Petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemkab Tuban akhirnya menutup patung Dewa Perang Kongco Kwan Sing Tee Koen dengan kain putih pada 06 Agustus 2017 lalu (Kompas,8/8). Patung itu sebelumnya menuai polemik publik, dimana ada pihak yang pro dan kontra perihal penutupan dan pembongkarannya. Dari pihak yang pro pembongkaran mempunyai ragam pandangan yang berbeda-beda. Mulai mempermasalahkan izin bangunan dan kontribusi tokoh yang dibuat patung terhadap Indonesia. Namun, ada kelompok Islam tertentu yang menuntut penutupan dan pembongkaran patung dengan alasan akan membuat kita musyrik.
Ketakutan akan hilangnya sebuah keimanan kepada Allah Swt yang disebabkan oleh adanya patung atau produk kebudayaan tertentu bukan merupakan sesuatu yang baru dalam sejarah perkembangan Islam. Bahkan, kelompok yang demikian, sampai saat ini masih ada. Di Arab Saudi, yang kental dengan Salafi atau Wahabinya, berungkali menghancurkan situs-situs sejarah. Tidak tanggung-tanggung, bahkan makam Nabi Muhammad Saw pun akan dibongkar, jika itu ditakutkan akan mengikis keimanan dan membawa kepada kemusyrikan.
Kelompok Islam lainnya semisal ISIS. Kelompok ini beberapa waktu yang lalu sempat menguasai beberapa kota di Iraq, juga melakukan hal yang sama dengan menghancurkan situs-situs peninggalan sejarah peradaban Islam. Lagi-lagi alasannya masih sama, takut imannya rontok.
Di Indonesia, kelompok Islam yang seringkali teriak-teriak tentang bid’ah juga demikian. Tahlil bid’ah, Ziarah makam bid’ah. Kelompok ini seringkali beralasan bahwa ritual-ritual semacam tahlilan dan mendoakan orang yang meninggal dengan sekaligus ada tasyakuran makanan atau dalam kalangan orang jawa biasa disebut kenduri atau kenduren itu masih berbaur dengan tradisi Hindu Budha.
Padahal, tentang bagaimana seharusnya sikap Islam terhadap ritual-ritual kebudayaan ini sudah merupakan pertemuan yang purba di Nusantara. Sunan Kalijaga dan para Wali yang lain, sudah memberikan pelajaran dan pijakan dasar kepada kita bagaimana seharusnya kita berhubungan dengan sebuah kebudayaan. Seperti tahlil dan mendoakan keluarga yang sudah meninggal yang disertai kenduren sudah diracik dengan cerdasnya oleh para Wali Songo. Ritus yang awalnya merupakan tradisi dalam agama sebelumnya, kemudian didekonstruksi maknanya dan diubah tujuannya untuk menghilangkan unsur-unsur kemusyrikannya. Bahkan, Wali Songo menggunakan tradisi itu menjadi alat untuk berdakwah dan menyebarkan ajaran Islam. Bagaimana buktinya? Islam tersebar di bumi Nusantara tanpa ada unsur kekerasan sama sekali. Sebuah pembelajaran yang baik bagi kita semua.
Seperti juga yang pernah dilakukan oleh almarhum KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Suatu ketika, beliau diundang oleh Pimpinan Umum Koran Sinar Harapan untuk menghadiri ritual syukuran dengan membuang kepala Kerbau di Laut. Gus Dur sempat tertegun sebentar, ditakutkan itu merupakan sebuah ritual yang akan membawa kepada kemusyrikan.
Namun, setelah Gus Dur mengamati, ternyata dalam ritual itu tidak ada orang yang berkomat-kamit membacakan bacaan tertentu dalam ritual itu. Artinya, peristiwa itu tidak ada do’a maupun unsur kepercayaan yang menyertainya dan kemudian hanya menjadi sebuah ritual kebudayaan saja. Unsur kepercayaannya tidak terlihat disana.
Memang, untuk menentukan apakah suatu ritual-ritual tertentu membawa kemusyrikan ataukah tidak, kita harus berhati-hati dan teliti. Menurut Gus Dur perilaku seperti itu harus secara jeli apakah menjadi ritual kepercayaan yang mendatangkan kemusyrikan atau hanya ritual kebudayaan saja. Apakah sebuah ritual tersebut akan mendatangkan unsur kepercayaan dalam hati kita terhadap suatu ritual tersebut. Sebagaimana dalam Islam juga dijelaskan “Innamal a’malu binniyat”, segala perbuatan itu tergantung niatnya. Selama benda-benda fisik ataupun ritual kebudayaan tertentu tidak mengubah keimanan kita kepada Allah Swt, bukanlah menjadi sesuatu yang membahayakan bagi iman kita.
Begitupun dengan polemik Patung di Tuban. Masihkah kita takut keimanan kita akan terkikis hanya dengan masih berdirinya patung itu? Apakah sedangkal itukah keimanan kita kepada Allah Swt, sehingga kita takut akan kemusyrikan ketika patung itu berdiri. Kita harus banyak belajar kepada Gus Dur dan para Wali Songo mengenai ritus-ritus demikian. Supaya kita bisa memilah-milah mana keimanan dan mana hanya kebudayaan. Wallahhua’lam.
M. Fakhru Riza, penulis adalah Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dan Pegiat di Gusdurian Jogja.