Ceramah Felix Siauw cukup problematis jika membincang soal relasi negara dan Islam. Penulis ini juga wacana ini dibentuk, khususnya terkait ide sekulerasi yang kata dia berasal dari rezim
Beberapa hari lalu, saya menonton salah satu video kajian Islam yang diadakan di salah satu artis senior. Kajian tersebut diisi oleh Felix Siauw dan diberi judul “Heboh….Fenomena Islam di Indonesia”. Menariknya dalam video yang diunggah pada 13 Juni 2018 lalu tersebut digambarkan cukup detail fenomena keislaman dalam kacamata Islamis, seperti Felix.
Saya tertarik menyelesaikan menonton video berdurasi 53 menit tersebut, karena Felix membahas lanskap dakwah Islam yang disebutnya telah berubah, walau telah berubah banyak sejak kehadiran media sosial dan internet.
Felix memulai ceramahnya dengan menghadirkan buku “Marketing in Venus” yang dikarang oleh Hermawan Kartajaya, Bembi Dwi Indrio, Dewi Madyani, dan Yuswohady. Menurutnya, dalam buku tersebut dijelaskan bahwa peradaban manusia akan lebih mengarah pada sisi emosi atau mental. Dia mengilustrasikannya dengan setiap warganet akrab dengan tulisan, dan hal ini disebutnya sebagai bagian dari pengasahan sisi emosi.
Di tengah video, Felix menyebutkan bahwa salah satu dampak dari kehadiran teknologi internet dalam dakwah Islam adalah terjadi sekularisasi dalam kehidupan muslim. Felix menceritakan permasalahan dalam dakwah Islam bermulai dari kemenangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yang disebutkannya sebagai bagian awal dari “Sekulerisasi”.
Ada upaya dari “pihak berkuasa” untuk memisahkan antara Islam dan Negara. Poin sekulerisasi inilah yang disebut Felix sebagai awal dari permasalahan dakwah Islam di Indonesia. Dan berangkat dari narasi inilah Felix kemudian membangun imaji telah terjadi penindasan dakwah Islam di Indonesia.
Dia menggambarkan sekulerisasi sebagai proses mengeyahkan agama daripada agama. Dari sini bisa kita lihat pemilihan diksi “mengeyahkan” disengaja oleh Felix untuk membangun imaji menakutkan pada peserta kajiannya. Felix kemudian mem-blow up narasi pengeyahan tersebut dengan menghubungkannya dengan cerita kemerdekaan bangsa Indonesia diraih atas jasa orang-orang muslim.
Felix menyebutkan bahwa “orang-orang ini” (yang diarahkan kepada kelompok partai berkuasa sekarang beserta pendukungnya) memahami bahwa dengan memisahkan antara kelompok Islamis dan tradisionalis, yang mayoritas di Indonesia, adalah langkah untuk menyingkirkan Islam dari bumi Indonesia.
Dia kemudian menggelorakan segregasi masa kolonial antara penjajah (non-muslim) dengan pribumi (muslim). Selain itu, dia juga menjelaskan ada pengkhianat yang memiliki keinginan yang sama dengan penjajah, menggeyahkan agama dari negara. Ini digunakan Felix untuk membentuk citra bahwa Indonesia adalah milik orang Islam saja.
Memang, jika kita menyimak ceramah Felix Siauw di atas maka dijumpai narasi penindasan tersebut dihadirkan dengan logika yang loncat-loncat. Data sejarah yang disampaikan dalam ceramah Felix Siauw sebagian memang benar terjadi, namun sayangnya dia hanya mengambil bagian yang dapat mendukung atau telah disesuaikan dengan keinginan Felix, yakni gambaran negara Indonesia sekarang sangat tidak ideal dengan dakwah Islam. Benarkah demikian?
***
Sebelum lebih jauh, saya ingin bercerita terlebih dahulu. Dulu seorang kyai pernah menghadiahi saya sebuah pin berbentuk perisai bergambar bendera Palestina. “Biar ingat perjuangan para pejuang Palestina” sebut beliau kala menyerahkan pin tersebut. Sejak itu, imaji ketertindasan masyarakat muslim di seluruh dunia tertanam kuat dalam ingatan saya, dan Palestina sebagai simbolnya.
Mungkin tidak hanya saya yang memiliki imaji seperti itu, banyak masyarakat muslim menghadirkan perjuangan masyarakat Palestina membayangkan konflik antar agama, bukan aneksasi atas kemerdekaan atau kedaulatan Negara. Ketika politik identitas dan agama menjamur di Indonesia sejak setengah dekade lalu, isu Islam semakin ditekan atau ditindas menyeruak sebagai komoditas politik yang kuat dan laris.
