‘Ramadhan mubarak. We wish all Muslims and their families all the blessings of the holy month.’
Demikian bunyi surel yang kami terima di hari pertama puasa dari liason officer AAS di Melbourne University. Generik dan pendek saja. Namun di waktu-waktu sedih seperti sekarang (beberapa hari setelah serangan bom di Manchester, pendudukan Marawi, bom bunuh diri di Kampung Melayu, juga penyerangan rombongan Kristen Kooptik di Mesir, semua diklaim atas nama organisasi ekstrim yang mendaku pejuang Islam) ucapan selamat Ramadhan dari mereka yang di luar Islam terasa berkali lipat lebih berarti. Sedikit menenangkan mengetahui masih ada orang-orang yang mempercayai bahwa tidak semua yang berlabel Islam adalah berbahaya atau tidak layak dihormati.
Ramadhan di Melbourne tidak memberikan keistimewaan apapun bagi umat Islam yang berpuasa. Tidak bisa manja-manjaan menunggu bedug keliling yang mengingatkan untuk bangun di waktu sahur. Adzan Magrib tidak bakalan terdengar sebagai penanda waktu berbuka kecuali kita memasang aplikasi tertentu di gawai sendiri. Mengandalkan diri sendiri adalah satu-satunya jalan berpuasa di sini. Bagi saya pribadi, situasi seperti ini justru bikin ‘ayem’, tenang, tidak kisruh.
Orang bebas makan dan minum bahkan berciuman di depan kita. Tidak ada keharusan menutup kaca restauran atau apalagi razia rumah makan dan gerebek sana-sini dengan alasan demi menghormati orang berpuasa. Pula tidak bakalan ada diskon hari raya Lebaran yang rungsing di pusat-pusat perbelanjaan seperti di Indonesia.
Omong-omong soal hari raya, saya teringat satu pengalaman di Indonesia. Suatu pagi saya pergi ke pasar dan mampir ke satu kios langganan. Pembeli sedang ramai, di antaranya terdapat satu perempuan oriental yang dari percakapan di situ saya ketahui adalah seorang mualaf, keturunan Cina yang memilih masuk Islam. Pilihannya membikin ia diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak oleh kedua orang tuanya. Tiba-tiba ada satu ibu-ibu mengeluhkan harga ikan yang naik. Si pemilik kios menjawab dengan nada kesal,
“Iya, ‘kan mau Imlek. Tanya tuh sama dia yang Cina, ngapain sih lu pada pakai ngerayain Imlek segala? Bikin harga-harga naik saja!”
Jawaban pemilik kios benar-benar mengagetkan saya. Saya pergi tanpa jadi membeli apapun di kiosnya setelah menegur pemilik kios,
“Ibu jangan begitu. Kalau Lebaran semua harga naik gila-gilaan, orang-orang Cina tidak pernah menunjuk muka ibu dan tanya, ngapain sih kalian orang Islam pada Lebaran segala bikin harga-harga naik saja.”
Orang-orang di kios melihat saya dengan pandangan antara heran dan kaget dan bingung. Mungkin juga kesal. Ya sudah, biar saja. Saya tidak tega melihat raut muka perempuan Cina yang ditunjuk oleh ibu pemilik kios dengan seenaknya.
Kaum minoritas, terutama yang tinggal di negara di mana norma sosial masih didominasi dan ditentukan oleh kaum mayoritas, secara terus-menerus menjadi sasaran laku diskriminatif, sebagaimana diungkapkan Sidanius dan Pratto dalam jurnal mereka, Social Dominance: An intergroup theory of social hierarchy and oppression (2005). Tinggal di Melbourne memberikan saya pengalaman yang berharga sebagai bagian dari kaum minoritas. Namun demikian, sejauh ini saya cukup beruntung tidak pernah sama sekali mengalami diskriminasi atau menjadi target tindakan rasis.
Tentu saja, ada beberapa kawan yang tidak seberuntung saya. Schmitt, Branscombe, Postmes & Garcia (2014) bicara bahwa efek dari menjadi target diskriminasi dan tindakan rasis menimbulkan konsekuensi atas psikologi dan perilaku fisik kaum minoritas terhadap mayoritas. Sementara itu, Dr Beverly Daniel Tatum (1994) menjelaskan bahwa kaum mayoritas cenderung tidak menyadari atau apalagi peduli terhadap pengalaman kaum minoritas sebagai korban diskriminasi. Sebab itu, saya sepenuhnya memahami saat kawan-kawan di sini yang pernah diperlakukan rasis berkomentar,
“Teman-teman di Indonesia yang masih saja rasis pada penganut agama minoritas itu perlu merasakan jadi minoritas di tempat lain agar paham rasanya diperlakukan diskriminatif.”
Saya tidak membantah meski tidak menginginkan siapapun harus mengalami diskriminasi terlebih dulu untuk memahami bahwa laku diskriminatif itu buruk.
Lepas dari semua itu, menghadapi bulan Ramadhan sebagai minoritas di Melbourne cukup menyenangkan. Kawan-kawan dari komunitas Indonesia mengirimi saya undangan acara di surau untuk menyambut Ramadhan. Mereka mengadakan macam-macam lomba untuk anak-anak yang dilanjutkan buka puasa. Sepanjang bulan puasa mereka juga menjalankan tarawih bersama.
Pagi ini saya dan teman-teman menerima undangan buka bersama di KJRI Melbourne. Kawan saya bahkan sempat mengadakan ‘munggahan’, acara makan bersama sebelum puasa. Rajin sekali mereka memasak nasi dengan bermacam lauk ala Indonesia yang disajikan di atas daun pisang. Beberapa rumah makan Indonesia juga menyediakan kolak sebagai menu buka puasa. Sama sekali tidak buruk.
Sekolah, kuliah dan ujian jalan terus. Tidak ada libur Lebaran. Banyak pelajar yang bahkan harus masuk kelas di hari raya. Tidak ada yang mengeluh. Apalagi kami hanya harus berpuasa selama 11 jam saja mengingat puasa tahun ini jatuh pada awal musim dingin di mana siang hari menjadi lebih pendek. Anak saya yang baru umur 6 tahun ringan saja tidak makan dan minum sejak pagi hingga Magrib di dua hari awal puasa tanpa mengeluh haus dan lapar.
Padahal saya juga tidak mengharuskannya berpuasa dan tetap membekalinya makan siang saat ia berangkat sekolah di hari berikutnya. Sepertinya kesibukan bermain di cuaca yang cukup adem membantu mereka melupakan haus dan lapar. Apalagi bagi anak-anak yang pada dasarnya memang malas makan, bisa jadi puasa adalah berkah yang membebaskan mereka dari suara berisik orang tuanya yang terus-terusan mengingatkan untuk makan dan mengudap.
Semua gembira. Gembira namun tenang. Jika tidak malas, di hari Lebaran nanti barangkali saya juga akan memasak sambal goreng ati dan opor ayam. Nyam. []
*Penulis adalah mahasiswi pascasarjana di University of Melbourne, Australia.