Harus kita akui, kehidupan dunia maya menyita perhatian manusia dari dunia nyatanya sehari-hari. Energi dan pikiran kerap dicurahkan untuk menanggapi isu-isu yang mencuat di media massa maupun media sosial, lalu kerap muncul debat kusir maupun adu argumen yang kontra produktif. Caci maki dan kabar bohong sudah menjadi kudapan sehari-hari.
Media daring, baik media massa maupun media sosial, berperan menyebarkan informasi, maupun jadi alat propaganda. Bisa kita simak sekian pernyataan para orang penting negeri ini yang menyerukan permusuhan, atau kritik yang hanya berkesan mencibir saja, dalam bahasa kekinian: “nyinyir”.
Kaum intelektual dengan gelar mentereng, atau para cendekia dan aktivis, juga turut membuat kegaduhan dengan turut mencela keadaan – atau juga mencela pihak lain.
Seakan-akan saat ini, nyinyir adalah aktivitas kita yang begitu lumrah. Siapa pun bisa melakukannya, bahkan hingga sampai pada taraf mencela. Mencela pemerintah, mencela golongan yang berbeda, mencela keadaan yang tak sesuai dengan kepentingan pribadi atau kelompok, dan rupa nyinyir lainnya. Repotnya, dampak media ini, terbawa ke alam nyata. Pernyataan-pernyataan yang tak perlu, kerap terlontar dari diri kita lewat lisan dan perbuatan.
Tidak ada yang baru di bawah langit dunia ini, kata pepatah. Kejadian hari ini adalah sejarah yang berulang. Maka pada dasarnya nyinyir satu sama lain, telah terjadi sejak zaman dahulu. Bukan hanya di kalangan awam, kalangan ahli agama pun juga ada yang terjebak pada sikap mencela satu sama lain, baik karena sebab politis maupun perbedaan ideologi.
Imam asy-Syafi’i, begawan mazhab fikih yang dipakai secara luas di Indonesia ini, juga menyimpan keresahan. Dalam karyanya Diwanul Imam asy-Syafi’i, sajak-sajak yang dibuat tentu tidak lepas dari konteks keadaan pada zaman itu. ‘Alim yang wafat di Mesir ini, menulis:
نَعِيْبُ زَمَانَنَا وَالْعَيْبُ فِيْنَا # وَ مَا لِزَمَانِنَا عَيْبٌ سِوَانَا
Kita mencela zaman, padahal celaan itu ada di diri kita
Dan zaman itu tercela tiada sebabnya selain kita
وَ نَهْجُو ذَا الزَّمَانِ بِغَيْرِ ذَنْبٍ # وَ لَوْ نَطَقَ الزَّمَانُ لَنَا هَجَانَا
Kita mencela pemilik zaman, seakan tanpa dosa
Ketika zaman telah menunjukkan (realitanya), maka ia yang mengejek kita
وَ لَيْسَ الذِّئْبُ يَأْكُلُ لَحْمَ ذِئْبٍ # وَ يَأْكُلُ بَعْضُنَا بَعْضًا عَيَانًا
Tidaklah seekor serigala itu akan memakan daging serigala
Sedangkan kita, memangsa sesama dengan nyata
Agaknya tiga bait sajak dari Imam asy-Syafii tersebut mengetuk kesadaran kita, bahwa dengan celaan kita pada keadaan, patut disadari dulu apa benar celaan itu tepat, dan sejauh mana kekurangan diri sendiri telah terkoreksi.
Kritik tentu beda dengan mencela. Tujuan kritik adalah untuk memperbaiki keadaan, namun cela, hanya untuk mencibir kekurangan orang lain dan hanya membuat keadaan tidak semakin baik.
Laku nyinyir jelas bisa dilakukan siapapun. Orang terpelajar pun tak lepas dari tindakan ini. Sikap nyinyir, bisa kita masukkan satu sikap yang tak adil dalam pikiran. Di tengah kegaduhan abad maya dan arus informasi ini, maka sikap menahan diri, klarifikasi, mencari kejelasan sebelum berkomentar, menjadi amat penting. Nyinyir yang hanya akan menambah kegaduhan, akan menjadi celaan zaman yang nyata pada diri kita.
Petikan syair lagu Untuk Kita Renungkan karya Ebiet G. Ade kiranya bisa menjadi penutup yang pas untuk tulisan ini:
“Lihatlah ke dalam sebelum bicara
Singkirkan debu yang masih melekat.”