Memiliki buah hati adalah impian hampir semua pasangan. Dikatakan hampir karena ada pasangan yang tidak punya keinginan untuk memiliki anak (child-free). Memiliki buah hati tentu tidak mudah, banyak hal yang perlu dipersiapkan secara matang baik oleh suami maupun istri. Terkait dengan suami, ada pesan menarik yang diutarakan oleh Prof. Quraish Shihab untuk para suami. Pesan itu dapat dijumpai dalam penafsiran beliau atas Q.s. Al-Baqarah [2] ayat 223 yang terdapat dalam karya beliau, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an.
نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ مُّلٰقُوْهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Istrimu adalah ladang bagimu. Maka, datangilah ladangmu itu (bercampurlah dengan benar dan wajar) kapan dan bagaimana yang kamu sukai. Utamakanlah (hal yang terbaik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menghadap kepada-Nya. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang mukmin.”
Menurut Prof. Quraish Shihab, ayat di atas bukan hanya mengisyaratkan bahwa anak yang lahir merupakan benih yang ditanam oleh ayah, melainkan juga menegaskan bahwa istri hanyalah ‘penerima benih’, sebagaimana penggalan ayat (نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ) di atas.
Artinya, seorang suami jangan seenaknya menyalahkan istri ketika anak yang merupakan hasil dari benih yang ditanam olehnya (suami) tidak sesuai dengan harapannya. Karena hal itu di luar kendali istri. Misalnya, seorang suami yang menginginkan anak lelaki memarahi istrinya lantaran anak yang lahir ternyata perempuan. Selain memang sudah ketetapan Allah, secara ilmiah memang jenis kelamin jabang bayi memiliki banyak kemungkinan. Hal itu lantaran adanya perbedaan kromosom laki-laki (XY) dan perempuan (XX).
Selanjutnya, sebagaimana halnya petani yang memerhatikan musim tanam agar hasil panen maksimal, seorang suami juga harus memilih waktu yang tepat untuk ‘bercocok tanam’. Janganlah seorang suami memaksa untuk ‘memproduksi’ setiap saat. Ia juga harus memahami keadaan sang istri. Karena, menurut Prof. Quraish Shihab, kegiatan ‘bercocok tanam’ yang tidak memerhatikan waktu justru dapat merusak ‘ladang’.
Untuk ‘bercocok tanam’, tentunya seorang suami harus mempersiapkan dengan matang sebelum melakukannya. Prof. Quraish Shihab mengatakan, “Demikian pula suami yang menjadi ‘petani’, perhatikan istrimu, jangan tinggalkan dia sendirian, hindarkan dirinya dari segala gangguan. Berikan segala yang dibutuhkannya guna menyiapkan pertumbuhan dan perkembangan janin yang akan dikandungnya.”
Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa sebelum memutuskan untuk memiliki momongan, setiap pasangan, khususnya suami, harus melakukan pertimbangan yang matang. Selain kebutuhan ekonomi dan finansial, kesiapan sang istri juga harus diperhatikan. Karena istrilah yang akan mengandung calon buah hati. Apabila seorang istri merasa belum siap, baik secara fisik maupun mental, maka seorang suami tidak boleh memaksa. Karena kondisi calon ibu juga berpengaruh terhadap kondisi calon bayi.
Saat istri mulai mengandung, Prof. Quraish Shihab berpesan kepada para suami agar memberikan perhatian yang lebih kepada istrinya. Sebagaimana seorang petani yang terus ngopeni tanamannya selama masa pertumbuhan, demikian pula suami. Jangan hanya mau menanam benih tapi tidak mau merawatnya. Beri dukungan material maupun moral kepada istri.
Tidak berhenti di situ, setelah anak sebagai hasil ‘benih’ yang ‘ditanam’ lahir, kewajiban seorang suami adalah merawatnya. Prof. Quraish Shihab berpesan, “pelihara anakmu hingga dewasa agar kelak dapat bermanfaat untuk orang tua, keluarga, bahkan kemanusiaan.” Tentunya hal itu mencakup pemenuhan gizi dan nutrisi istri selama masa menyusui. Istri juga memiliki peran tersendiri selama masa tumbuh kembang anak.
Demikian pesan dan kesan yang terkandung dalam penamaan istri sebagai ladang tempat bercocok tanam (نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ) menurut Prof. Quraish Shihab. Penjelasan beliau di atas seharusnya menjadi perhatian bagi para suami maupun para calon suami yang sedang menyiapkan diri menuju jenjang pernikahan. Jangan sampai seorang suami hanya memikirkan ego sendiri tanpa memikirkan kondisi istrinya. Apalagi sampai berbuat semena-mena. Semoga Allah menghindarkan kita semua dari perbuatan zholim tersebut.
Di akhir tulisan, sebagai penguat dari pesan Prof. Quraish Shihab, izinkan saya mengutip pesan dari Dr. Lilik Ummi Kaltsum untuk para suami. Beliau menegaskan,”Istri jangan hanya dijadikan ‘tempat pembuangan cairan’ saja!”
Wallahu A’lam bis Showab. [NH]