Hari lahir Pancasila tahun ini bertepatan pada bulan Ramadhan, bulan di mana umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa. Penulis ingin menuliskan isi pikiran penulis, yang tampaknya termasuk dari refleksi hari kelahiran Pancasila, melalui penghayatan ibadah puasa.
Puasa adalah bentuk ibadah yang cara pelaksanaannya berbeda dengan sholat, zakat dan haji. Sholat, zakat dan haji menuntut pelaku bergerak aktif dalam pelaksanaannya. Berbeda dengan puasa, yang dalam pelaksanaannya pelaku diharuskan untuk pasif, seperti tidak makan, tidak minum, tidak berbuat maksiat dan sebagainya.
Begitulah Islam, dalam pelaksanaannya, tidak semua amalan ibadah menuntut keaktifan, namun ada juga yang justru mengharuskan pelakunya untuk pasif, seperti ibadah puasa. Terkait ibadah pasif dan aktif, penulis sendiri baru ngeh (sadar) saat mendengarkan kajian tentang puasa dari Prof M. Quraish Shihab.
Dalam pengamalan Pancasila juga demikian. Selain pengamalan Pancasila secara aktif seperti mengusahakan keadilan sosial, juga memiliki sisi lain, yang cara pengamalannya justru dengan pasif. Seperti tidak melakukan korupsi, tidak melakukan ujaran kebencian, tidak melakukan tindak kekerasan kepada sesama, adalah beberapa contoh pengamalan Pancasila yang dalam pelaksanaannya pelaku dituntut pasif.
Pengamalan Pancasila secara pasif tidak bisa dianggap remeh. Banyak dari kita yang terbukti kesulitan mengamalkan Pancasila secara pasif. Beberapa contohnya adalah masih adanya korupsi yang dilakukan oleh beberapa elite politik negeri ini. Hal ini menunjukkan mereka belum mampu mengamalkan Pancasila secara pasif. Nilai-nilai Pancasila yang pengamalannya menuntut pelaku untuk pasif memang tidak mudah untuk diamalkan.
Seperti halnya puasa, ibadah pasif yang juga tak semua orang mampu menjalankannya. Hanya orang-orang yang bersabar menahan keserakahan hasratnyalah yang mampu menunaikannya. Seperti menahan lapar, menahan haus, menahan sex, menahan melihat dari yang dilarang, menahan berkata keji, menahan berbuat yang merugikan orang lain, merupakan kepasifan yang tak semua orang bisa bersabar dalam menjalankannya.
Dalam ajaran agama, ada yang namanya perintah dan larangan. Ajaran yang bersifat perintah, menuntut pelaku aktif dalam melaksanakannya, sedangkan ajaran yang bersifat larangan, menuntut pelaku pasif dalam pengamalannya. Menurut Imam al-Ghazali, dalam kitab Bidayah al-Hidayah, menjalankan perintah itu lebih mudah dari pada meninggalkan maksiat, atau menghindari hal-hal yang dilarang.
Begitu juga dengan Pancasila. Ada nilai-nilai, atau ajaran dari Pancasila yang menuntut pelaku aktif dalam mengamalkannya, dan nilai-nilai Pancasila yang mengharuskan pelakunya pasif dalam pelaksanaannya, sebagaimana telah disinggung di atas.
Nilai-nilai Pancasila yang menuntut pelaku aktif dan nilai-nilai Pancasila yang mengharuskan pelaku pasif, kadang disalahpahami oleh beberapa orang. Bahkan sering kali tertukar. Nilai-nilai Pancasila yang menuntut keaktifan pelaku, justru diamalkan secara pasif. Begitu pula sebaliknya, nilai-nilai Pancasila yang seharusnya diamalkan secara pasif, justru diamalkan secara aktif. Misalnya nilai-nilai Pancasila tentang mewujudkan keadilan sosial. Terkadang beberapa pemangku kebijakan kita, justru bersikap pasif, sehingga kurang berusaha lebih keras dalam mewujudkannya. Sebaliknya, nilai-nilai Pancasila yang mengharuskan pengamalan secara pasif, seperti tidak menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi, justru hal itu kadang dilakukan secara aktif, dan masif.
Keterbalikan tersebut juga terjadi dalam pengamalan ajaran agama. Ajaran agama yang menuntut aktif, malah beberapa orang memilih pasif, dan begitu sebaliknya. Keterbalikan ini jika terus berlangsung tentu akan menjadikan pengamalan yang tidak sempurna, baik dalam ajaran agama, ataupun nilai-nilai Pancasila. Di bulan Ramadhan ini, sepertinya tepat bagi kita, untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya, yang aktif diamalkan secara aktif, yang pasif juga diamalkan secara pasif. Semoga kita mampu dan diberi kekuatan. Amin..
Zaim Ahya, penulis adalah pegiat di Islami Institute.