Mendengar istilah revolusi dalam benak pikiran paling tidak sebuah perubahan dan pergeseran sosial, budaya dan transformasi kehidupan manusia. Misalnya Koentjaraningrat, memaknai kata revolusi sebagai upaya untuk dapat hidup sesuai dengan nafas zaman dan perubahan kehidupan. Sehari hari misalnya kita mengenal istilah revolusi industri, masa di mana pergeseran kreatifitas diambil alih oleh kecanggihan robotik atau teknologi. Di mana hampir semua kesibukan, aktivitas dan kegiatan manusia sangat bergantung pada teknologi, agaknya kita malu dan gengsi jika tak dianggap modern.
Semua itu dampak dari pergeseran sosio-kultur dan tuntutan menata kehidupan modern yang sudah barang tentu harus maju, modern dan mampu berkompetisi. Namun, revolusi tak bisa hanya bangga pada perkembangan sains dan tekonologi, lalu manusianya dituntut kreatif dan mengubah pola pikirnya. Sekali lagi, tak hanya berpijak disitu, butuh sentuhan kemanusiaan yang memanusiakan manusia buahnya adalah keadilan, rasa saling menghargai, mengarifi perbedaan dan menjunjung martabat manusia. Dalam sebuah catatan Yudi Latif bahwa Bung Karno pernah kobarkan bahwa revolusi sejati adalah revolusi kemanusiaan. Sebab, apa artinya terlampau bangga pada kemajuan industri mampu berdaya sains jika manusianya tak dimanusiakan.
Lantas, bagaimana Islam memandang revolusi kemanusiaan itu sendiri? tak lain kita akan katakan revolusi kemanusiaan adalah cita-cita besar kenabian Muhammad selama 23 tahun lamanya, bukankah Nabi SAW hadir ditengah lorong gelap membawa cahaya benderang mengikis kejahilian? Ia juga hadir menerobos “penjajahan” terhadap perempuan dikalangan bangsa Arab dan membawa genderang persamaan harkat manusia.
Itu sebabnya, dalam ajaran Islam (baik al-Qur’an maupun hadis) seruannya kerap menggunakan ya ayyuha al nas (wahai sekalian manusia) bukan ya ayyuha alladzina amanu (wahai orang-orang yang beriman) sebuah bilik suara kemanusiaan yang didengungkan oleh Islam. Yusuf al-Qaradhawi katakan Islam datang bukan pada kelompok tertentu tapi semangat sosial dan kebersamaan, karenanya Islam menyeru pada semuanya bukan hanya orang Arab (yaa ayyuha al nas laa al a’rab) .
Islam memandang sama pada setiap orang karena dasar kemanusiaannya bukan identitas dan status sosial yang melekat pada dirinya. Husain Mu’nis mengatakan bahwa pondasi dasar yang diletakkan oleh Nabi SAW adalah setiap ajarannya baik dari al-Qur’an dan Sunnah adalah kebaikan manusia secara mutlak tak ada pengunggulan manusia atas manusia yang lain kecuali dengan standar moralnya (bahasa agama takwanya).
Besarnya cita revolusi kemanusiaan dalam Islam dibuktikan dalam khutbah haji wada’ atau “orasi” perpisahan Nabi SAW di padang Arafah ditengah ribuan sahabatnya yang tak lama setelah itu beliau wafat (berbagai pendapat jumlah pasti berapa sahabat yang hadir kala itu, ada yang menyebutkan 100 ribu-an ada pula 114 ribu-an). Pesan itu tegas dalam sebagian sabdanya yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Ibn Majah, “Sesungguhnya darahmu, hartamu, dan kehormatanmu itu haram tak boleh diganggu sebagaimana haramnya harimu ini, bulanmu dan di tempatmu ini”.
Di tengah gempita sahabatnya dalam khutbah Nabi itu ada tiga hal cita kemanusiaan berupa perlindungan bahwa tak boleh setetes darah nyawa manusia yang menetes, setiap manusia dijaga kehormatannya serta harta siapapun tak boleh diganggu atau dirampas. Itu sebabnya, setiap ajarannya menyimpan nilai nilai kemanusiaan dan perlindungan sebagai wujud maqashid al syari’ah (tujuan syariat).
Jika ditelisik lebih jauh, khutbah Nabi SAW pada saat haji Wada’ sejatinya ingin mempertegas dan memberi sinyal pada sahabatnya bahwa warisan yang ia perjuangkan setelah sudah tiada selama 23 tahun tak lain adalah perlindungan hak kemanusiaan yang mesti digaungkan dan dijalankan.
Sebab, pada masa inilah menjelang akhir kehidupan Nabi SAW, tak ayal sebagian sahabat menangis karena Nabi SAW sudah tak lama lagi. Alhasil nilai revolusi kemanusiaan yang diletakkan oleh Nabi SAW adalah tonggak pembangunan peradaban manusia sepanjang masa.