Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Yahya Cholil Staquf menerima gelar doktor kehormatan (honoris causa) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Gelar tersebut dianugerahkan kepada Gus Yahya, sapaan akrabnya, di Gedung Prof HM Amin Abdullah atau Multipurpose UIN Sunan Kalijaga, Jalan Marsda Adisucipto, Yogyakarta, pada Senin (13/2/2023).
Gus Yahya menerima anugerah doktor kehormatan bersama dua tokoh lain, yaitu Sudibyo Markus (Dewan Pakar Majelis Pelayanan Sosial PP Muhammadiyah) dan Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot (Presiden Badan Kepausan untuk Dialog Lintas Agama Vatikan).
Melalui media sosial resminya, sebagaimana dilansir oleh NU Online, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengumumkan penganugerahan gelar doktor kehormatan tersebut. Penganugerahan gelar doktor kehormatan kepada tiga tokoh itu merupakan bentuk apresiasi dan dukungan terhadap upaya perdamaian yang dilakukan ketiganya.
Kegiatan akan dilanjutkan dengan pembacaan Surat Keputusan Rektor oleh Prof. Sahiron Syamsuddin, Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan Dan Keuangan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada pukul 09.20 WIB. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan naskah akademik oleh Ketua Tim Promotor Prof Machasin, Guru Besar Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Setelah itu, agenda dilanjutkan dengan pidato ilmiah oleh tiga promovendus, yaitu KH. Yahya Cholil Staquf, Sudibyo Markus, dan Kardinal Miguel Angel Ayuso Quixot.
Dalam pidato pengukuhannya, Gus Yahya mencurahkan keresahannya soal bagaimana Islam harusnya eksis dalam realitas peradaban saat ini.
“Keresahan ini sudah lama mengganggu pikiran saya, utamanya sejak saya mulai menginjak dewasa. Di fase itu, saya berpikir bahwa Islam sedang berada di bawah tekanan, diserang, dan di bawah ancaman dari segala arah, baik dari dalam (negeri) maupun dari luar (negeri),” tutur Gus Yahya.
Dia mencontohkan pengalaman pahit Nahdlatul Ulama ketika berada dalam banyak tekanan, terutama di era awal konsolidasi politik rezim Soeharto. Ia menyaksikan banyak sekali ancaman, terutama bagi orang NU dan aktifis NU.
Sebagai seorang yang sedang beranjak dewasa, ia kemudian terpikir untuk melakukan perlawanan balik terhadap rezim yang represif itu. “Saya berusaha mencari jalan untuk melawan balik mereka yang menyerang Islam dari dalam maupun luar.”
“Namun, saya merasa beruntung bahwa pada saat masa kritis itu, yang saya temui bukanlah kelompok radikal atau teroris, karena dengan kondisi semacam itu mungkin saya akan mudah mengikuti mereka. Saya beruntung bertemu dengan KH. Abdurrahman Wahid. Dia, dalam segala cara, membuka mata saya tentang kenyataan dan apa yang secara realistis bisa diperjuangkan,” lanjut Gus Yahya.
Gus Yahya juga menceritakan bahwa ia masuk Fisipol UGM dan mengambil sosiologi untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang terus berputar di kepalanya, yaitu “bagaimana Islam harusnya tampil di era perdaban masa kini?”
Perjalanan akademik itu mengantarnya pada beberapa jawaban. Pertama, ia menyadari bahwa keresahan itu bukan hanya miliknya, tetapi juga dirasakan oleh semua generasi di usianya karena mereka berbagai pengalaman yang sama
Kedua, ia menyadari bahwa ada dalil-dalil yang dipelajari sebagai justifikasi seorang penganut agama untuk menyerang sesamanya yang berada di luar pemahamannya atau bahkan di luar Islam. Hal itu terjadi karena tidak ada diskursus kajian agamanya dibatasi, tidak terbuka, dan eksklusif. Oleh karena itu, kita mempunyai keinginan untuk melawan yang liyan.
“Namun kenyataannya, secara realistis, kesempatan kita untuk menang jika memang berambisi ingin melawan adalah zero. Rasanya tidak akan mungkin memenangkan pertempuran melawan kelompok lain,” tegasnya.
“Dan saya menyadari bahwa kesempatan yang nihil untuk menang ini tidak hanya dihadapi oleh kelompok Muslim, namun bisa ditemui oleh siapapun. Jika nanti perang benar-benar terjadi antara Islam dan kelompok lain, maka bisa dipastikan tidak akan ada pemenangnya. Semua akan jadi pihak yang kalah. Karena yang akan terjadi hanyalah kerusakan masif yang merugikan,” Gus Yahya melanjutkan.
Ia menambahkan bahwa berdasarkan pemahamannya, melalui pedoman dari Gus Dur, tidak ada jalan terbaik untuk memperjuangkan kebaikan Islam, selain memperjuangkan kemanusiaan seutuhnya.
Gus Yahya yakin bahwa ia sedang berjalan maju dalam langkah perjuangan ini, baik di Indonesia, maupun di luar untuk memperjuangkan kemanusiaan. Ini bukan perjuangan mudah. Ini akan menjadi perjuangan panjang bagi kita semua. Oleh karena itu, di manapun itu, kita harus siap memulai.
Dalam posisinya sebagai Ketua Umum PBNU dan dalam rangka memasuki abad ke 2 NU, ia mengatakan bahwa ini adalah misi NU memperjuangkan masa depan kita.
“Karena jika kemanusiaan menang, maka semua pihak menang. Jika kemanusiaan menang, maka Islam menang, Kristen menang, Hindu menang, Syiah menang, Sunni menang, semua menang,”pungkasnya.