Dalam Ihya’ Ulumiddin, magnum opus-nya itu, Al-Ghazali membahas puasa dalam bab khusus yang diberinya judul Kitaabu Asraarish Shaum (Kitab Rahasia Puasa). Pada mukadimahnya Al-Ghazali mengutip Hadis, “Puasa adalah separuh kesabaran.” (Ashshaumu nishfush shabr), “Sabar merupakan separuh iman.” (Ashshabru nishful iimaan), dan “Setiap kebaikan berlipat sepuluh turunannya hingga mencapai tujuh ratus kelipatan kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang membalasnya.” (Kullu hasanatin bi’isyri amtsaalihaa ilaa sab’i mi’ati dli’fin illashshiyaama fainnahu lie waajziibih).
Kemudian dipertegas dengan penggalan akhir ayat ke-10 surah Az-Zumar (QS. 39:10), “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahala mereka dengan tanpa batas.” (Innamaa yuwaffash shaabiruuna ajrahum bighairi hisaab).
Demi menjelaskan keutamaan puasa, Al-Ghazali menukil beberapa Hadis dan ayat Al-Qur’an, lalu dalam Pasal Pertama membabar tentang kewajiban-kewajiban, sunah-sunah yang lahir, dan apa-apa yang membatalkan puasa.
Kewajiban orang yang berpuasa ada 6, yaitu mengetahui awal bulan Ramadhan, niat, menahan diri untuk tidak makan dan minum serta memasukkan sesuatu ke dalam tubuh, menahan diri untuk tidak bersetubuh, menahan diri untuk tidak mengeluarkan air mani atau semacamnya, dan menahan diri dari muntah-muntah yang disengaja.
Sunah orang yang berpuasa juga ada 6, yaitu mengakhirkan makan sahur, segera berbuka sebelum melaksanakan shalat maghrib, tidak berkumur atau sejenisnya setelah tengah hari, bermurah hati dengan memperbanyak sedekah, bertadarus Al-Qur’an, dan melakukan i’tikaf di masjid.
Adapun yang membatalkan puasa adalah makan dan minum atau memasukkan sesuatu ke dalam tubuh dengan sengaja, bersetubuh, mengeluarkan air mani atau semacamnya, muntah-muntah yang disengaja, dan datang bulan bagi kaum perempuan.
Pasal kedua menjelaskan tentang rahasia puasa dan syarat-syarat batinnya. Dalam pasal ini Al-Ghazali memaparkan bahwa di dalam berpuasa itu terdapat tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah puasa umum, yaitu berpuasa dengan melaksanakan apa-apa yang telah dijelaskan dalam pasal pertama di atas. Tingkat kedua adalah puasa khusus, yaitu berpuasa dalam tingkat umum sembari menjaga penglihatan mata, menjaga lisan, tangan, dan kaki dari melakukan aktivitas yang tercela apalagi yang termasuk dosa.
Dan, tingkat ketiga adalah puasa khushushul khushush. Pada tingkat tertinggi ini Al-Ghazali menjelaskan puasanya hati dari pelbagai keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran duniawi. Dimana hati diupayakan agar steril dari segala sesuatu selain Allah. Terjadilah “batal puasa” dalam tingkatan ini dengan berpikir mengenai yang selain Allah dan memikirkan yang di luar urusan akhirat. Namun berpikir tentang dunia yang berhubungan dengan agama dikecualikan, karena yang demikian itu merupakan bekal untuk akhirat.
Fainnahu lie waajziibih
Penggalan dari Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah yang dikutip oleh Al-Ghazali pada mukadimah Kitab Rahasia Puasa, “Fainnahu lie waajziibih (sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang membalasnya),” memang menarik untuk dikaji. Karena dengan gamblang ditegaskan bahwa puasa adalah ibadah yang hanya diperuntukkan kepada Allah dan Allah sendiri yang akan membalasnya.
Lebih menarik lagi, karena sebelum mengetengahkan Hadis Qudsi di atas Al-Ghazali mendahuluinya dengan HR. Tirmidzi dan Ibn Majah dari Abu Hurairah, “Puasa adalah separuh kesabaran,” dan HR. Abu Na’im dan Al-Khathib dari Ibn Mas’ud, “Sabar merupakan separuh iman.”
