ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) melakukan aksi yang benar-benar brutal. Setelah berhasil menangkap pilot Jordania, mereka membakarnya hidup-hidup. Aksi ini memicu perhatian dunia. Raja Jordania menyatakan perang secara terbuka kepada kelompok ISIS. Dia menyatakan akan memimpin secara langsung serangan terhadap kelompok tersebut. Terlepas dari kasus tersebut, sebagai ummat Islam yang mengikuti manhaj salaf, kita hendaknya berlepas diri dari perbuatan semacam itu. Membakar makhluk hidup bukan bagian dari ajaran Islam menurut manhaj salaf. Karena, perbuatan tersebut bertentangan dengan Hadis-hadis sahih yang bersumber dari Rasulullah Saw.
Selain kelompok ISIS yang melakukan aksi tersebut, baru-baru ini beberapa kelompok masyarakat membakar seseorang yang dituduh mencuri. Tanpa bertanya dan klarifikasi terlebih dahulu, mereka main bakar orang yang dituduh mencuri tersebut.
Hal ini memunculkan pertanyaan besar di benak kita? Benarkah membunuh orang dengan api diperbolehkan oleh tuntunan Islam, walaupun dengan keadaan tertentu?
Nabi Muhammad Saw. pernah melarang umatnya menggunakan api ketika mengeksekusi mati. Dalam riwayat yang sahih dikatakan, la yanbaghi li ahad an yu’addzib bin nar illa Allah (tidak pantas menyiksa dengan api kecuali Allah).
Hadis tersebut diriwayatkan dalam kitab-kitab Sirah Nabawiyyah dan kitab-kitab Hadis. Kualitasnya sanadnya bermacam-macam. Ada yang sahih, ada yang hasan dan ada pula yang daif. Berikut ini kami sarikan riwayat-riwayat sahih tentang larangan membakar makhluk hidup.
Sirah Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam
Ibnu Hisyam (w. 213 H) meriwayatkan dalam kitab Sirah-nya bahwa ketika Zainab hendak mengikuti Rasulullah Saw berhijrah menuju Madinah, orang-orang Quraisy memerintahkan dua orang dari mereka membuntuti untuk membunuh Zainab.
Namun, Allah berkehendak lain. Zainab selamat sampai Madinah. Celaka bagi mereka karena mereka ketahuan. Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk mengejar dan menangkap mereka. Nabi juga memerintahkan, ketika tertangkap, mereka harus dibakar. Hal ini karena Nabi sangat geram terhadap mereka yang hendak membunuh putri kesayangannya.
Setelah kembali ke Madinah, Nabi mengatakan bahwa beliau menyesal memerintahkan perbuatan tersebut. Harusnya tidak perlu membakar. Karena, membakar adalah hak Allah. Hanya Allah yang berhak melakukannya. Kemudian, beliau bersabda, la yanbaghi li ahad an yu’addzib bin nar illa Allah (tidak pantas bagi seorang pun manusia menyiksa menggunakan api, kecuali Allah) (Sirah Ibni Hisyam hlm. 272).
Kitab-Kitab Hadis
Hadis tentang larangan membakar makhluk hidup banyak diriwayatkan oleh para imam ahli Hadis. Di antaranya adalah Sahih al-Bukhari, Sunan al-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Sunan al-Darimi, Sahih Ibnu Hibban, Mustadrak‘ala al-Sahihain, dan lain sebagainya.
Secara berurutan berdasar masa hidup penulisnya, kami kutipkan hadis-hadis tersebut lengkap beserta komentar dan penafsiran para penulis kitab Hadis.
Riwayat al-Bukhari
Imam al-Bukhari (w. 256 H.) dalam kitab Sahih al-Bukhari atau al-Jami’al-Sahih meriwayatkan Hadis dari sahabat Abu Hurairah sebagai berikut:
Dari Abu Huraiah Ra. bahwa dia berkata, Rasulullah Saw mengutus kami dalam sebuah kelompok. Kemudian beliau berkata, “Jika kalian menangkap fulan dan fulan, bakar keduanya dengan api.” Kemudian, ketika kami hendak berangkat, beliau mengubah perintahnya, “Aku telah memberikan perintah membakar fulan dan fulan, dan sungguh, tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Allah. Jika kalian berhasil menangkapnya, bunuh keduanya.”
Al-Bukhari menjelaskan bahwa berdasar Hadis tersebut membunuh dengan api hukumnya tidak boleh. Hal ini beliau sampaikan dalam judul bab dalam kitab Sahih al-Bukhari, bab La Yu’addzib bi Adzabillah yang berarti bab tentang tidak boleh menyiksa dengan siksaan Allah (Sahih al-Bukhari, juz 4, hlm. 61).
