Pagi itu aktifitas warga desa terapung Torosiaje nampak tidak seperti biasanya. Kesibukan warga yang lalu lalang dengan perahu Katinting (bermotor) mengalami intensitas yang cukup signifikan. Deru mesinnya mirip helikopter dengan kecepatan rendah yang semakin terdengar ketika ia mendekat. Langkah kaki warga yang beraktifitas melewati lorong desa yang menyerupai jembatan panjang dan berkelok itu kelihatan lebih ramai. Ada sesuatu yang tengah mereka siapkan.
Desa yang dihuni oleh etnis Bajo ini merupakan hunian orang-orang laut atau dalam uraian AB Lapain (2009) disebut juga Suku Laut di mana laut menjadi lingkungan hidupnya. Berbeda dengan Suku Bajo lain yang sudah “mendarat”, Bajo Torosiaje merupakan sedikit komunitas orang laut yang masih tinggal di atas laut, dalam pengertian membangun rumahnya berjarak dengan daratan. Didirikan sejak tahun 1901, desa kaum nelayan tradisional ini secara geografis berada di lumbung biota laut kawasan Teluk Tomini, Sulawesi bagian utara.
Kesibukan yang terjadi pada pagi itu mencandra babak penting dalam siklus keberagamaan Muslim tradisional yang akan memasuki bulan khusus nan istimewa. Geliat sebagian warga desa menuju laut mempersiapkan bekal untuk menyambut bulan suci Ramadan, sebagian lagi bertandang ke makam orang tua atau keluarga di darat/pulau (Bonda dan Patanang) untuk berziarah. Pagi itu warga desa silih berganti mengundang tetangganya untuk suatu acara keagamaan yang rutin mereka lakukan setiap tahun.
Tidak seperti gambaran orang laut dan etnis dengan ciri-ciri serupa yang dipahami sebagian sarjana sebagai Muslim yang sinkretik (Bottignolo, 1995), tidak kondusif memeluk Islam (Chou, 2003) atau dianggap sub-human dan separuh pagan (Kiefer, 1972), Orang Bajo Torosiaje menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Hal itu terlihat dari semangat pelaksanaan ritual keagamaan yang semakin menunjukkan komitmennya serta sistem budaya yang mendukung keberadaan Islam.
The Vibes of Ramadan
Kunjungan saya di awal bulan Ramadan 1445 H ke Torosiaje berusaha menyelami alam pikir dan praktik beragama komunitas yang dijuluki oleh Francois- Robert Zacot (2008) sebagai Suku Pengembara Laut. Ini kali kedua saya mengunjungi desa yang setiap harinya kita bisa memandangi laut dengan rileks dan menikmati hembusan anginnya, sambil bercengkrama dengan penduduknya yang ramah dan terbuka.
Salah satu keramahan dan keterbukaan yang saya rasakan adalah ketika saya bersilaturahmi ke salah satu pemangku adat desa, Puak Dawi. Belum tuntas perbincangan dengan beliau, tiba-tiba seseorang menyela dan meminta laki-laki tersebut memimpin do’a bersama yang oleh warga setempat disebut Maca’ Bulan. Saya pun diajak serta meski saya di situ dikategorikan sebagai orang luar, yang dalam istilah mereka disebut ‘bagai’. Karena saya berasal dari kebudayaan yang dekat dengan Jawa, maka saya oleh mereka disebut ‘Bagai Jawa’.
Sebagaimana tradisi yang banyak berlaku dalam masyarakat Jawa seperti munggahan, megengan dan nyadran, atau makmeugang di Aceh, tradisi Maca’ Bulan telah dipraktekkan sejak lama oleh masyarakat Torosiaje dalam rangka menyambut kedatangan Bulan Ramadan. Motif diadakannya tradisi tersebut berkisar pada ungkapan rasa syukur atas kesempatan yang diberikan Tuhan kepada mereka untuk sampai pada bulan istimewa dan berharap kebaikan tercurah kepada sohibul hajat (host) beserta keluarganya dan mereka yang terlibat dalam acara.
Orang-orang terdekat berkumpul, berdo’a dan makan bersama dalam suasana kegembiraan yang bersahaja. Dalam sebuah lingkaran kecil yang mengelilingi aneka hidangan, puluhan peserta duduk bersila dan mengikuti bacan-bacaan yang dikumandangkan imam. Puak Dawik yang memimpin acara mengawali bacaan Al-Fatihah, surat-surat pendek Al-Qur’an, tahlil, tasbih, tahmid, salawat dan doa arwah serta doa keselamatan. Dalam suasana yang rileks, peserta menikmati hidangan setelah dipersilahkan oleh tuan rumah. Semerbak dupa berpendar di sudut-sudut ruangan.