Sampai di sini, kemudian saya teringat maqalah sayyidina Ali karramallaahu wajhah dalam 100 kalimahnya yang dirangkum oleh Al-Jaahidh, “Aljaza’u at’abu minash shabri.” (Berkeluh kesah lebih berat dibandingkan bersabar). Benar, berkeluh kesah atas sesuatu sesungguhnya memang lebih berat dibandingkan dengan ketika kita bersabar terhadapnya.
Ya, betapa selama ini kita telah menghabiskan sebagian besar umur untuk melakukan hal yang lebih berat dibandingkan ketika kita mesti bersabar. Celakanya lagi, hal yang lebih berat sehingga menghabiskan energi itu, ternyata berhulu pada ketidakberanian kita melihat diri sendiri secara utuh dan apa adanya. Upaya kita untuk mengalihkan agar jangan sampai melihat diri sendiri secara apa adanya itulah ternyata yang membuat kita mengeluhkan ini itu.
Maka QS. 39:10 yang redaksi lengkapnya, “Katakanlah (Muhammad): ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu!’ Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahala mereka dengan tanpa batas,” pun kian relevan saja.
Bagaimana tidak, karena para pengeluh umumnya adalah orang-orang yang bermulut besar yang kelihatannya fasih saat membicarakan ini itu, termasuk yang berhubungan dengan spiritualitas. Bahkan puasanya orang-orang yang khushushul khushush pun dibahasnya hingga sedemikian rupa setiap kali ramadhan tiba. Namun dalam praktiknya tentu berbeda. Karena para pengeluh—sehebat apa pun keluh kesahnya—mereka adalah orang-orang yang mengabaikan potensi di dalam dirinya sendiri.
Para pengeluh biasanya hanya sibuk menyalah-nyalahkan orang lain, bahkan Tuhan pun disalahkannya. Mereka tak pernah bisa melihat dirinya sendiri secara apa adanya apalagi secara menyeluruh, dan sibuk menuntut orang lain agar begini dan begitu sesuai kemauannya. Tak jarang bahkan mereka melakukannya dengan mencibir dan memaki.
Sementara mereka yang penyabar, akan senantiasa tabah terhadap segala sesuatu di luar dirinya dan berusaha fokus pada apa yang masih mungkin dilakukannya, walaupun sangat sederhana. Karena keadaan, mungkin para penyabar memang hanya bisa berpuasa pada tingkatan puasa orang umum, namun Allah—dimana ibadah puasa hanyalah untuk-Nya—tentu memiliki pandangan tersendiri atas mereka yang tetap bersabar dalam keterbatasan.
Sungguh maha benar firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Hal itu sangatlah dibenci di sisi Allah ketika kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan!” (QS. Ash-Shaaf, 61:2-3). Dimana terkait dengan ayat tersebut, dalam tafsirnya Ibn Katsir menegaskan bahwa hal itu merupakan pengingkaran Allah kepada orang yang telah menetapkan suatu janji atau mengatakan suatu ucapan, namun ia tidak memenuhinya.
Sehubungan dengan tafsirnya tersebut Ibn Katsir pun mengetengahkan Hadis shahih, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga; bila berjanji ia tidak memenuhinya, ketika berbicara ia berdusta, dan saat diberi amanah ia berkhianat.”
Semoga puasa kita pada ramadhan kali ini setidaknya dapat membuat kita lebih bersabar, karena bersabar itu sesungguhnya lebih ringan dibandingkan ketika kita berkeluh kesah. Dan, bersabar juga merupakan separuh dari iman, karena dengan bersabar paling tidak kita akan berusaha memenuhi setiap janji—termasuk tidak melupakan hutang-hutang kita tentu saja, berupaya jujur dalam berbicara maupun berprilaku, dan sebisa mungkin menjaga setiap amanah yang kita terima. Amin. []
Muhaji Fikriono, penulis buku Hikam untuk Semua. Bisa ditemui di Hikam_Athai