Ada banyak tradisi unik di masyarakat Indonesia dalam menyambut Ramadhan. Salah satunya adalah tradisi di masyarakat Maluku Utara, tepatnya Ternate. Menyambut Ramadhan, masyarakat setempat biasanya menggelar doa bersama yang diisi dengan berbagai kegiatan dan suguhan makanan. Tradisi ini dikenal sebagai Batahlil yang dimulai dari menziarahi kubur sanak keluarga dan makam para Auliya’ dengan prosesi menabur potongan kecil daut pandan diatas pusara dan menyiramnya dengan sebotol air, kemudian dilanjutkan dengan lantunan doa.
Secara sederhana, ini menggambarkan kebahagian karena masih diberi kesempatan untuk beribadah kepada Allah SWT. Secara teknis, sekumpulan laki-laki duduk beralas tikar, bersila saling berhadapan dan satu orang yaitu tokoh agama duduk di antara peserta, bertindak sebagai pemimpin doa. Harapannya, agar dosa-dosa para leluhur yang telah meninggal dapat diampuni olehNya, serta dengan harapan bahwa umat Muslim diberikan kekuatan dan keselamatan dalam menjalani hidup terutama dalam menjalani ibadah puasa. Memang, di tengah-tengah peserta batahlil ini, terdapat dupa atau kemenyan serta potongan kecil daun pandan sebagai wewangian, karena masyarakat menganggap bahwa wewangian itu dipercaya sebagai unsur yang memikat malaikat.
Masih di Ternate, masyarakat setempat juga memiliki tradisi turun-temurun dalam menyambut Lailatul Qadar. Namanya adalah Ela-ela. Biasanya, tradisi ini berlangsung pada 27 Ramadhan. Teknisnya, masyarakat setempat menggelar pembacaan doa di Kedaton Kesultanan Ternate, dan dilaksakan setelah shalat Tarawih di Masjid Kesultanan.
Setelah acara doa bersama selesai, masyarakat berbondong-bondong keliling kampung. Pada tahap ini, setiap orang akan memegang obor atau dalam bahasa lokal dikenal dengan Ela-ela, yaitu prosesi pembakaran obor yang umumnya diawali langsung oleh wakil dari Kesultanan Ternate dan diikuti seluruh masyarakat serta tokoh agama.
Selain itu, sebagaian besar masyarakat ternate menyebut malam Lailatul Qadar sebagai malam Qunut. Dengan demikian, sebelum prosesi Ela-ela berlangsung, terdapat kebiasaan dari sultan Ternate yaitu shalat bersama masyarakat, atau disebut juga dengan kalano uci sabea, artinya Sultan turun shalat. Tradisi ini merupaka simbol bagi masyarakat setempat sebagai bentuk kehidupan harmonis antara Sultan dengan rakyatnya.
Pada malam Qunut itu, Sultan akan ditandu oleh masyarakat adat dari Kedaton menuju masjid besar kesultanan, dalam perjalanan diiringi dengan musik seperti Gamelan dan didampingi oleh 12 anak berpakaian tradisional (M. Kashai, 2019). Dalam nyanyian anak-anak yang mengiringi tandu Sultan, yaitu “ela-ela pake jam jam to suba jou” yang bermakna bahwa obor yang digunakan adalah pengertian bahwa Allah SWT merupakan cahaya ilahi bagi umat manusia. Tradisi ini bermakna kepada dua hal yaitu makna bersatunya penguasa dengan rakyat dan makna bahwa tidak ada cahaya yang melebihi cahaya ilahi, cahaya ilahi inilah penerang bagi manusia dan merupakan Dzat yang membimbing umat manusia, agar selamat dan mendapatkan ridho-Nya.
Tradisi Ela-ela ini merupakan simbol pengakuan umat Islam di Ternate, yaitu bentuk penegasan bahwa manusia tanpa cahaya ilahi hanya akan menjadi manusia yang tanpa arah, dan hidupnya akan selalu bermasalah. Ela-ela adalah pengakuan atas kebesaran Allah SWT, bahwa tidak ada Dzat yang dapat melebih-Nya, sehingga masyarakat setempat beranggapan bahwa prosesi ini sebagai bentuk memaknai kebesaran cahaya-Nya yang dijelaskan pada surat An-Nur ayat 35, bahwa Allah adalah pemberi cahaya kepada langit dan bumi.
Selain di Ternate, tradisi lain yang juga berlangsung pada bulan Ramadhan adalah Hadrat. Tradisi ini biasa dilakukan oleh masyarakat muslim Ambon, tepatnya di negeri Morella. Hadrat adalah kegiatan masyarakat Morella dalam membangunkan masyarakat setempat untuk sahur, yang tentu saja hanya dilakukan pada bulan Ramadhan. Biasanya tradisi ini dilakukan oleh sekelompok pemuda antara 5 atau 7 orang yang melantunkan kalimat dzikir. Tradisi Hadrat hanya dilakukan menjelang sahur, pada malam-malam ganjil di bulan Ramadhan, khususnyapada malam ke 27 ramadhan.
Sebelum berkeliling kampung, peserta peserta Hadrat biasanya berkumpul di Baeleu Tomasiwa dan ditemani oleh pemerintah setempat serta oleh tokoh agama. Dua jam sebelum sahur tiba, sekitar 6 orang pemuda sudah mulai berkeliling sambal memukul alat-alat hadrat atau dikenal dengan alat Rebana. Iring-iringan hadrat dengan lantunan syair dan dzikir ini merupakan tanda bagi masyarakat setempat bahwa telah tiba waktu sahur. Secara teknis, peserta yang terlibat dalam kegiatan ini akan menunggunakan peci, jaz, sarung dan selendang kecil sebagai dresscode.
Di masa pandemic Covid-19 ini, mungkin beberapa kebiasaan atau tradisi yang umum dilakukan oleh masyarakat Indonesia dibeberapa daerah tidak dapat dilaksanakan karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk berkerumuman. Akan tetapi, semoga Ramadhan 1442 H tetap sakral dan bermakna bagi kita semua. Dan semoga, pandemic Covid-19 dapat diatasi, semuanya kembali normal. Aaamiiin.