Selain menikmati hidangan yang disajikan tuan rumah, saat pulang para peserta dibekali oleh-oleh aneka makanan dalam wadah sederhana (mungkos istilahnya) yang di Jawa biasa disebut berkat. Bedanya, di sini unsur lauk pauk banyak didominasi ikan yang dimasak dengan beberapa cara dan bumbu tertentu. Pulang dengan membawa mungkos menjadi kebahagiaan kecil yang dinanti anggota keluarga di rumah. Babak ini bisa kita sebut sebagai Ramadan-welcoming-feast (kenduri penyambutan Ramadan).
Memasuki malam-malam Ramadan, lalu lintas manusia dan perahu sekitar desa nampak lengang. Hanya masjid dan musala yang menjadi pusat berkumpulnya manusia. Beberapa malam minggu pertama Ramadan, warga Torosiaje begitu antusias mengikuti tarawih yang dilaksanakan sebanyak 20 raka’at plus 3 rakaat witir dengan kecepatan yang tergolong express. Kurang dari 2 menit per dua rakaat, mengingatkan tarawih di kampung saya (Cirebon) dimana masyarakat Nahdliyyin Kultural menyelenggarakan tarawih dengan khidmat dan riang gembira.
Kegembiraan orang-orang berpuasa tentu terpusat pada waktu berbuka. Aneka makanan dan minuman dihidangkan hingga menutup meja. Keluarga tempat saya tinggal, tak kalah meriah dari keluarga lain. Wajah seisi rumah nampak bahagia dan bersemangat. Kolak pisang, kurma dan ketan coklat (bajoe) menjadi menu pembuka, sedangkan nasi dan aneka hidangan laut menjadi menu wajib. Saya mengenal berbagai macam jenis ikan, ya, saat buka puasa dan juga sahur seperti ini. Dari mulai ikan cakalang, baronang, cendana, lolosi, juga makanan khas Sulawesi utara yaitu Kapuro (Papeda lokal/bubur sagu) yang disantap dengan ikan berkuah.
Tradisi menyediakan takjil (makanan pembuka) di masjid juga hadir di sini. Usai tarawih, pengurus masjid mengumumkan jadwal penyedia takjil. Di ujung pengeras suara terdengar nama-nama yang disebut pengurus masjid: “Mama Lina, Mama Tami, Mama Rail dan Mama Cinta dimohon menyiapkan takjil besok”. Ketika saya menanyakan untuk siapa takjil tersebut, dijawab oleh pengurus masjid, “Ini untuk warga dan musafir yang mungkin berkunjung ke Torosiaje,” begitu ungkapnya lugas. Keesokan harinya, saya menengok masjid, sebagian peserta yang hadir adalah anak-anak yang sangat antusius menyambut bedug magrib mengelilingi aneka kue dan minuman dingin.
Praktik membaca Al-Qur’an baik anak-anak maupun dewasa saya lihat juga mewarnai atmosfir desa. Di masjid setelah jama’ah shalat wajib atau di rumah-rumah, masyarakat melantunkan ayat suci al-Qur’an dengan kecenderungannya masing-masing. Usai tarawih, saat saya berjalan di lorong desa, sayup-sayup terdengar alunan ayat-ayat suci tersebut. Suasana desa yang sepi memang membuat suara-suara mudah terdengar. Mirip kampung yang berada di tepi hutan, jauh dari keramaian.
Sepulang tarawih, saya diajak anak-anak muda Torosiaje untuk mencari udang di sekitar hutan bakau. Berbekal lampu senter dan panah, perahu kecil yang kami dayung berhasil membawa sejumlah udang untuk santap malam yang nikmat. Teluk Tomini tempat Desa Torosiaje berada memang dikenal sebagai lumbungnya berbagai jenis ikan dan biota laut yang beraneka ragam. Ekosistem laut yang kompleks ini bahkan tidak hanya berguna memenuhi kebutuhan pangan penduduk sekitarnya tetapi juga telah dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai penanda alam yang berguna untuk kebutuhan-kebutuhan lain.
