Saat memberi kesaksian baik kepada jenazah, kalian pernah menghadapi dilema? Saya pernah ketika suatu hari ikut menyalati jenazah yang tidak saya ketahui tindak tanduknya semasa hidup, meski saya mengenal namanya. Saat itu, setelah shalat jenazah selesai, seorang tokoh kemudian bertanya kepada hadirin dalam bahasa Jawa: “si Fulan ini termasuk orang baik atau jelek?” Di situlah saya ragu-ragu.
Pemberian kesaksian bisa menjadi lebih dilematis jika kondisi lebih parah dari itu, yaitu ketika kita mengetahui bahwa jenazah bukanlah orang baik. Lantas bagaimana menghadapi kondisi demikian? Apa memang harus jujur mengatakan bahwa jenazah orang jelek di depan keluarganya dan bahkan di hadapan jenazah itu sendiri?
Memberi kesaksian terhadap jenazah memang sudah menjadi tradisi di Indonesia. Ia kerap disebut dengan tahsinul mayit. Sebagaimana cerita saya di atas, itu biasa dilakukan seusai shalat jenazah, biasanya bersamaan dengan sedikit nasehat soal kematian atau pernyataan tentang penyelesaian hutang-piutang si jenazah. Cara-caranya begitu beragam, hanya esensinya tetap sama.
Tradisi tersebut bukan barang baru. Pada zaman sahabat Nabi tradisi semacam itu juga terjadi. Dalam Shahih Bukhari, Anas bin Malik menceritakan bahwa, singkatnya, suatu hari orang-orang lewat membawa satu jenazah dan mereka memujinya dengan kebaikan, lalu Rasulullah berkata, “wajib baginya surga”. Kemudian lewat lagi orang-orang dengan jenazah yang berbeda, dan mereka mencelanya dengan kejelekan, lalu Rasulullah berkata, “wajib untuknya neraka”. Di akhir hadis, Rasulullah bersabda, “… kalian adalah para saksinya Allah di muka bumi.”
Hadis tersebut menjadi pijakan bagi ulama dalam mentradisikan tahsinul mayit, meskipun tetap ada perbedaan pendapat dalam menafsirkannya. Namun di luar perbedaan tersebut, di Indonesia tampaknya tidak pernah ada yang memberi kesaksian buruk, seperti halnya diceritakan dalam hadits di atas—paling tidak kesaksian secara langsung di tempat.
Permintaan kesaksian untuk si jenazah seolah-olah terjawab “orang baik” secara otomatis. Bahkan di beberapa tempat modin tak menyediakan pilihan jelek: “si Fulan ini orang baik atau baik?” Atau lebih halus dengan melakukan permintaan persaksian baik, bukan pertanyaan.
Tentang hal itu, belakangan, saya pernah mendengar penjelasan KH. Ahmad Bahauddin Nursalim, bahwa kematian bagi orang fasik adalah kebaikan itu sendiri. Artinya, dengan meninggal dunia, ia tidak lagi melakukan atau memutus keburukan. Dan, kata Gus Baha, tidak melakukan keburukan adalah suatu kebaikan tersendiri.
Penjelasan sedikit berbeda saya dapatkan dari kiai saya di Tambakberas, Jombang. Bahwa orang yang dianggap jelek tetap bisa disebut orang baik. Karena tidak mungkin seseorang sepanjang hidupnya melakukan kejelekan semata. Pasti ada satu dua kebaikan, dari perspektifnya masing-masing, yang pernah dilakukannya.
Atau jika benar-benar tidak ada kebaikannya, paling tidak, ia pernah bercita-cita melakukan kebaikan. Amanat semacam ini terkandung jelas dalam cerpen Ahmad Tohari berjudul “Kang Sarpin Minta Dikebiri”.
Cerpen tersebut menceritakan Kang Sarpin, seorang penjual beras yang tak segan menelanjangi diri demi uang dan terkenal sangat doyan bermain perempuan. Karena tabiat tersebut, masyarakat menganggapnya wong gemblung. Sampai ketika Sarpin meninggal, dan modin meminta persaksian tentangnya, tak ada satu pun warga yang menjawab, kecuali si tokoh “aku” yang berani bilang “baik” di tengah keheningan.Itu dilakukan karena hanya si “aku” yang mengetahui bahwa di akhir hidupnya Sarpin sempat ingin benar bertaubat dari perbuatan gemblungnya. Meskipun kematiannya lebih cepat menjemput, mengubur keinginan taubatnya itu.
Walhasil, kebaikan dan keburukan orang tentu menjadi tanggung jawab masing-masing, sebagaimana memberi kesaksian juga tanggung jawab masing-masing. Tetapi, saya kira, kata kunci di sini adalah bagaimana orang berhusnuzan pada lainnya. Kebanyakan keburukan yang kita sematkan pada orang lain berangkat dari suuzan.
Dan yang jelas, penyebutan baik terhadap jenazah justru bisa menjadi penutup untuk keburukan-keburukannya. Karena hal itulah yang dianjurkan dalam hadits lain, udzkuru mahasina mautaakum wa kaffu ‘an masawihim. Bahwa sebutlah kebaikan seorang yang meninggal dunia dan hindari membuka aibnya.