Prof Quraish Shihab dan Fenomena Jubir Tuhan Seolah-olah

Prof Quraish Shihab dan Fenomena Jubir Tuhan Seolah-olah

Bagaimana mungkin seorang Quraish Shihab yang telah melanglang-buana dalam pengembaraan ilmu bisa diragukan oleh mereka yang, maaf, bodoh saja belum?

Prof Quraish Shihab dan Fenomena Jubir Tuhan Seolah-olah

Beberapa waktu lalu, Mbak Najwa Shihab dan Prof Quraish Shihab membacakan puisi Gus Mus berjudul Bagaimana Aku Menirumu, O Kekasihku. Segera setelah itu, islami.co menayangkan berita tentang momen sentimentil tersebut.

Di laman facebook Islami, artikel tersebut dibanjiri komentar ajaib. Saya kutipkan beberapa di antaranya, begini:

Terbuka kedoknya ternyata web jaringan Islam liberal

Atau, “Disuruh nutup aurat tapi gak ditutup

Plus, “Jaringan syiah ternyata, yang tidak mewajibkan anaknya memakai jilbab… liberalisme.. islam yang menganut kebebasan tidak kaffah dalam syariat

Ketiga komentar itu berasal dari orang yang berbeda, dan antara satu dengan yang lain itu bukanlah akun anonim. Kok tahu? Tentu saja, kebetulan saya sedang nganggur dan lalu menyimak satu-satu kolom komentar itu.

Apakah saya lalu urun rembug dalam perdebatan tersebut di kolom komentar? Jelas, tidak. Kalaulah menuruti ajaibnya mahkamah netizen, maka saya khawatir jangan-jangan itu karena nafsu semata dan bukan atasnama ilmu.

Begini. Media sosial dengan segala ragam mutasi genetiknya biasanya menyediakan kolom komentar. Di sana orang bebas berjibaku dan terlibat dalam sebuah “percakapan”.

Yang demikian itu lalu memungkinkan dua hal. Pertama adalah menambah ruang perspektif; dan kedua, membuka ruang caci-maki.

Sialnya, yang kedua itu lebih mendominasi. Apakah ini merupakan madharat? Saya pikir tidak juga, sejauh yang diekspresikan tidak sampai pada level kriminal, seperti ancaman menghilangkan nyawa atau merugikan secara fisik pihak yang bersangkutan.

Sehubungan dengan komentar miring yang dialamatkan kepada Prof Quraish Shihab, misalnya, saya masih mencoba husnuzon bahwa yang demikian itu masih dalam taraf biasa saja, dan di atas itu semua adalah karena ketidaktahuan mereka yang membenci semata.

Bahwa kemudian komentar yang dilontarkan adalah kelewat bebal, itu sepenuhnya benar sekali. Terus terang, saya pun terkadang turut prihatin dengan fenomena setamsil itu. Bagaimana mungkin seorang pakar tafsir yang telah melanglang-buana dalam pengembaraan ilmu selama bertahun-tahun lamanya, lalu diragukan sedemikian bebal oleh mereka-mereka yang, maaf, bodoh saja belum?

Celakanya, amunisi yang hendak dibedilkan adalah perkara yang itu-itu saja. Syiah, liberal, dan jilbab merupakan narasi pamungkas para oposan untuk seolah-olah mendelegitmasi kepakaran Prof Quraish Shihab.

Apakah Prof Quraish akan marah dan lalu butuh dibela? Saya berani bertaruh bilamana beliau tetap biasa saja. Mengapa? Sebab Prof Quraish adalah orang berilmu. Yang namanya orang berilmu, pastilah tidak akan tenggelam dalam lautan kebencian.

Menulis secara produktif, menerangkan firman Tuhan dalam berjilid-jilid Tafsir al-Misbah, mendapat penghargaan bergengsi dari otoritas Mesir, dan pencapaian-pencapaian lainnya merupakan sederet bukti betapa Prof Quraish memang sebenar-benarnya ulama.

Lalu, apa yang sudah dilakukan oleh para pengritiknya? Wallahu a’lam

Yang jelas, tidaklah menutup kemungkinan kalau Prof Quraish Shihab mendapat keragaman pendapat dari sesama ulama. Dan, perbedaan pendapat di level antar-ulama itu sebetulnya adalah biasa saja.

Sejak dulu, hal-hal ijtihadiyah itu memang membuka ruang perbedaan pendapat. Malahan, antara Sayyidina Abu Bakar dengan Sayyidina Umar saja biasa beda pendapat. Yang satu berpendapat bahwa mengkodifikasi al-Qur’an dalam bentuk mushaf itu tidak diajarkan Nabi, sedangkan yang satunya lagi memandang perlu bilamana tidak dikodifikasi, maka al-Qur’an akan sulit untuk mendunia.

Meski begitu, mencaci, membenci, dan merasa lebih benar dari seorang ulama hanya karena ia berbeda pendapat dengan kita yang nisbi, kita yang awam, kita yang nir-akhlak, dan kita yang dhaif, itu sungguh fenomena yang kelewat menyedihkan. Tidakkah ini mirip sekali dengan kegilaan orang-orang khawarij yang menghalalkan darah sang bab al-ilm, Sayyidina Ali itu?

Ah, saya jadi teringat wejangan KH Bahauddin Nur Salim (Gus Baha) tentang “riskannya” kekhusyukan artifisial. Intinya begini: zaada khusyu’an zaada jahlan (terkadang, tambah khusyu itu, tambah bento).

Dan, jika ini tidak diimbangi dengan wawasan tentang watak peradaban yang sangat beragam agar supaya kita li ta’arafu (saling mengenal), maka ke-merasa-baikan itu akan mengkristal menjadi riya.

Jelasnya, orang-orang yang berusaha khusyu itu selalu punya potensi untuk merasa baik. Anda, misalnya, yang rajin ke masjid, sewaktu mendapati orang nongkrong di perempatan, maka akan muncul pikiran bahwa “kerjaan kok nongkrong saja”.

Padahal, nongkrong di perempatan juga belum tentu buruk. Bisa jadi mereka yang nongkrong di perempatan adalah tukang ojek yang sedang berjuang untuk menafkahi keluarganya. Sedangkan, menafkahi keluarga adalah termasuk hal yang diwajibkan agama.

Lagian, tanpa keberadaan orang-orang yang nongkrong di perempatan, siapa yang akan menolong dengan sigap sewaktu-waktu terjadi sebuah tragedi, kecelakaan lalu lintas misalnya?

Wa ba’du, memang, tidak ada yang bisa menjadi rem bagi semua kita di ranah media sosial, bahkan jika itu adalah sehoror UU ITE yang sangat karet tersebut. Satu-satunya yang memungkinkan menjadi kontrol atas jari-jari netizen adalah ya netizen itu sendiri.

Jadi, bijaklah dalam bermedia sosial, kecuali kalau Anda memang merasa kepedean sebagai Jubir Tuhan. Yang pasti, sependek pengetahuan saya, tidak ada yang lebih sial dari profesi menjadi Jubir Tuhan seolah-olah. Dan, itu sudah diteladankan dengan sangat benderang oleh orang-orang setamsil Abdurrahman anake Pak Muljam.