Perdebatan tentang habaib, atau keturunan Rasulullah bukanlah suatu yang baru di Indonesia. Permasalahan ini sudah muncul sejak dulu. Fokus topiknya saja yang berbedad-beda. Pada masa kolonial yang dibahas adalah penggunaan gelar sayyid dan hukum syarifah menikah dengan non-syarif. Masa orde baru yang diperdebatkan apakah keturunan Rasulullah itu masih ada atau tidak. Sementara sekarang yang dipertanyakan adalah apakah Baalawi silsilsahnya bersambung sampai Rasulullah atau tidak.
Sejak KH. Imaduddin Utsman merilis temuannya tentang keterputusan nasab Baalawi, persoalan ini sampai sekarang masih terus diperbincangkan dan tampaknya belum ada ujung yang jelas.
Najwa Shihab melalui program Shihab & Shihab tahun 2022 pernah mengangkat tema ini. Dia bertanya kepada Prof. Quraish Shihab, apakah keturunan Rasulullah itu benar-benar ada di Indonesia. Prof. Quraish mengatakan, “Ada, Buya Hamka juga pernah menjelaskan bahwa mereka itu ada.”
Sejarah menunjukkan bahwa memang ada beberapa bangsa yang memberikan perhatian besar terkait garis keturunan. Prof Quraish mencontohkan ratu Inggris, mereka jelas menjaga garis keturunannya. Demikian pula dengan keluarga Nabi. Keturunannya mentradisikan untuk menjaga silsilah itu. Keturunan Nabi itu disebut dengan beberapa istilah, kadang Ahlul Bait, al-Qurba, dan seterusnya.
Seluruh keturunan Nabi saat ini berasal dari Sayyidah Fathimah dan Ali bin Abi Thalib. Mungkin ada yang bertanya, Fathimah kan perempuan? Bukannya garis keturunan itu biasanya dari laki-laki? Prof. Quraish menjelaskan, ini sama saja dengan Nabi Isa. Ia dinamai Isa Putra Mariam. Artinya, penyandaran garis keturunan terhadap laki-laki juga tidak berlaku mutlak. Dalam beberapa kasus, bisa saja ditemukan garis keturunan disandarkan kepada perempuan.
Namun perlu digarisbawahi, jangan sampai silsilah keturunan Nabi itu dijadikan alasan untuk mengistimewakan diri sendiri melebihi kewajaran, atau meminta orang lain agar menghormatinya secara berlebihan. Memang di satu sisi, keturunan Rasulullah itu punya keistimewaan. Tapi, kata Prof. Quraish Shihab, setiap keistimewaan itu juga punya kewajiban dan konsekuensi. Kalau itu tidak terpenuhi, maka garis keturunan yang dimilikinya tidak akan ada artinya.
Hal ini sama dengan kasus Nabi Nuh, beliau punya anak, tapi mengingkari ajaran Tuhan. Walaupun anak Nabi Nuh sekalipun, hal itu tidak akan bisa membantunya kalau dia tidak pernah melakukan amalan yang baik. Karena itu, ketika anaknya tenggelam, Nabi Nuh memohon pada Allah SWT, “Wahai Tuhan, anakku dari keluargaku?” Allah menjawab, “Bukan.”
Asal-Usul Keturunan Nabi di Indonesia
Para habaib yang ada di Indonesia ini umumnya berasal dari Hadramut. Kakeknya sebelum sampai ke Hadramaut, pernah tinggal di Irak. Setelah itu baru hijrah dari Irak. Penting diketahui, menurut Prof. Quraish Shihab, beliau hijrah ke Hadramaut bukan untuk mencari nafkah, sebab di Irak sudah kaya raya dan Hadramaut juga gersang, tapi beliau pindah ke sana untuk mengajarkan agama dan mempersatukan masyarakat.
Misi mengajarkan agama itu dilanjutkan kemudian oleh Faqih Muqaddam. Ia dikenal sebagai orang yang mematahkan pedang. Maksudnya, ia berdakwah tidak menggunakan kekerasan, tetapi dengan menunjukkan akhlak yang baik.
Keturunan Faqih Muqaddam inilah yang sebagian datang ke Indonesia. Sekali lagi, kedatangannya bukan untuk mencari nafkah, tapi menyebarkan agama Islam dengan cara yang baik, bukan kekerasan. Mereka pada awalnya tidak bisa bahasa Indonesia, bahasa Jawa, atau bahasa daerah lainnya, tetapi mereka mampu mempengaruhi masyarakat dengan akhlaknya.
Mereka berdakwah di Indonesia dengan meninggalkan keluarganya. Sampai di Indonesia, mereka menganggap orang Indonesia sebagai Ahwal, saudara Ibu kami, salah satu bentuk penghormatan.
Orang yang mememiliki garis keturunan Nabi ini mestinya juga menyebarkan Islam atau berdakwah dengan toleransi dan akhlak. Apa yang terjadi sekarang ini, sebenarnya itu hanya sebagian kecil, membuat citra garis keturunan Rasulullah menjadi negatif. Mirisnya, hal itu juga direspons dengan cara yang tidak sesuai, sehingga terjadilah keributan.
Prof. Quraish Shihab menambahkan, keistimewaan keturunan Rasulullah justru karena dia mengikuti akhlak Nabi.
“Boleh berbangga, merasa bersyukur karena ditakdirkan menjadi bagian dari keturunan Rasulullah, tapi jangan tonjolkan itu. Tonjolkan akhlakmu, kebaikanmu, dan keramah-tamahanmu,” Tegas penulis Tafsir al-Misbah tersebut.