Ziarah Kebudayaan di 10 Hari Terakhir Ramadhan Indonesia Timur

Ziarah Kebudayaan di 10 Hari Terakhir Ramadhan Indonesia Timur

Ziarah Kebudayaan di 10 Hari Terakhir Ramadhan Indonesia Timur
Pict by Elik Ragil (ISLAMI.CO)

Shalat tarawih adalah ibadah umum yang dilaksanakan oleh umat muslim di seluruh dunia saat bulan suci Ramadhan. Walau berstatus sebagai ibadah sunnah, shalat tarawih memiliki keutamaan tersendiri.

Dalam sebuah hadits Rasulullah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau” (HR al-Bukhari, Muslim dan lainnya).

Meski  di Indonesia terjadi perbedaan mengenai jumlah rakaat shalat tarawih, tulisan ini tidak bermaksud mengulas detail mengenai perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih apalagi ikut dalam perdebatan mana yang benar dan mana yang salah. Tulisan ini, juga tidak membahas fenomena shalat tarawih yang secepat kilat atau mengulas tarawih terlama di dunia. Tulisan ini akan mengulas dua tradisi unik dari Indonesia Timur, yaitu tradisi teriakan “Alae” di Maluku sebagai bentuk menyemangati para jamaah yang sedang melaksanakan ibadah shalat tarawih dan tradisi Massilumba Oroang dari daerah Poliwali Mandar yaitu tradisi mengkaveling tempat di masjid terdekat.

Umumnya, ibadah shalat tarawih di beberapa masjid memakan durasi yang cukup Panjang, sekitar 30 menit. Menariknya, di Maluku terdapat tradisi unik untuk menyemangati jamaahnya yaitu teriakan alae yang dilakukan serentak oleh para jamaah. Walau shalat tarawih hukumnya adalah sunnah, banyak umat muslim di dunia berbondong-bondong ke masjid untuk melaksanakan ibadah tarawih, karena ibadah ini hanya dilaksanakan pada bulan suci Ramadhan.

Ratusan jamaah yang memenuhi masjid-masjid setempat terutama yang berada di daerah Maluku, tepatnya berada di desa Siri-sori memiliki tradisi unik untuk menyemangati para jamaah agar semangat melaksanakan ibadah tarawih, para jamaah serentak meneriakan kata “alae” dan uniknya setelah teriakan ini para jamaah kembali semangat untuk melaksanakan tarawih.

Sampai saat ini, keterangan tentang asal-usul tradisi teriak alae tidak terdapat dalam literatur sejarah Islam setempat. Juga, tidak ada data sejarah yang menyebutkan tokoh pertema yang mengawali tradisi unik ini. Masyarakat setempat, meyakini bahwa tradisi ini adalah tradisi yang telah dilakukan sedari dulu oleh para seluhur mereka.

Dalam catatan M. Kashai Ramadhani berjudul Teriakan Alae, Tradisi di Maluku untuk Menyemangati Salat Tarawih, menuliskan bahwa sampai saat ini tidak ada catatan sejarah mengenai tradisi ini bermula atau bahkan sejak kapan penduduk desa Siri-sori memeluk agama Islam. Akan tetapi, menurut keyakinan masyarakat setempat, tokoh pertama yang menyebarkan agama Islam ialah Maulana Syaikh Abdurrahman Assagaf yang diyakini berasal dari negeri Baghdad.

Lain cerita dengan daerah Poliwali Mandar, masyarat setempat memiliki tradisi unik dalam persiapan melaksanakan ibadah tarawih. Sekitar ba’da magrib atau bahkan sebelum itu, masyarakat ramai mendatangi masjid setempat. Ini dilakukan bukan untuk melaksanakan ibadah tarawih lebih awal, akan tetapi bermaksud mengkaveling tempat yang berada di masjid, tradisi ini dikenal dengan sebutan massilumba oroang. Umumnya masyarakat setempat menandai tempat di masjid untuk persiapan shalat tarawih dengan memasang sajadah lebih awal, bagi tempat di masjid yang telah ditandai dengan adanya sajadah yang telah digelar, berarti menandakan bahwa tempat itu telah dikaveling lebih dulu.

Dalam tradisi massilumba oroang ini, tempat yang telah ditandai dengan sajadah tidak dapat dipindahkan begitu saja oleh pihak lain tanpa persetujuan si pemilik sajadah yang telah menandai tempat lebih awal. Tradisi ini, memang sebagaimana tradisi teriakan alae di Maluku, juga tidak ditemukan literatur sejarah mengenai awal-mula tradisi ini dan siapa yang mengajarkan, yang pasti bahwa tradisi ini tidak terikat hukum tertulis hanya kesadaran antar masyarakat semata.

