Islam cenderung menggunakan metode yang koersif dengan menawarkan dua pilihan, memeluk Islam atau diperangi.
Namun, sikap umat Muslim tersebut berubah menjadi lebih toleran, terutama ketika penyerangan-penyerangan tersebut berubah status menjadi penaklukan dan ekspansi Islam. Periode ini berlangsung lebih lama daripada periode awal. Toleran dalam konteks ini terjadi dalam konteks ekspansi dan penaklukan wilayah-wilayah untuk masuk dalam kekuasaan Islam.
Sikap Muslim yang lunak ini, misalnya, ditunjukkan oleh pasukan Muslim yang dikirim ke Najran di bawah komando Khalid bin Walid pada 631 M. Agenda penaklukan dan pendudukan umat Muslim ini menandai perubahan perlakuan Islam terhadap penduduk setempat yang mayoritas beragama Kristen. Meskipun penduduk di sana diberi pilihan, menerima Islam atau diserang, para penganut Yahudi dan Kristen di sana mendapat jaminan bahwa mereka tidak akan dipaksa untuk meninggalkan keyakinan mereka.
Dalam konteks ini, pendekatan politik dan militer harus sepenuhnya berada di tangan penguasa Muslim. Sikap toleransi ini terwujud pada kebebasan bagi penduduk non-Muslim, termasuk Kristen, untuk menjalankan ibadah mereka di tempat ibadah masing-masing. Mereka yang non-Muslim kemudian juga diwajibkan membayar jizyah sebagai pajak kepada negara.
Meski demikian, riwayat Islam seolah tidak bersepakat tentang bagaimana pola hubungan antara Islam dan Kristen yang konkrit, terutama mengenai kesepakatan antara pihak Muslim dengan penguasa daerah non-Muslim yang ditaklukannya. Hal ini karena di era pasca Nabi, Islam secara besar-besaran melakukan ekspansi ke berbagai wilayah yang sekaligus meniscayakan relasi yang lebih luas antara umat Islam dan umat Kristen di wilayah taklukan.
Namun secara umum, bisa dikatakan bahwa penaklukan kota-kota besar biasanya diberi pilihan, menyerah dengan jaminan perlindungan nyawa, harta, dan kebebasan beragama atau diperangi. Kota besar ini misalnya adalah Damaskus. Jika kota itu memilih jalan perang, umat Muslim biasanya akan menawari syarat-syarat yang lebih keras, misalnya pengambil alihan tempat ibadah dan diubah menjadi masjid dan pelarangan umat non-Muslim untuk mendirikan tempat ibadah. Maka, tidak heran, Damaskus lebih memilih untuk menyerah secara damai.
Namun, ada juga kota yang memilih untuk berperang, yaitu Jerussalem dan Kaisarea (Kaisarea adalah kota kecil yang sekarang terletak di tengah-tengah antara Tel Aviv dan Haifa, Israel). Setelah beberapa lama berperang, Jerussalem mengajak berdamai pada 640 M, sementara Kaisarea jatuh pada tahun yang sama.
Hal ini menyimpulkan bahwa pasca wafatnya Nabi, kaum Muslimin memperlakukan dan memandang Kristen dengan cara yang berbeda-beda, dari sikap yang mengedapankan permusuhan, untuk jangka waktu yang tidak lama, hingga sikap lebih toleran dan damai dengan menerapkan beberapa klausul dan batasan terhadap kaum Kristen dan komunitas non-Muslim lainnya, memberikan jaminan perlindungan atas jiwa dan harta mereka, serta memberi mereka kebebasan beribadah, meski bukan kebebasan beragama dalam pengertian yang kita kenal di era modern ini.
Baca Juga, Penghormatan Kanjeng Nabi Muhammad SAW Kepada Non-Muslim
Di abad pertama hingga pertengahan milenium pertama, dunia masih lekat dengan karakter saling menaklukan, terutama di daerah yang sekarang bernama Timur Tengah. Di abad ke 15 saja, kita mempunyai seorang tokoh yang bernama Sultan Muhammad Al-Fatih Sang Penakluk. Namun, hal itu tidak hanya terjadi dalam Islam saja, melainkan dalam tradisi agama lain, seperti Kristen melalui patron kekaisaran Byzantium.
Oleh karena itu, model toleransi seperti yang dijelaskan di atas tentu tidak bisa kita praktikkan di zaman sekarang yang sudah tidak mengenal kata perang dan penjajahan. Yang bisa kita ambil dari pola hubungan Nabi dengan umat Kristen adalah tentang bagaimana beliau secara terbuka mau melakukan dialog dan membebaskan umat non-Islam untuk menjalankan ajaran agamanya.