Riwayat Abu Dawud
Imam Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H.) meriwayatkan Hadis dari sahabat Abdullah bin Amr bin ‘Ash sebagai berikut:
Dari Abdurrahman bin Abdullah dari ayahnya yang berkata, “Kami bersama Rasulullah Saw dalam sebuah perjalanan. Lalu, (ketika), beliau membuang hajat, kami melihat seekor burung hummarah (emprit) dengan dua anaknya. Kami mengambil kedua anak burung tersebut. Lalu induknya datang dan mengepakkan sayapnya. Nabi Saw datang lalu berkata, ‘Siapa yang mengganggu burung itu dengan mengambil anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya.’ Lalu, Rasulullah Saw melihat sebuah sarang semut yang telah kami bakar. Beliau bertanya, ‘Siapa yang membakar sarang ini?’ Kami menjawab, ‘Kami.’ Beliau bersabda, ‘Sungguh, tidak pantas menyiksa dengan api kecuali Tuhan Pencipta api.’
Ketika mengutip Hadis ini, Imam Abu Dawud memberi keterangan dalam bentuk judul bab Karahiyah Harq al-‘Aduwwi bin Nar yang berarti haramnya membakar pasukan musuh (lihat Sunan Abi Dawud, juz 3, hlm. 55).
Kata karahiyah dalam judul bab tersebut berarti haram, bukan makruh. Penggunaan kata karahiyah dengan pengertian haram sudah menjadi kebiasaan ulama salaf dari golongan ahli hadis.
Hal ini sebagai bentuk tata krama agar tidak dianggap lancang terhadap Allah. Allah tidak menyatakan haram demikian pula Rasulullah Saw. Namun, ketika dipahami maksud Rasulullah adalah melarang, larangan ini bersifat tegas (jazm) yang artinya sama dengan mengharamkan.
Haramnya membakar pasukan musuh adalah pendapat Imam Abu Dawud. Karena, dalam Hadis tidak disebutkan keterangan pembakaran pasukan musuh. Bahkan, sebenarnya Hadis tersebut tidak sedang membicarakan perang, tawanan, atau pasukan musuh.
Hadis tersebut merupakan komentar Nabi Muhammad tentang perbuatan sebagian sahabatnya yang membakar sarang semut: makhluk Allah yang tiada berdosa. Kemudian, pernyataan Nabi tersebut diperluas pengertiannya oleh Imam Abu Dawud dalam konteks perang. Yaitu keharaman membakar pasukan musuh dengan api. Bisa jadi, Imam Abu Dawud melakukan qiyas aulawi. Yaitu menyamakan perbuatan yang melebihi kandungan Hadis.
Tentu saja, membakar manusia lebih kejam dibanding sekadar membakar semut. Menurut Imam Abu Dawud, kekejaman yang lumrah terjadi dalam perang hendaknya tidak diperparah dengan melakukan kekejaman lain seperti membakar pasukan musuh dengan api. Lebih-lebih yang sudah ditangkap dan tidak berdaya.
Ali bin Abi Thalib pernah menerapkan kebijakan membakar. sayangnya kebijakan tersebut akhirnya dikoreksi oleh Ibnu Abbas, karena ternyata Ali tidak mengetahui larangan membakar dari Rasulullah Saw. sebagaimana ditulis Ibnu Katsir:
Ibnu Abbas mengeritik Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam sebagian kebijakannya. Kemudian Khalifah Ali bin Abi Thalib menarik kembali kebijakannya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dari Ismail, dari Ayyub, dari Ikrimah, bahwa Ali membakar sekelompok orang yang murtad dari Islam. peristiwa itu sampai ke telinga Ibnu Abbas. Dia berkata, “Jika aku yang membuat kebijakan, aku tidak akan membakar mereka dengan api. Rasulullah saw. bersabda, ‘Jangan siksa dengan siksaan Allah.’ Bahkan aku akan membunuh mereka (dengan pedang) karena mengikuti sabda Rasulullah saw., ‘Barangsiapa mengubah agamanya, bunuhlah dia.’ Komentar Ibnu Abbas itu sampai ke telinga Ali dan dia berkata, ‘Sial, Ibnu Abbas.’ Dalam riwayat yang lain dikatakan, ‘Kasihan Ibnu Abbas, dia menyelam mencari-cari kesalahan.’ (al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 8, hlm. 330).
Berdasarkan penjelasan Ibnu Katsir ini, dapat disimpulkan bahwa Ali bin Abi Thalib menerima koreksi Ibnu Abbas. Artinya, beliau menarik dan membatalkan pendapatnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak ada lagi dalil yang dapat digunakan membenarkan pembakaran pasukan musuh.
Dari poin-poin ini, dapat diambil kesimpulan bahwa membakar makhluk hidup, baik manusia maupun hewan adalah perbuatan yang jauh dari tuntunan Rasulullah Saw. Perbuatan itu tidak mempunyai dasar dalam ajaran Islam. Kalau ada yang membenarkannya, maka berarti dia tidak mengerti ajaran Islam sesungguhnya yang dipenuhi kerahmatan pada alam semesta.
Penulis adalah peneliti di El-Bukhari Institute