Kini saya akan berfokus pada (maaf kata) problematika-problematika doktrin “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” (ini tidak berarti bahwa saya lantas menolak keberadaan paham Salafi Wahabi, toh mereka pada dasarnya memiliki hak yang sama dengan paham-paham lainnya untuk ada, diyakini, dan diamalkan).
Dilema rasional yang mendasar pada doktrin tersebut ialah menjawab pertanyaan kritis: “Bagaimana cara kita yang hidup di negeri Indonesia ini, hari ini, dalam sublimasi realitas kebudayaannya yang telah ada sejak kita bernapas pertama kali (sebab suatu kebudayaan adalah bagian dari dasein manusia), baik yang beririsan dengan ajaran keislaman langsung maupun nampak beranah sosial tetapi nilai-nlainya bertalian pula dengan tegaknya kehidupan umat Islam itu sendiri, secara pemahaman dan amaliah, memahami prinsip pemahaman tersebut?”
Pertanyaan kritis ini tak pernah menemukan jawaban yang memuaskan kendati tokoh-tokoh Salafi Wahhabi juga telah berulangkali menjelaskannya. Maklumlah, dasar ontologinya telah beda jauh, maka wajar bila episteme-nya pun berat untuk dipersuakan. Karena situasinya selalu begitu, saya kira hal terbaik buat semua kita ialah saling menghargai dan menghormati saja dengan menghindarkan diri dari ungkapan-ungkapan yang bernada negasi kepada pihak lain.
Persoalannya, mungkinkah sikap saling menerima itu mudah disenaraikan?
Berat, faktanya memang begitu. Sampai hari ini, bukankah masih sering sekali kita mendengar umbaran tudingan sesat dan kafir kepada pihak-pihak lain yang tak sama paham dan amaliahnya?
Sudahlah, walLahu a’lam saja soal ini. Semoga semuanya semakin membaik saja.
Kini saya akan menelisiki kemungkinan-kemungkinan rasional bagi jalan memahami dan mengamalkan syariat Islam (catat: syariat Islam) sebagaimana dikandung al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw dengan menggunakan asas “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw”.
Kemungkinannya saya kira ada dua:
Pertama, musykil bila memahami dan mengamalkan syariat Islam dengan sepenuh kedalaman dan keluasan ilmiah rasionalnya, yang itu artinya mesti melibatkan seluruh khazanah ilmu dan metodologi yang telah digunakan diwariskan para ulama sejak dahulu kala –plus tambahan khazanah baru kekinian.
Kemusykilan ini akan kentara benar bila kita memahami sejak dini bahwa, misal, pertama, ayat-ayat bukanlah sekadar kumpulan perintah dan larangan yang diturunkan dari langit ke “ruang kosong” bumi manusia, tetapi sublim dengan realitas empiris yang sedang terjadi di masa penurunannya dan merentang panjang dan luas ke dalam masa-masa panjang berikutnya serta seluruh wilayah yang dilingkupinya. Ini disebut ilmu asbabun nuzul–dalam hadis, disebut ilmu asbabul wurud.
Contoh nyata: bagaimana Anda memahami makna dan definisi riil “jilbab” dan “khimar” yang disebut al-Qur’an bila Anda bukanlah orang Arab? Nyatanya, wujud jilbab dalam khazanah budaya Arab tidaklah sama persis dengan bentuk jilbab dalam khazanah Indonesia. Bagaimana lagi orang Islam di Prancis dan Amerika memahami kedua lema khas Arab tersebut? Dan sebagainya. Ini semua menjadi bukti nyata bagi lindap-lingkupnya khazanah “bumi manusia” yang kebak dengan tata nilai kebudayaannya masing-masing sebagai bagian riil yang menyublimasikan bentuk bangunan pemahaman dan pengamalan umat masing-masing.
Lalu, kedua, bahasa Arab yang dipakai oleh al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw memiliki kekhasan dan keunikan yang luar biasa, sehingga banyak betul kata, kalimat, dan ungkapannya yang tak sungguh-sungguh bisa diwakili atau ditransfer begfitu saja ke dalam kata, kalimat, dan ungkapan bahasa-bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia.