Baca juga: Dakwah Felix Siauw
Akibatnya, banyak penceramah yang membawa narasi penindasan atas masyarakat Muslim sebagai bagian dari dakwah atau khutbah mereka di ranah digital atau dunia nyata. Persebaran narasi tersebut sebagai bagian dari perkembangan dakwah di Indonesia, terutama dalam konteks Islam politik.
Menariknya, narasi Islam politik tersebut berkembang pesat di kalangan kelas menengah. Kelompok masyarakat yang memiliki pendapatan dan pendidikan yang tinggi ini disebutkan cukup menggandrungi kajian-kajian keislaman, termasuk tentang Islam politik, terutama pasca Orde Baru.
Ketertarikan mereka pada kajian Islam politik diantaranya adalah akibat dari keintiman mereka dengan beberapa pendakwah berhaluan Islamis, terutama Tahriri atau penggiat isu pendirian khilafah. Felix Siauw adalah salah satu penceramah yang sering berinteraksi dengan kelompok kelas menengah, terutama di Jakarta dan sekitar Jawa.
Kajian-kajian Islam yang dikemas dengan mewah kemudian semakin menjamur di kota-kota besar. Dakwah Islam tidak lagi hanya ada di masjid atau langgar, juga tidak lagi disajikan dengan tradisi ngaji kitab yang kaku. Ballroom sebuah hotel atau di salah satu rumah komplek perumahan elit sering dijadikan oleh wadah kajian Islam oleh kelompok kelas menengah ini.
Adapun terkait muatan yang cukup diminati oleh kalangan kelas menengah, selain ajaran ibadah, adalah pembahasan Islam politik. Akibatnya, terjadi relasi Supply and Demand antara kelompok kelas menengah dengan kelompok Islamis.
***
Sekarang kita kembali ke persoalan ceramah Felix tentang sekularisasi di atas. Perdebatan tentang sekularisasi di Indonesia mulai menghangat kembali pada tahun 2005, sebagaimana juga disebutkan oleh Felix dalam ceramahnya, di mana Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun itu mengeluarkan fatwa haram terhadap sekulerisme, pluralisme dan liberalisme.
Carol Kersten, sejarawan asal Belanda, menyebutkan bahwa sejak awal abad ke-21 pun, banyak Muslim melihat hubungan pelik antara negara dan agama, kala itu piagam Jakarta, masih tetap menjadi inti agenda proyek perjuangan pasca-kemerdekaan. Mengutip Robert Cribb, Kersten menggambarkannya sebagai dua sisi mata uang dalam sejarah Indonesia, selain “cita-cita keadilan dan modernitas”.
Sejak kemerdekaan memang terdapat berbagai inisiatif terkait relasi antar agama dan negara. Kehadiran HTI yang mengusulkan untuk mengembalikan kekhilafahan adalah salah satu inisiatif yang hadir sejak akhir kekuasaan Orde Baru.
Jika Kersten melihat kehadiran berbagai inisiatif tersebut membuat perdebatan politik di kalangan intelektual muslim semakin berliku. Berbeda dengan Kersten, sekarang, isu tersebut dihadirkan dalam diskursus publik awam dengan kemasan yang menarik sekaligus menggiurkan.
Isu relasi agama-negara dihadirkan untuk mempersoalkan peran demokrasi, yang sebelumnya tidak pernah dipersoalkan oleh kebanyakan para pendiri bangsa ini, termasuk kalangan partai-partai politik Islam, pada awal masa kemerdekaan Indonesia.
Sekularisasi, liberalisme dan pluralisme telah menjadi perdebatan lama di masyarakat Muslim, termasuk di Indonesia. Sehingga saya melihat ceramah Felix Siauw di atas adalah bagian dari usaha dia merumuskan kembali teori Negara di Indonesia pasca-Suharto. Sebagai bagian dari eksponen HTI, hubungan antara agama dan negara adalah isu penting bagi seorang Felix.
Bak gayung bersambut, isu relasi agama-negara hadir di tengah kondisi menggeliatnya politik identitas dan gairah keberagamaan di masyarakat Muslim Indonesia sebagai respon dari modernitas. Tak mengherankan kemudian jika isu-isu yang dibawa oleh kelompok Tahriri begitu diminati oleh masyarakat Indonesia, terutama di perkotaan. Jadi, narasi Islam tertindas begitu laris dikonsumsi tersebut sebenarnya bagian dari pergumulan perdebatan politik dan gairah keislaman yang saling berkelindan.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin