Saya langsung merasa sangat emosional sesaat melihat sebuah postingan di Twitter. Kok berani-beraninya? Tanya saya dalam hati. Kemarahan itu muncul hanya beberapa saat setelah saya mengalami sebuah kemarahan lain.
Saat itu saya langsung menulis tanggapan. Gara-garanya, akun tersebut memposting ‘parodi’ logo organisasi keagamaan yang begitu saya cintai.
Logo jagad dilingkari ‘tambang’ (baca: tali) diubah dengan logo yang di tengahnya bergambar ekskavator. Warna utamanya yang hijau diacak-acak jadi merah.
Bukannya saya anti-merah. Lha wong saya ini fans Manchester United. Tapi mengubah warna logo yang keramat tentu sudah agak laen namanya.
“Saya tidak setuju dengan tambang, tapi mengolok-olok logo seperti ini sudah kelewatan.” Begitu kalimat singkat, padat, namun penuh luapan emosi yang terpampang di handphone saya.
Namun saya urung memencet tombol post. Saya mengalami situasi freezing. Membeku. Saya yang awalnya sangat marah dengan akun yang memposting logo itu, perlahan mulai masuk ke fase bertanya-tanya. Kenapa saya harus marah? Lebih tepatnya, apa yang sebenarnya penting untuk mendapat perhatian kemarahan saya?
Beberapa hari terakhir, saya memang kelelahan menyimak berbagai dinamika tentang konsesi tambang untuk ormas keagamaan. Saya bahkan gak habis pikir, dari mana ide ini bisa muncul? Dari banyaknya daftar permasalahan sosial keagamaan di akar rumput, mengapa justru ormas keagamaan malah disibukkan dengan urusan tambang?
Saya pernah menandatangani sebuah petisi agar perusahaan tambang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di Kalimantan. Teman saya mengajak terlibat dalam petisi itu. Musababnya, galian bekas tambang itu dibiarkan lalu menjadi ‘kuburan’ bagi banyaknya anak kecil.
Di lokasi yang lain, seorang teman bercerita bagaimana wilayahnya memiliki kualitas udara yang sangat buruk akibat aktivitas penambangan. Beberapa rekan di Sulawesi, Jawa Timur, dan lain-lain juga tengah melakukan pendampingan bagi warga yang tanahnya direbut untuk dieksploitasi atas nama pembangunan.
Dan, semua yang saya sebutkan itu bernaung di organisasi keagamaan yang sama dengan saya! Apa jadinya di masa depan, jika ormas keagamaan mendapat lahan tambang, umat malah berhadapan dengan organisasinya sendiri, yang seharusnya membela dan menaunginya?
“Justru jika dikelola oleh ormas keagamaan, bukankah tambang akan berjalan lebih baik?” Saya mencoba mencari pembenaran. Saya masih denial, berharap ada sisi positif dari konsesi ini. Namun watak tambang yang rakus dan merusak membuat harapan saya sia-sia. Agaknya, lebih mudah mempercayai Alejandro Garnacho lahir di Blitar daripada percaya ormas keagamaan bisa mengelola tambang dengan baik.
Lalu, kenapa saya dan banyak lainnya justru marah dengan logo? Sementara persoalan ormas keagamaan menerima konsesi lahan yang lebih substantif malah hilang dari perdebatan.
Mungkin ini yang disebut sebagai intuisi oleh Jonathan Haidt. Tokoh psikologi moral itu meyakini bahwa fitrahnya manusia itu tidak rasional. Berbeda dengan Kohlberg yang menyebut keputusan manusia didasarkan pada rasionalitas, Haidt justru memberi sisi kebinatangan manusia yang memutuskan sesuatu berdasar pertimbangan ‘sesuatu’, bukan pertimbangan rasional.
Ada ilustrasi menarik terkait dengan psikologi moral Haidt, yaitu gajah dan penunggangnya. Bagaimana cara membelokkan gajah? Penunggang gajah adalah perumpamaan untuk penalaran atau rasionalitas, sementara gajahnya adalah intuisi, emosi, dan identitas sosial. Unsur kedua inilah yang mampu menggerakkan manusia tanpa berpikir dua kali.
Pertimbangannya pun beragam. Setidaknya, Haidt menyebut ada enam pondasi moral yang mampu menggerakkan manusia layaknya gajah, yaitu kepedulian (care), keadilan (fairness), loyalitas (loyalty), otoritas (authority), kesucian (sanctity), dan kebebasan (liberty).
Saya kemudian menyadari bahwa saya terikat moral dengan organisasi keagamaan sehingga sangat terganggu apabila ada yang mengobrak-abrik unsur sakral dalam organisasi saya, seperti logo.
