Sejauh ini, kalangan yang getol mengatakan dan mensyiarkan slogan “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw” ini adalah Salafi Wahabi. Kata “Salafi” diafiliasikan kepada khazanah pemahaman Islam ala salafus shalih (tiga generasi awal terbaik Islam, sebagaimana hadis Rasul Saw) dan kata “Wahabi” (atau Wahhabi) diafiliasikan kepada tokoh pendirinya, yakni Syekh Muhammad bin Abdul Wahab.
Aliran Islam satu ini dikenal luas hari ini di lingkungan kita dengan dua doktrin utamanya –aslinya tidak terbatas pada dua ini saja—yakni “anti bid’ah” dan “anti thaghut”. Apa yang didefinisikan sebagai bid’ah ialah segala pandangan dan amal perbuatan yang tidak ada dasar dalilnya dalam al-Qur’an dan atau dituntunkan langsung oleh Rasulullah Saw sebagai sunnahnya.
Hadis kesohor yang mereka rujuk ialah “semua hal baru adalah bid’ah, semua bid’ah adalah sesat, dan semua kesesatan adalah di neraka.” Ya, secara tekstual. Karenanya, mereka menolak pemetaan bi’ah sebagai bid’ah hasanah dan bi’dah sayyiah –yang diformulasikan oleh Imam Syafi’i.
Konsekuensi logis dari doktrin tersebut, bagi kalangan Salafi Wahabi ini, tidak berlaku pulalah kaidah pokok dalam Ushul Fiqh perihal peta ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah yang berkerucut pada prinsip “segalanya haram dilaksanakan kecuali ada dalil yang membolehkannya” (untuk ibadah mahdhah) dan “segalanya boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya” (untuk ibadah ghairu mahdhah).
Dalam tataran realitas dinamis kehidupan masyarakat yang terus bergerak secara kebudayaannya, konsekuensi berikutnya lagi ialah ditampiknya segala hal yang muncul dari adat tradisi budaya masyarakat –walau bernilai maslahat bagaimanapun—karena tentulah tidak ada tuntunannya dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw. Tentu saja, toh khazanah dalil naqli memang tak mungkin bertambah lagi; berbeda telak dengan khazanah hidup masyarakat Islam yang terus bergerak, berubah, bergeser, dan bertambah.
Pada persuaan dua sisi esensial inilah amat sering kalangan ini mendulang problematika-problematikanya. Sekadar satu contoh pembanding kecil di sini, paham tersebut berseberangan telak dengan pandangan Ibnu ‘Asyur yang mengakomodir “segala nilai hidup yang berlaku dalam suatu masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi (dan sunnah Rasul Saw tentu saja)”; dengan kata lain, apa-apa yang bisa dan sah dijalankan oleh umat tak hanya terbatas pada apa yang ada dalam khazanah dalil sepanjang bernilai maslahat; toh bukankah mustahil ada suatu masyarakat yang bersepakat kepada nilai-nilai kemungkaran dan kemadharatan.
Di antara contoh amaliah yang terus menyeruak ke permukaan dalam vonis menyelisihi syariat Islam dan terulang setiap tahun ialah perihal pengharaman perayaan Maulid Nabi Saw yang telah mendarah-daging di negeri ini. Dasar vonisnya ialah bid’ah. Rasulullah Saw tak pernah mengamalkan perayaaan ulang tahunnya. Karena itu tidak ada tuntunannya dari Rasulullah Saw, ia adalah bid’ah, ia lalu adalah kesesatan. Ya, sesederhana dan sepragmatis itu dasar penetapan hukumnya. Dapat dikatakan, maaf kata, tiada kritisisme ilmu di sini.
Tentu banyak fenomena lainnya lagi yang bisa dicontohkan di sini yang terus berulang dengan siklus rutin begitu; misal, merayakan nisfu Sya’ban, 10 Asyura, tahun baru Islam, dan sebagainya.
Saya takkan berfokus pada hal-hal yang terus berulang-ulang tanpa ujung itu, toh lagi pula telah banyak betul ulama kita yang memberikan keterangan-keterangan jangkepnya.
Doktrin anti segala bid’ah itu lalu berakumulasi kepada doktrin anti thagut. Thagut adalah segala perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam karena tidak ada rujukan dalil yang terang dari al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah Saw. Demokrasi, misal, disebut thagut. Merayakan Maulid Nabi Saw tak terhindarkan sebagai bagian dari praktik thagut. Sekali lagi, tegasnya, thagut adalah segala hal yang bertentangan dengan syariat Islam.
Dengan kata lain, cara operasi pemahaman dan amaliah kalangan ini ialah sepenuh-penuhnya bersandar kepada ada/tidaknya khazanah dalil naqlinya. Walhasil, ungkapan yang sangat sering dilontarkannya adalah “mana dalilnya?”. Ia telah menjadi jargonnya.
Atas dasar karakter pemahaman tersebutlah, lahirlah lalu doktrin “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw” atau “menjalankan Islam dengan semurni-murninya”. Yang dimaksud murni ialah semata berdasar kepada dalil-dalil naqli.
Paham Salafi Wahabi ini lalu merujukkan dirinya secara akidah kepada Asy’ariyah (maka disebut Ahlus Sunnah wal Jamaah) dan secara fiqh kepada mazhab Hanbali dan berikutnya Ibnu Taimiyah. Ini bisa dimafhumi karena memang di antara empat imam mazhab fiqh yang terkenal itu, Imam Ahmad bin Hanbal dikenal beraliran ijtihad tesktualis kepada khazanah dalil-dalil. Berbeda dengan Imam Syafii yang banyak menggunakan rasionalitas (ijtihad bi al-ra’yi) dan mengakomodir khazanah budaya masyarakat (‘urf), walau (catat terang serentak) tidak berarti beliau menomorduakan dalil-dalil naqli dibanding aqli, apalagi meninggalkannya. Tidak.
Dari selayang pandang ini, kita bisa memafhumi bagaimana maksud dan operasi dari doktrin “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw” tersebut.
Bersambung di sini