Hilalnya Orang Torosiaje
Salah satu hal menarik dari pengalaman dan pengamatan Orang Torosiaje terhadap lingkungannya adalah kesadaran bahwa alam memberi pertanda yang berguna untuk kepentingan hidupnya. Selain langit, angin, arus dan pasang surut air laut, Bajo Torosiaje memiliki kearifan lokal menandai pergantian bulan qomariah melalui kemunculan bunga Padang Lamun (seagrass) yang dikenal dengan istilah Sammo.
Bunga Sammo yang biasa muncul dan tertiup angin di sekitar “halaman rumah” mereka mudah sekali dilihat keberadaannya. Pada saat-saat tertentu, ia seperti busa putih yang mengapung dalam jumlah yang cukup banyak. Segera setelah kemunculannya, orang-orang tua berseru: “Besok puasa”, atau “besok lebaran”, karena ia menjadi penanda bulan baru.
Saya berkesempatan mengamati proses kemunculan bunga-bunga laut ini beberapa hari menjelang Ramadan. Tidak mudah untuk menemukan tangkai bunga yang menyemburkan bunga-bunga putih pemberi kabar puasa dan lebaran itu. Siang hari ditemani Yeri Darise, warga Torosiaje yang mantan kepala dusun ini, saya menyusuri spot-spot Padang Lamun di sekitar pemukiman terapung.
Beruntung saya bisa menemukan dan menyaksikan adegan langka ketika butiran putih yang dari kejauhan mirip styrofoam itu semakin masif di permukaan perairan. Dibantu Hengky Sompah, sumber bunga-bunga itu saya temukan. Seperti mainan buble yang ditiupkan anak-anak: “brus-brus-brus” saya menyaksikan bunga-bunga putih itu disemburkan dari tangkainya dan bermunculan mengapung di permukaan.
Sebagian sempat saya tangkap dengan telapak tangan dan nampak benda-benda putih sebesar biji wijen, memberikan pesona yang cukup magis. “Itu hilalnya Orang Torosiajae,” ujar Risno Jalil, salah satu Imam Masjid Torosiaje. Hilal di sini maksudnya penanda alam bagi orang laut yang semakin memiliki komitmen menjalankan ritual-ritual keagamaan.
Kearifan lokal ini dahulu tentu menjadi satu-satunya cara bagi masyarakat yang mendedikasikan dirinya pada kehidupan laut. Bagi Orang Torosiaje, saat ini fenomena alam tersebut hanya menjadi penguat saja atas pengumuman hasil sidang istbat yang rutin disampaikan oleh pemerintah (Ulil Amri). Mereka berusaha menjadi bagian dari orkestra yang dikomandoi oleh dirigen republik ini. “Kami ikut Ulil Amri,” begitu argumen pemangku adat, Jekson Sompah.
Islam Maritim
Jika Andre Moler (2005) menyebut Ramadan di Jawa sebagai kegembiraan sekaligus jihad, Ramadan di Torosiaje juga menghadirkan antusiasme masyarakat laut dalam menjalankan tradisi untuk menciptakan kebahagiaan-kebahagiaan sederhana. Kecenderungan masyarakat maritim yang menyandarkan hidupnya pada irisan prinsip-prinsip komunalisme, spiritualisme dan pragmatisme, telah membuka jalan masuknya ortopraksi Islam yang mudah diidentifikasi pada bulan-bulan yang sarat dengan peribadatan dan festival budaya itu.
Bulan Ramadan menjadi manifestasi praktik kebudayaan Islam dari masyarakat maritim yang pada dasarnya masih menyisakan pilar-pilar tradisi lama yang diupayakan untuk hidup berdampingan dan saling mengisi. “Ilmu titen” (pengetahuan berbasis pengamatan dan perenungan) masyarakat Torosiaje terkait bunga Sammo sebagai penanda puasa dan lebaran merupakan bukti nyata kultur maritim melayani/memfasilitasi kebutuhan agama (Islam).
Jika agama terkadang dipersepsikan sebagai sumber konflik dan kekerasan, dalam pengalaman masyarakat Torosiaje, agama justru telah memfasilitasi kebahagiaan bagi pemeluknya yang haus akan kebersamaan, memiliki interkoneksi dengan alam dan dedikasi pada harmoni serta keselarasan hidup. Ramadan di kampung terapung ini memperagakan serpihan-serpihan kebudayaan ‘Islam maritim’ yang pada tingkat tertentu mencerminkan keunikan wajah Islam yang dalam praktiknya memang beragam. (AN)