Dalam statemen filosofis Ludwig Wittgenstein, inilah yang dimaksud language game: “Makna setiap kata tergantung penggunannya dalam setiap kalimat; makna setiap kalimat tergantung penggunannya dalam setiap bahasa; dan makna setiap bahasa tergantung penggunannya dalam setiap kehidupan.”
Wajar sekali bila Imam Syafii lantas menjadikan syarat kefasihan memahami bahasa Arab dengan kafah sebagai pintu otoritas bagi kemantapan suatu tafsir dan takwil. Ia adalah modal pokok yang niscaya. Menguasai ilmu alat Bahasa Arab adalah keniscayaan untuk bias memahami makna yang tersirat dan tersurat dalam teks-teks dalil.
Bagaimana posisi kita hari ini di hadapan persoalan filsafat bahasa Arab ini?
Coba ya kita buktikan.
Kata “barakah”, misal. Kata “barakah” berasal dari kata “barkah” (ba-ra-ka), dengan arti ha-hal baik yang mantap. Jika kita mengatakan kalimat “barakaLlah laka” (artinya: berkah Allah Swt kepadamu), maka ia menisbatkan doa kepada orang lain agar dilimpahi hal-hal baik yang mantap bagi kehidupannya. Bisa cita-cita, rezeki, keluarga, kesehatan, amal ibadah, dan sebagainya.
Orang yang tidak paham ilmu Sharf akan mengartikan sama saja kata “tabaraka” dengan “ha-hal baik yang mantap”. Bagi orang yang ahli ilmu Sharf, adanya tambahan “ta” pada kata “baraka” (fi’il Madhi), dalam wazan (rumus) “tafa’ala” hingga menjadi “tabaraka”, jelas mengandung pengertian yang beda seketika.
Pada contoh ayat pertama dalam surat al-Mulk, misal, kalimat “tabarakalladzi” (Allah Swt), artinya akan reduktif sekali jika dikatakan: “Hal-hal baik yang mantap milik Allah Swt” ataupun sekadar “Mahasuci Allah Swt”. Ia akan lebih tepat diartikan: “Amat luas melimpahlah kebajikan Allah Swt”.
Maka, masuk akal bila kemudian dipahami bahwa mengucapkam “barakaLlah laka” berderajat lebih rendah daripada ucapan “tabarakaLlah laka”. Jika pada ucapan pertama bisa jadi tercukupkan dengan adanya berkat (besek) buah tangan, pada ucapan kedua ia meliputi besek, doa, silaturrahim, karunia Allah Swt, cinta Rasulnya Saw, dll.
Betapa jauhnya terapan pemaknaan bahasa Arab antara orang yang paham ilmu Sharf dan tidak. Bagaimana lagi bila dimasukkan lebih jauh ke dalam ilmu Manthiq dan Balaghah? Jelas akan berberai-berailah capaian makna yang digali antara golongan yang sekadar mengartikan ayat dari arti terjemahannya dengan golongan yang mengartikannya dengan berbasis ilmu-ilmu alat kebahasaan hingga filsafat sastrawinya.
Sampai di sini, mari renungkan: layakkah kita mendaku diri memahami betul makna dan kandungan suatu ayat dengan telanjang tanpa ilmu Bahasa Arab, dengan semata mengandalkan al-Qur’an terjemahan?
Ini baru perihal Bahasa. Belum lagi bila masuk lebih dalam kepada otoritas ilmu tafsir dan Ushul Fiqh.
Ada tamsil lain yang sering menjadi keruncingan kemudian, yakni pada sebuah kalimat dalam Shalawat Nariyah ini: “tanhallu bihil ‘uqadu….” (arti tekstualnya: dilepaskan dengannya segala keterikatan/kesulitan). Adanya bihi dengan dhamir yang merujuk kepada Nabi Muhammad Saw dalam kalimat tersebut dikritisi oleh sejumlah kalangan dengan menyimpulkan bahwa itu adalah bentuk kesyirikan karena memohon kepada Rasulullah Saw, bukan Allah Swt. Atas dasar hal itu, mereka mengatakan shalawat tersebut terlarang, bahkan ada yang menyebutnya kesyirikan.
Saya ingin mengatakan bahwa inilah bukti nyata dari risiko keterbelengguan penerjemahan tekstual.
Kita seyogianya juga memahami bahwa kandungan suatu kalimat bagaikan ibarat-ibarat yang menyimpan keluasan dan kedalaman yang luar biasa limpah lagi ruah. Kita bisa menjelaskan bahwa secara Balaghah majazi, penisbatan Rasulullah Saw di situ dalam posisi sebagai washilah bagi permohonan manusia yang tetap ditujukan kepada Allah Swt (ini sisi tauhidnya), bukan menuhankan Rasulullah Saw, dengan memajazkan posisi agung Rasulullah Saw sebagai habibuLlah (kekasih Allah Swt) yang berkat relasi Cinta Allah Swt kepada Rasulullah Saw itulah bahkan seluruh alam raya ini diciptakanNya (laulaka laulaka lama khalaqtul aflak, jika bukan karena engkau, wahai Muhammad Saw, takkan Kuciptakan alam semesta ini).
Jika Anda ragu pada kesahihan hadis ini, ingatlah bahwa begitu banyak ayat al-Qur’an yang memperlihatkan ta’bir makna-makna betapa cintanya Allah Swt kepada Rasulullah Saw. Puja-puji Allah Swt tak henti-hentinya kepada Rasulullah Saw. Bahkan Allah Swt mengucapkan shalawat kepada Rasulullah Saw (para ulama menafsirkan arti shalawatnya Allah Swt tersebut sebagai “kucuran rahmatNya”).
Masihkah logis untuk tidak meyakini bahwa dengan jalan Cinta tersebut –dalam bahasa ulama tafsir “kucuran RahmatNya” tadi) insya Allah akan dimudahkan segala urusan dan hajat hidup kita?
Pada titik inilah shalawat Nariyah sungguh baik-baik saja untuk diamalkan sebagai puja-puji kita kepada Rasulullah Saw –sebagaimana Allah Swt memuji-mujinya—dan doa-doa kita kepada Allah Swt dengan washilah cinta kepadanya dan cintanya kepada Allah Swt. Serupa belaka dengan kesahihan dan keluhungan shalawat-shalawat lainnya.
Cukup dua item ini saja, ya, tamsilnya.
Kesimpulannya, nyata betul bahwa melibas khazanah ilmu, kajian, dan amaliah yang telah dibangun dan diwariskan oleh para ulama pendahulu kita hanya akan merugikan kita sendiri. Bayangkan di meja makan telah disediakan sajian-sajian lezat dan gurih untuk disantap, dipersilakan untuk dimakan sepuasnya, mengapa kita malah memilih untuk memulai sendiri dengan menanam bibit, menyiangi, menabur pupuk, menyirami, kemudian panen sendiri, memasak, dan baru memakannya? Apakah terjamin hasil olah kita sendiri itu lebih baik dari sajian yang nyata-nyata dibuat dengan perjalanan ilmu yang panjang betul itu?
Tak masuk akal saya kira.
Saya tambahkan satu refleksi lagi: kita ini hidup di zaman dan tempat yang “tak ada hubungannya apa pun” secara historis dan kultural dengan khazanah hidup Rasulullah Saw dan para salafus shalih. Bagaimana Anda bisa tahu dan yakin bahwa kurma busuk se Madinah yang telah diborong dengan harga normal oleh Abdurrahman bin ‘Auf selepas perang Tabuk demi memiskinnya dirinya sendiri agar tak ribet-tibet dengan hisab harta kekayannya tetapi kemudian gagal terwujud karena justru kurma-kurma busuk itu diborong raja dari Habasyah untuk obat wabah yang sedang melanda adalah benar-benar busuk sebagainya busuknya mangga-mangga di pekarangan rumah kita kini? Apa benar begitu? Hanya dari khazanah keterangan para ulama terdahulu, yang dari ulama gurunya terdahulu lagi, dan terus lagi, dan lagi itulah kita bisa mengetahui dan meyakini kebenarannya. Bukankah begitu secara rasional dan empiris?
Kedua, jika yang dimaksudkan adalah sekadar sebenar-benarnya ala-kadarnya mengartikan ayat sesuai bunyi teksnya, tentu dengan risiko kita akan kehilangan kesempatan besar untuk dapat mendulang dan mengasup makna-makna ibaratnya yang nyata-nyata di situlah pesan-moral dalil-dalil disimpan, Anda bisa menjalankan doktrin kembali kepada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw langsung itu.
Hanya saja, mari renungkan dulu dengan jernih:
Saat kita meyakini bahwa syariat Islam sebagaimana terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw adalah sempurna, haq, dan berlaku sepanjang masa hingga akhir zaman, bagaimana Anda memahami dan mendudukkan perkara jual-beli online yang hari ini sedang booming? Apa yang akan Anda katakan dan lakukan?
Apakah umat Islam akan dibiarkan status quo belaka sehingga tak bisa mengambil manfaat-manfaat dahsyatnya dari media jual-beli kontemporer itu? Apakah bila Anda mengatakan tidak ada tuntunannya dalam dalil-dalil naqli, itu artinya realitas marketplace di depan ini akan kita sebut tidak ada? Bagaimana mungkin? Dan bagaimana bisa umat Islam tak memiliki hukum atas sebuah realitas kehidupannya sendiri? Bukankah itu justru menyimpang dari sifat Islam yang rahmatan lil ‘alamin? Bukankah itu justru rawan menjatuhkan kita bahwa Islam ini bukanlah tuntunan hidup yang paripurna dan universal?
Tentulah Anda pun akan menggali makna-makna yang diyakini sahih dan mantap terkait perkara jual-beli online tersebut, bukan?
Tepat di waktu yang sama, di hadapan realitas yang sama, pada dasarnya semua kita tanpa kecuali ketika mengatakan hukum jual-beli online adalah begini atau begitu, sama-sama sedang menafsir, menakwil, dan merumuskan suatu pemahaman hukum. Karena begitulah memang sifat asasiah kita (betul, inilah khittah manusia di dunia ini!) dalam kehidupan ini, sungguhlah tidak ada makna produktif dan otoritatifnya untuk membuang-buang khazanah yang telah diwariskan para ulama leluhur, yang tentunya lebih dekat dengan realitas historis kehidupan Rasulullah Saw dan para salafus shalih dibanding kita kini, yang mereka rujuk pula dari ulama leluhur yang lebih dekat lagi, terus yang lebih dekat lagi, hingga sampai ke generasi terbaik Islam itu.
Jika Anda pendatang dari Jakarta, misal, ketemu di di perempatan Tugu, Jogja, Anda lalu bertanya kepada saya sebagai orang Jogga, mana jalan menuju Parangtritis, tentulah saya bisa lebih tepat dan informatif menunjukkannya dibanding Anda tidak meminta petunjuk.
Memang, bisa saja Anda akhirnya sampai juga ke Parangtritis, itu pun dengan penuh spekulasi, keraguan, dan nyasar-nyasar tak keruan yang sungguh tak diperlukan, tetapi bisa pula Anda bahkan tak pernah sampai karena ternyata melenceng jauh ke mana-mana hingga teronggok di depan Ndalem Kapithikan Maguwoharjo yang dipimpin Raja Tua Picoez Al-Jingini padahal Anda meyakini betul atas dasar diri Anda sendiri bahwa inilah jalan terbaik menuju Parangtritis.
Janganlah mempersulit diri, marilah bersyukur atas karunia khazanah dari para leluhur yang amat tak terperikan luas dan dalamnya itu.
Jika Anda meyakini hadis riwayat Hakim tentang kota ilmu pengetahuan yang disabdakan oleh Rasulullah Saw bahwa pintu gerbangnya adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan siapa yang ingin memasuki kota ilmu Rasulullah Saw hendaknya melewati pintu gerbang tersebut, dan fakta sejarah bahwa risalah sanad ilmu itu terus diturunkan dan diwariskan tanpa henti dari relasi guru-murid, misal dari Ali Zainal Abidin hingga Imam Ja’far ash-Shadiq, dan terus ke para leluhur kita, lalu orangtua dan guru kita, dan kini ke kita, masak iya kita yang hanya kaum ‘Ajami ini malah memilih jalan yang dibikin sendiri?
Sungguh khawatir, sangat dikhawatirkan, kita yang hanya orang ‘Ajami akhir zaman ini tidak dapat “kurma-kurma yang jatuh dari pohonnya” karena kita tidak menempatkan diri di jalan atau sisi sanad ilmu mu’tabar itu –sebagaimana ilustrasi Imam Nawawi dalam kitab Adabul Ta’lim Wal Muta’allim.