Sejak diterpa pandemi Covid-19 berkepanjangan, Indonesia kini memasuki masa-masa sulit dalam memulihkan ekonominya, hal ini ditandai dengan kenaikan harga di berbagai sektor. Baru-baru ini kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sempat memunculkan kritik keras oleh beberapa kalangan.
Dampak kenaikan BBM bersubsidi tentu sangat berbeda dengan kebijakan ekonomi lainnya, pasalnya kelompok masyarakat dengan pengeluaran terendah adalah yang paling dirugikan oleh kebijakan ini, di sisi lain kenaikan BBM sangat berpeluang meningkatkan angka kemiskinan dan inflasi Indonesia.
Berdasarkan data yang dikutip dari Katadata.co.id, kenaikan harga BBM seperti Pertamax dan Pertalite meningkatkan persentase pengeluaran untuk BBM bagi penduduk 10% termiskin dari 4% menjadi 6,8%. Sementara, porsi pengeluaran untuk BBM bagi kelompok terkaya diperkirakan hanya meningkat hingga 5,2%, kenaikan ini juga meningkatkan tingkat inflasi Indonesia yang sudah mencapai 4,94% per bulan Juli 2022.
Melihat fenomena tersebut maka sangat perlu mencari jalan keluar dari peliknya krisis yang dihadapi bangsa ini. Salah satunya dengan menggunakan ekonomi Iktifa’ atau berkecukupan sebagai penguatan paradigma para pelaku ekonomi utamanya di sektor-sektor ekonomi mikro, memang pada dasarnya kelompok menengah ke bawah ini berperan penting dalam membangun tembok kokoh ekonomi Indonesia dari masa ke masa.
Memaknai Iktifa’ Sebagai Paradigma Ekonomi
Iktifa’ sendiri berasal dari akar kata bahasa arab kafa-yakfii/iktafa-yaktafi yang berarti cukup, mencukupi, kecukupan. Sedangkan istilah ekonomi cukup (iktifa’) sendiri dikutip dari pendapat Radhar Panca Dahana dalam bukunya Ekonomi Cukup, Kritik pada Budaya Kapitalisme (2015:168-170), yakni sebuah prinsip hidup/ekonomi yang sederhana ketika manusia tidak lagi mengeksploitasi dirinya sendiri juga lingkungan sekitar, demi kepentingan keserakahan nafsunya pribadi, namun mengeksplorasi potensi terbaiknya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup secukupnya sebatas yang dianjurkan dan dibatasi ajaran agama.
Dalam Islam sendiri sebenarnya prinsip-prinsip ekonomi sudah dicontohkan Rasulullah SAW saat meningkatkan perekonomian Madinah dengan membangun pasar yang notabene sebagai pusat ekonomi mikro, tentunya praktik ekonomi yang diajarkan Rasulullah dengan mengedepankan nilai-nilai kejujuran, adil, dan saling tolong menolong.
Said Aqil Siroj dalam bukunya Islam Sebagai Sumber Inspirasi Budaya Nusantara mengungkapkan bahwa dalam pembangunan ekonomi, umat Islam seharusnya mengacu pada pada prinsip-prinsip mabadi khaira ummah yaitu amanah, ta’awun (gotong royong), wafa bil ahdi (trust), al-’adl (adil), istiqomah (konsisten). (2014:166).
Ungkapan tersebut selaras dengan ciri utama ekonomi Iktifa’ yang mengedepankan nilai kepedulian terhadap sesama dalam wujud ta’awun, bukan egosentris untuk menimbun keuntungan sendiri. “Cukup” di sini dimaksudkan bukan membatasi ruang penghasilan atau mengurangi laba, melainkan mencukupkan diri mengikhlaskan kekayaan yang tidak diperolehnya meskipun secara potensi mampu, demi memberikan peluang untuk membantu usaha orang lain.
Mengapa prinsip iktifa’ diperlukan untuk dijadikan paradigma dalam bertahan menghadapi krisis dan inflasi besar-besaran yang dialami Indonesia bahkan masyarakat dunia? Sebab dalam prinsip ini mengandung nilai yang bisa meruntuhkan moral dasar kapitalistik dengan pola free will dan free market, keduanya terus menuntun pada ketidakpuasan ego serta mendesak agar memupuk kekayaan dengan ongkos yang seminimal mungkin.
Ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam agar menjauhi sikap bermewah-mewahan, dalam surat At-Takasur ayat 1-2:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ . حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
Artinya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk kedalam kubur”
Justru Islam mengajarkan agar selalu mengedepankan untuk bersikap sederhana dan saling tolong menolong dengan sesama.
Bertahan dalam Badai Krisis, Perang Melawan Kapitalisme
Contoh iktifa misalnya, jika kita mampu membeli Lamborghini dengan nilai yang fantastis, bukankah lebih baik jika membeli Pajero atau mobil dengan nilai yang lebih rendah saja? dengan anggaran yang tersisa dimanfaatkan untuk kegiatan sosial yang mampu mengangkat perekonomian masyarakat misalnya. Apabila cakupan kecukupan ekonomi disederhanakan sampai pada titik ini setidaknya krisis yang melanda bangsa ini sedikit teringankan.
Dalam menghadapi krisis ekonomi, Islam mengajarkan agar selalu berpegang teguh bahwa pengaturan rejeki yang sudah tetapkan Allah dan termaktub dalam lauhul mahfudz sejak zaman azali, karena itu sesuai kebutuhan dan kecukupannya. Sehingga tidak diragukan ada kekeliruan atau kekurangan perihal rejeki yang sudah ditentukan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada sahabat Zubair bin Awwam yang dikutip dari Kitab Tarikhul Ahadist ihya’ ulumuddin karya imam al-Zabidi, hadist ke 3052:
النبي صلّى الله عليه وسلم قاَلَ لِلزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّام: يَا زُبَيْرَ اِعْلَمْ أَنَّ مَفَاتِيْحَ أَرْزَاقِ الْعِبَادِ بِإِزَاءِ الْعَرْشِ يَبْعَثُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى كُلِّ عَبْدٍ بِقَدْرِ نَفَقَتِهِ فَمَنْ كَثَّرَ كُثِّرَ لَهُ وَمَنْ قَلَّلَ قُلِّلَ لَهُ
Artinya: Nabi SAW bersabda kepada Zubair bin Awwam, wahai Zubair ketahuilah sesungguhnya kunci-kunci rejeki hamba sudah ditetapkan di ‘Arsy, Allah menurunkannya sesuai dengan nafkah yang ditanggungnya, maka siapa yang banyak kebutuhannya banyak pula rejekinya, dan siapa yang sedikit kebutuhannya maka sedikit pula rejekinya.
Pola ekonomi Iktifa’ ini di sisi lain juga perlahan mengikis budaya kapitalistik yang sudah sangat mengakar dalam tatanan sosial. Kapitalisme telah membuat tembok besar kesenjangan kelas ekonomi masyarakat. Si kaya semakin menumpuk hartanya, sedang si miskin semakin sengsara akibat monopoli kapitalisme ini.
Menurut Said Aqi Siraj dalam Islam Sebagai Sumber Inspirasi Budaya Nusantara, ada dua hal yang membentuk krisis perekonomian, pertama sistem perekonomian dengan sepirit pasar bebas yang sangat bertentangan dengan asas kekeluargaan dan gotong royong, sehingga bukan hanya menghancurkan usaha kecil rakyat tapi juga merugikan berbagai perusahaan nasional.
Kedua, terjadinya monopoli oleh kalangan swasta atas sektor-sektor strategis baik bumi, air, dan energi, hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang menolak segala bentuk monopoli terhadap segala sektor strategis negara karena akan melumpuhkan ketahanan dan kemandirian ekonomi negara. (2015;166).
Demikian begitu sangat penting untuk mengimplementasikan prisip iktifa’ dalam kehidupan ekonomi minimal dari sektor usaha menengah ke bawah dalam masyarakat, agar mampu bertahan di tengah gejolak krisis ekonomi yang terjadi saat ini, dan supaya memunculkan ghirah gotong royong yang perlahan tapi pasti jika diterapkan akan mengikis budaya kapitalistik yang merugikan. (AN)
Wallahu a’lam bi shawab.