Perubahan logo itu membawa cluster perdebatan yang bahkan menggeser substansi dari pembahasan mengenai tambang untuk ormas keagamaan. Sebab, logo adalah bagian dari identitas sosial yang memiliki keterkaitan moral dengan banyak pihak.
Fikih Lingkungan
“Logo dirusak pada marah. Lingkungan dirusak pada diam saja.” Begitu ujar beberapa netizen. Bagi saya, antara logo dan tambang itu beda persoalan.
Tulisan Gus Ulil Abshar Abdalla di Kompas (20 Juni 2024) berjudul Isu Tambang, Antara Ideologi dan Fikih sedikit banyak menggambarkan bagaimana sikap sebagian anggota Ormas Keagamaan dalam memandang sebuah masalah.
Logo adalah identitas. Ia bersifat ideologis. Sementara sikap terhadap sebuah perdebatan adalah persoalan fikih. Saya pun mengamini pendapat Gus Ulil menyoal isu lingkungan bagi kalangan pesantren. Pertimbangan maslahat dan mafsadat berikut dalil yang disertakan memang jadi pakem dalam menerbitkan sebuah fatwa.
Yang masih misterius dari tulisan otoritatif Gus Ulil tersebut adalah pertanyaan besar, mengapa isu lingkungan masih diperdebatkan di kalangan pesantren sehingga muncul fikih seperti itu?
Di tulisan tersebut, Gus Ulil memang tidak memberikan kisi-kisi, clue, atau post credit layaknya di film-film Marvel. Ia mengajak pembaca untuk bersikap dewasa.
Bagi saya yang awam, saya mencoba berandai-andai. Pertama, pertimbangan maslahah dan mafsadah tidak melalui kajian sosiologis dan ekologis berdasar pengalaman masyarakat di daerah tambang.
Hal itu menjadikan maslahah dan mafsadat disederhanakan pada persoalan ekonomi. ‘Kalau dikelola Ormas Keagamaan kan dananya bisa dibuat hal baik untuk umat’. Pertanyaannya, umat yang mana? Umat yang terdampak langsung atau umat yang berdomisili ribuan kilometer dari lokasi tambang?
Kedua, fikih lingkungan (fiqhul bi’ah) memang masih belum mainstream di kalangan pesantren. Oleh karenanya, banyak pertimbangan-pertimbangan yang masih menggunakan pendekatan lama.
Ada catatan menarik di NU Online terkait pemikiran seorang tokoh pesantren KH. M. Ali Yafie yang mencetuskan fikih lingkungan. Rais ‘Aam PBNU 1991-1992 dan Ketum MUI 1990-2000 mewanti-wanti agar dalam menyikapi isu lingkungan, perlu diperhatikan pula dampaknya secara riil. Maslahah dan mafsadat tidak bisa hanya disandarkan pada pendekatan formal ala fikih ‘biasa’.
Kiai Ali Yafie meyakini bahwa kerusakan alam baik di daratan maupun di lautan itu terjadi akibat dosa yang dilakukan oleh tangan manusia berupa ekspansi pasar global-transnasional, obsesi pertumbuhan ekonomi nasional, ekonomi kapitalisme, dan peningkatan (ledakan jumlah) penduduk di dunia ketiga (NU Online).
Jika kita ingin mengadopsi pandangan Kiai Ali Yafie, sebelum lari jauh membahas maslahah dan mafsadat tambang, kita letakkan pertanyaan sederhana: apakah Ormas Keagamaan memiliki kemampuan mengelola tambang? Jawabannya hanya satu: tidak.
Oleh karenanya, menimbang maslahah dari semua perdebatan ini, serahkan segala sesuatu pada ahlinya. Kita kembali pada khittah masing-masing.
Ya, sewajarnya kita marah dengan logo itu. Gara-gara logo itu, orang malah meributkan hal-hal di luar substansi. Sialnya, hal-hal seperti ini justru yang lebih banyak mengundang pembahasan. Sementara penolakan terhadap konsesi lahan semakin terabaikan.
Kini saya khawatir gajah sedang diarahkan untuk berbelok dengan berbagai sentuhan moral. Jika itu terjadi, umat tidak lagi berhadapan dengan pengusaha atau negara dalam mempertahankan ruang hidupnya.
Mereka tidak lagi berhadapan dengan bedil atau pentungan aparat yang dikerahkan untuk merebut sejengkal tanah demi pembangunan. Mereka terancam menghadapi kata-kata mutiara dan doa masuk neraka dari kiai, pendeta, biksu, atau siapapun yang akhirnya tercebur dalam bisnis kotor ini.
Semoga kekhawatiran saya keliru. Semoga saja.