Islam sangat menjunjung tinggi persahabatan sesama manusia tanpa memandang perbedaan identitas dan mengedepankan rasa saling pengertian. Sahabat, secara konotasi, memiliki makna yang lebih tinggi dari sekedar “teman”. Seorang sahabat menjadi penting karena bersamanya kita bisa merajut kebaikan dan keselamatan baik di dunia maupun akhirat.
Baru-baru ini, ptongan video seorang penceramah viral di media sosial karena menganjurkan untuk tidak berteman, apalagi bersahabat, dengan non-Muslim. Ia mengatakan bahwa berteman dengan orang kafir akan pelan-pelan menggerus iman kita. Penceramah itu mengambil dalil hadis Nabi;
لَا تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ
“Janganlah engkau bersahabat, melainkan -dengan- orang yang mu’min dan janganlah makan makananmu itu kecuali orang yang bertaqwa.”
Dalil-dalil mengenai relasi Islam dan umat agama lain dengan narasi semacam ini sebenarnya sangat banyak. Al-Qur’an, misalnya, dalam QS. al-Maidah: 51 dan QS. az-Zukhruf: 67 mengindikasikan bahwa kita harus memilih teman dekat dari golongan kita sendiri, karena teman dekat akan menentukan nasib kita di dunia dan di akhirat.
Di sisi lain, Rasulullah tidak pernah membeda-bedakan antara Muslim dan non-Muslim. Dalam berinteraksi dan memerlakukan non-Muslim, Nabi sangat menekankan pentingnya menjaga kehormatan mereka. Artinya, dalam menafsirkan sebuah dalil, perlu ada pertimbangan konteks atau sebab munculnya dalil tersebut.
Dalam kasus penafsiran QS. al-Maidah: 51, misalnya, Sahiron Syamsuddin menjelaskan bahwa sebagian besar mufasir meriwayatkan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan kisah ‘Ubadah ibn al-Shamit yang tidak lagi mempercayai kaum Yahudi dan Nasrani di Madinah sebagai aliansi yang bisa membantu umat Islam dalam peperangan, dan ‘Abdullah ibn Ubayy ibn Salul yang masih mempercayai mereka sebagai kawan dalam peperangan.
Sebagian riwayat lain menerangkan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan Abu Lubabah yang diutus Rasulullah Saw kepada Banu Quraizhah yang merusak perjanjian dukungan dan perdamaian dengan Rasulullah dan umatnya. Riwayat yang lain lagi menerangkan bahwa ayat tersebut terkait dengan kekhawatiran umat Islam menjelang terjadinya perang Uhud (2 Hijriyah); karena itu, sebagian dari mereka mencoba meminta bantuan teman-teman Yahudi, dan sebagian yang lain ingin meminta bantuan kepada kaum Nasrani di Madinah; ayat tersebut turun untuk menasehati umat Islam saat itu agar tidak meminta bantuan kepada mereka.
Terlepas dari variasi riwayat-riwayat tersebut di atas, bisa digarisbawahi bahwa ayat tersebut turun dalam konteks peperangan, di mana kehati-hatian dalam strategi perang harus selalu diperhatikan, sehingga tidak boleh meminta bantuan dari pihak-pihak lain yang belum jelas komitmennya. Dengan kata lain, konteks historis turunnya ayat itu bukan pertemanan dalam situasi damai, dan bukan pula konteks pemilihan kepala pemerintahan.
Artinya, berteman dengan non-Muslim hukumnya sah-sah saja. Rasulullah dikenal sangat inklusif dalam merangkul dan memersatukan lintas suku, bangsa, budaya serta agama. Rasulullah pernah menyurati Raja Negus lewat Amir Ibn Umayya Damri yang berisi ajakan masuk Islam. Raja Negus adalah seorang Kristen pemimpin wilayah Ethiopia klasik. Negus diajak untuk masuk Islam beserta kerajaannya.
Ajakan dan undangan ini disambut dengan baik oleh Negus sehingga dia dan kerajaannya akan dilindungi Allah. Raja Negus juga telah menerima, melindungi dan menyelamatkan kelompok pengungsi pengikut pertama Nabi Muhammad dengan sangat baik. Relasi persahabatan dan persaudaraan Nabi dan Raja Negus sungguh erat. Hal ini terbukti nyata ketika Raja Negus wafat, Rasulullah mengadakan shalat ghaib.
Berbeda cerita dengan apa yang dialami oleh Raja Mesir bernama Muqauqis yang beragama Kristen Koptik. Ia menolak dengan cara halus ajakan Rasulullah untuk masuk Islam. Namun demikian Nabi Muhammad tidak kecewa dan marah. Nabi justru menjalin persaudaraan dengan Raja Mesir yang akhirnya menghadiahkan kepada Rasulullah beberapa sikal perak dan emas, serta dua orang gadis yang bernama Maria dan Sirin.
Kembali ke ceramah yang dibincang di awal tulisan, si ustadz memberi ilustrasi begini; kita keluar dengan teman non-Muslim. Orang non-Muslim ini kebetulan attitude-nya baik. Sampah di buang pada tempatnya, suka memberi sedekah kepada orang miskin di lampu merah. Besoknya, kita keluar dengan teman Muslim yang akhlaknya buruk. Suka buang sampah sembarangan, suka mengabaikan orang miskin. Lalu, timbul asumsi dalam diri kita, “ternyata lebih baik orang kafir daripada orang Muslim.” Asumsi itu menurut sang penceramah, sudah menjadi indikasi iman kita sudah turun.
Logika ini menurut saya justru keliru. Mengapa narasi yang diciptakan justru seakan-akan menyepelekan iman umat Islam, alih-alih kekuatan umat Islam untuk berdakwah lewat kebaikan. Mudahnya begini, mengapa umat Islam yang terus disuruh mengantisipasi ancaman dari luar, sebaliknya, kenapa kita berpikir bahwa jika kita sebagai umat Islam terus menerus melakukan kebaikan, maka orang-orang non-Muslim itu yang akan tertarik kepada Islam.
Dengan cara apalagi kita akan berdakwah dengan non-Muslim kalau tidak melalui cara-cara humanis, seperti misalnya membangun pertemanan. Tentu saya tidak mengatakan bahwa dalam berteman dengan non-Muslim, kita perlu membawa misi konversi. Yang saya garis bawahi adalah bahwa dengan berteman dengan berteman dengan non-Muslim, ditambah dengan perilaku kita yang baik, santun, ramah, maka mereka akan melihat bahwa Islam adalah agama yang sejuk, agama yang damai. Bukan serta merta meragukan keimanan umat Islam itu sendiri.
Banyak nasihat mengatakan bahwa kita harus pilih-pilih dalam berteman, karena teman yang akhlaknya buruk akan cenderung menjerumuskan kita ke dalam keburukan juga. Namun, pilih-pilih mana teman yang baik mana yang buruk bukan serta merta juga harus memilah mana yang Islam mana yang Kristen kan?