ISLAMI.CO, PURWOKERTO—Selasa (22/09/2023) Senat UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto gelar perhelatan bersejarah dengan kukuhkan enam guru besar sekaligus. Salah satunya Prof. Dr. H. Abdul Wachid Wachid BS., M.Hum. sebagai guru besar bidang ilmu pendidikan bahasa dan sastra Indonesia.
Prof. Achid, begitu ia biasa disapa, merupakan salah satu penulis Indonesia yang produktif menulis sastra hingga tulisan ilmiah di ranah akademis. Ratusan karyanya telah terpublikasikan dan beberapa di antaranya berhasil sabet penghargaan bergengsi. Pada 2021, bukunya yang berjudul “Sastra Pencerahan” berhasil raih Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) untuk kategori nonfiksi yang diberikan oleh Malaysia. Pada Juli 2023, Yayasan Hari Puisi Indonesia (HPI) mengumumkan buku puisi karyanya “Penyair Cinta” sebagai salah satu buku kumpulan sajak terbaik dalam Sayembara Buku Puisi Hari Puisi Indonesia 2022.
Dalam pidato pengukuhannya yang berjudul “Moderasi Beragama melalui Literasi Sastra Indonesia di Pondok Pesantren”, Prof. Achid menyatakan bahwa pesantren menyediakan lingkungan pembelajaran yang kuat dengan pendekatan kontekstual dalam pemahaman agama.
Hal ini berarti pesantren mengajarkan nilai-nilai agama dengan memperhatikan realitas sosial, kultural, dan sejarah Indonesia. Dalam konteks moderasi beragama, pesantren memberikan pemahaman yang lebih luas tentang ajaran Islam yang mengedepankan rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam) dan prinsip-prinsip persaudaraan.
Menurutnya, literasi sastra sangat penting diajarkan di pesantren karena sastra memiliki kesamaan dengan tasawuf, yaitu mendekatkan hati manusia kepada Allah Swt.
Kemampuan bersastra dalam diri santri dapat melembutkan hati, pikiran, dan perilaku. Hati, pikiran, dan perilaku yang lembut merupakan pangkal dari sikap keberagamaan yang moderat (tengah).
Sikap moderat merupakan salah satu sikap Nabi Muhammad saw. yang patut diteladani karena beliau adalah sosok yang adil bagi kaumnya dan bagi orang lain. Dengan pengetahuan agama dan sastra yang mendalam, santri memiliki kepekaan perasaan, kejernihan pikiran, dan sikap egaliter yang kuat.
“Praktik moderasi beragama melalui literasi sastra Indonesia oleh santri di pondok pesantren berangkat dari tradisi pembacaan kitab yang dilaksanakan secara bandongan dan sorogan,” tutur Prof. Achid.
Dari situ kita dapat menyimpulkan bahwa sastra Indonesia telah lama masuk dalam pondok pesantren melalui literasi kitab yang dibaca, dipelajari, dan dipahami oleh santri dalam bingkai pondok pesantren dan kebangaasan Indonesia, karena tidak jarang kitab-kitab tersebut mengajarkan tentang wawasan bersosial dan problematika kehidupan yang dapat mengasah asumsi dan penalaran yang menjadikan santri dapat mengambil jalan tengah dan menjadikan ruang moderasi dalam bermasyarakat.