Tahun ini, Ramadan datang dihadapkan pada iklim politik yang mendidih. Besaran gelembung dua kubu—sedikit banyak—masih terendus wujudnya hingga kini. Persekutuan kemudian menguat, lantaran merebaknya akselerasi politis yang berhasrat mengakuisisi kemenangan secara sepihak. Termaktub dua kali (2014-2019) ritual akbar demokrasi itu sedikit tercoreng citra dan marwahnya.
Belum lagi soal cacian, makian, fitnah, hoaks, sampai pelintiran kebencian (hate spin) yang berbulan-bulan belakangan dipertontonkan secara vulgar di layar televisi maupun di gawai kesayangan kita.
Tidak hanya itu, Ramadan tahun ini datang ketika marginalisasi merekah, bersamaan dengan ingatan-ingatan penggusuran hunian warga yang terelakan dengan iringan deru begho dan tangis warga. Sebut saja penggusuran di Temon, Kulon Progo, Yogyakarta yang menguatkan jika redistribusi keadilan di negara kita mandul dalam proporsi strata kelas.
‘Penggusuran’ sendiri merupakan ungkapan sosial yang paling tragis yang menjarah hak warga negara untuk merasakan kenyamanan hunian. Meskipun belakangan ia dibahasakan secara lebih manis dengan pembebasan lahan (land relinquishment)—tapi proseduralnya tetap: secara paksa.
Perpecahan politik dan sosial seperti itu masih menjalar di mana-mana dan berotasi secara memalukan. Hal ini membuat kita bertanya-tanya: apakah ritual puasa yang sesungguhnya secara simbolis merupakan bahasa pemihakan terhadap mereka yang menderita, yang lapar, yang tersingkir?. Masihkah puasa memiliki substansi keberagaman yang secara moralitas peka terhadap proses marginalisasi sosial seperti itu?
Puasa memang bukan alternatif ide sosial untuk menyelesaikan proses dehumanisasi atau keterasingan sosial seperti itu. Tapi bukan berarti puasa melulu menyoal kekhusyu’an beribadah, memupuk pahala individu secara kontinu.
Akan tetapi, ritus atau ibadah puasa, menurut Moeslim Abdurrahman (2005) dapat dialihkan sebagai energi penggugah kesadaran iman yang bersifat self-reflexsive, sehingga aliran ideologi ke-fithri-an yang tertanam di benak setiap manusia dapat muncul dan terepresentasikan sebagai kepekaan kolektif. Sehingga, Moeslim menambahkan, barangkali hikmah puasa itu akan mengalir menjadi perubahan sejarah dan bukan berhenti pada semangat mencari pahala untuk pemenuhan fikihnya belaka.
Sayangnya, mode intrepetasi puasa yang mencuat dalam banyak sesi dakwah agama hanya berkutat pada tirakat spiritual kepahalaan semata sebagai ritual enforcement yang hanya akan membelenggu manusia dalam tirakat sosial. Karena itu, penting untuk nantinya diperhatikan, jika isi dakwah agama di Ramadan secara khusus perlu memfokuskan materi yang menelaah makna ritus puasa dalam perspektif sosial.
Semestinya, wahyu yang terkandung dalam ayat-ayat puasa itu dimaknai secara optimistik. Menilik beberapa penggunaan kata dalam ayat-ayat puasa jika digali penggunaan kata dan telaah gramatikal Arabnya, ia sangat berpotensi untuk menjadi pondasi yang menopang spirit dalam beragama (Qs.1:183-186).
Karena itu, dalam praktik yang lebih rasional, ayat-ayat puasa seharusnya dimaknai sebagai living faith yang aktual, yang mencari makna ibadah itu dalam penghadapannya terhadap realitas. Yakni, bagaimana puasa dapat mengelola kesadaran fithri yang humanis memihak keadilan dan realitas keterpurukan yang menggejala di lingkungan sekitar kita. Suatu kenyataan yang paling sering kita temukan adalah fenomena gelandangan yang setiap hari ‘menahan lapar’ tanpa diniatkan layaknya orang berpuasa tapi ikut bergembira ketika mendengar beduk azan berdendang.
Dari sini kita belajar banyak kepada Ibu Hj. Sinta Nuriyah Wahid melalui program “Sahur Keliling” di banyak tempat. Program yang sudah berlangsung selama 19 tahun itu telah banyak membuka wawasan kita berkenaan dengan makna puasa untuk kemudian dijadikan sebagai pelajaran hidup yang mahal. Ibu Sinta ingin menunjukkan jika puasa bukan hanya menimbun pahala individual yang berarti cukup dengan mengurung diri dan mengejar pahala untuk diri sendiri. Melainkan ritual puasa dimaknai secara optimistik dan aktual, termasuk kesadaran dalam menjaga masyarakat yang tersingkir (marginal).
Istri Gus Dur yang juga memperoleh anugerah sebagai ‘Ibu Bangsa’ itu tidak benar jika dikatakan menafikan makna puasa yang termaktub dalam Alquran. Dalam banyak potret, justru oleh Ibu Sinta, proses ritual puasa dirancang lebih progresif melewati batas fragmentasi sosial yang belakangan kian menggejala dan bergerak secara simultan. Dalam setiap sesi “Sahur Keliling” yang diadakan, beliau ajeg menyampaikan jika berpuasa tidak menghalangi kita untuk tetap menjalin tali silaturahmi antar manusia.
Puasa, sama sekali tidak mengekslusi makna keberagaman, justru jika ritual ibadah itu dikonfrontasikan dengan konteks, nuansa, dan alusi kesadaran untuk memperoleh maknanya sebagai pembacaan hermeneutika sosial dalam konstruk kehidupan manusia yang nyata, maka kesadaran fithri yang humanis menjadi kesadaran baru yang patut dibubuhkan di setiap iman umat Islam. Dengan itu, makna kepekaan kolektif dalam Ramadan bisa dirasakan oleh semua umat beragama di Indonesia.