Raja Salman dan Wahabi

Raja Salman dan Wahabi

Raja Salman dan Wahabi

Kunjungan Raja Salman ke Indonesia menggoreskan kesan tersendiri. Di luar kemegahan properti yg disandang dan kemewahan sambutan Pemerintah dan rakyat Indonesia, ternyata kehadirannya menjadi bukti dan teladan. Kesan kita tentang Wahabi yg selama melekat pada Wahabi Indonesia berubah seketika. Padahal Sang Malik adalah Raja negeri Wahabi dan keturunan otentik Ibn Sa’ud. Kehadirannya sungguh mengubah kesan tentang Wahabi yang sementara ini ditunjukkan oleh Wahabi Indonesia.

Coba, pandangi wajahnya, sungguh sangat teduh dan damai, tidak galak dan sangar. Beliau berjenggot sekaligus berkumis. Jenggotnya pun pendek, tampak rapih dipelihara. Cara berbicaranya tenang dan tidak menyalah-nyalahkan, apalagi mengkafir-kafirkan. Jubah yg dipakai tidak cingkrang, tetap menutupi mata kaki sebagaimana orang Indonesia bersarung. Wajahnya juga bersih, tidak terlihat ada bekas gosong di jidatnya. Beliau juga berkenan salaman dengan perempuan tanpa ragu. Berselfie dg lawan jenis tanpa canggung. Cara sholatnya juga tidak ada yang aneh. Sedakepnya dan posisi kakinya tampak akrab dg kebanyakan orang Indonesia shalat.

Beliau berjubah dan gunakan sorban berikat sungguh sangat wajar, karena itu adalah kostum kebesaran dan budaya daerahnya. Demikian juga berbicara dg bahasa Arab tentu menjadi suatu keharusan karena itu adalah bahasa nasional bangsanya. Ini tidak bisa disebut kearab-araban atau Arabisme, karena Sang Malik adalah orisinal orang Arab yang taat pada budaya dan tradisi lokalnya. Mungkin jika beliau jadi Raja di Indonesia, tentu beliau akan mengenakan sarung atau celana panjang, peci hitam atau peci Gus Dur, batik, dan bersandal teklek (terbuat dari emas anti peluru, he..he…)

Jika kita bandingkan dengan identitas kostum, gaya, dan sikap Wahabi Indonesia sungguh tampak beda. Sedikit berubah kesan kita tentang Wahabi. Memang Sang Raja tidak bisa mewakili gambaran keseluruhan Wahabisme. Tentu beliau berada pada kelasnya sendiri. Tetapi paling tidak Sang Malik sebagai pemimpin negeri Wahabi telah menunjukkan bahwa tidak semua Wahabi seperti yang diekspresikan oleh Wahabisme Indonesia.

Ehmmm, Wahabi juga manusia, tentu seharusnya mereka berubah dan bisa beradaptasi dengan budaya dan tradisi lokal di mana mereka menginjakkan kaki di tanahnya, minum dg airnya, makan dari tanahnya, dan bernafas dari udaranya. Ini Indonesia bung…., bukan Arab!!!

Terima kasih atas kunjunganmu, Wahai Sang Raja… Nikmati Indonesia dg segala keramahan dan keindahan alam dan budayanya. Met berlibur di Bali….