***

Memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan, malam Lailatul Qadar menjadi salah satu malam yang ditunggu-tunggu oleh banyak umat muslim di dunia. Ada banyak cara unik masyarakat muslim dalam menyambut malam ini, begitupun dengan daerah-daerah di Indonesia Timur. Pada sepuluh malam terakhir bulan suci Ramadhan, terdapat malam di mana al-Qur’an diturunkan sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia, ini merupakan letak kemuliaan malam lailatul qadar.

Petunjuk mengenai adanya malam Lailatul Qadar ini, terdapat dalam al-Qur’an surat al-Qadr :

 إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ وَمَآ أَدۡرَىٰكَ مَا لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ خَيۡرٞ مِّنۡ أَلۡفِ شَهۡرٖ تَنَزَّلُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ بِإِذۡنِ رَبِّهِم   مِّن كُلِّ أَمۡرٖ سَلَٰمٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطۡلَعِ ٱلۡفَجۡرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. al-Qadr, [97]: 1–5).

Terkait hadirnya malam lailatul qadar, terdapat beberapa keterangan mengenai hadirnya malam penuh kemuliaan ini, salah satunya keterangan dalam salah satu hadits nabi, yaitu:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ   وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فَإِنَّهَا فِي وَتْرٍ فِي إِحْدَى وَعِشْرِينَ أَوْ ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ أَوْ خَمْسٍ   وَعِشْرِينَ أَوْ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ أَوْ تِسْعٍ وَعِشْرِينَ أَوْ فِي آخِرِ لَيْلَةٍ فَمَنْ قَامَهَا ابْتِغَاءَهَا إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا ثُمَّ وُفِّقَتْ لَهُ غُفِرَ   لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ

Dari Ubadah bin Shamit r.a. sesungguhnya ia bertanya kepada Rasulullah s.a.w. mengenai malam Qadar. Rasulullah s.a.w. menjawab, “(Ia berada) dalam bulan Ramadhan, maka carilah malam tersebut pada sepuluh yang akhir, yaitu pada malam-malam ganjil; malam tanggal 21, atau 23, atau 25, atau 27, atau 29, atau malam terakhir Ramadhan. Siapa yang mengerjakan ibadah (qiyam) pada malam itu dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka diampuni dosa-dosanya pada masa lalu dan masa yang akan datang”. (Hadis hasan riwayat Ahmad: 21654).

Keterangan lain menyebut lebih spesifik terkait malam lailatul qadar jatuh pada malam ke 27, sebagaimana dalam salah satu hadits nabi:

سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ قَالَ مَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي لَيْلَةِ سَبْعٍ   وَعِشْرِينَ

Aku mendengar Ibn Umar r.a. menceritakan hadis dari Nabi s.a.w. tentang malam Qadar, beliau bersabda, “siapa yang mau mencarinya, maka carilah ia pada malam tanggal 27 Ramadhan”.(Hadis Hasan, riwayat Ahmad: 4577)

Berdasar keterangan di atas, terdapat tradisi menyambut Ramadhan di Ternate, yaitu tradisi Ela-ela yang dilaksanakan pada 27 Ramadhan. Pada malam tersebut atau masyarakat setempat menyebutnya sebagai malam Qunut. Mereka berbondong-bondong keliling membawa obor yang bermakna cahaya sebagai penerang umat manusia.

Tradisi menyambut malam Lailatul Qadar ini juga dapat ditemui di masyarakat kepulauan di Tidore. Ia biasanya berlangsung pada malam ke 27 Ramadhan. Masyarakat setempat biasanya mengawali tradisi yang disebut dengan Selo Buto ini dengan menancapkan sejumlah tiang kayu setinggi dua meter di pekarangan rumah warga yang membentuk lingkaran diameter, yang menjadi tempat mengikat batang enau, pisang, jagung dan tebu.

Malam dimulainya prosesi kegiatan Selo Buto ialah ditandai dengan taburan tifa dan rebana dari sekelompok laki-laki yang telah ditunjuk, selama 30 menit tarian dan musik dari tifa, kemudian seorang laki-laki menebang tiang yang telah dipasang, barulah masyarakat yang menonton mulai berebutan berbagai makanan yang ada dalam tiang.

Lain cerita dengan tradisi yang ada di Maluku, tepatnya di desa Tulehu yang juga memiliki tradisi menyambut malam Lailatul Qadar pada hari ke 27 Ramadhan. Terdapat tradisi yang disebut malam Damar atau malam 27 likur, masyarakat desa Tulehu memiliki tradisi menyalakan Damar atau obor yang dipasang di pemakaman, kemudian warga setempat memanjatkan doa dengan harapan bahwa dosa sanak keluarga yang telah wafat dapat diampuni oleh Allah SWT. Tradisi unik diatas telah berlangsung lama, diwariskan turun temurun dan terus dijalankan sampai saat ini.