Mengapa ada orang muslim yang tega ‘menjual’ ayat-ayat Allah dengan harga yang murah? Pendorong terbesarnya bisa jadi ialah syahwat kekuasaan. Agama lalu dipolitisasi dan diideologisasi melalui mimbar-mimbar politik. Ayat-ayat al-Qur’an, hadits-hadits Nabi Saw, sirah nabawiyah, khazanah sahabat, kandungan fatwa mazhab-mazhab yang kita warisi, dan seluruh disiplin keilmuan yang telah membuat kita sebegini majunya, menjadi babak-belur diselubungi hasrat-hasrat politis tersebut.
Berpolitik bukanlah hal yang terlarang. Politik membantu kita dalam mengelola tata hidup suatu masyarakat dan bangsa-negara. Tanpa politik, perkara kemajemukan masyarakat juga akan menemukan masalah-masalahnya.
Jika kalian bepergian lebih dari dua orang, maka angkatlah salah satunya sebagai pemimpinmu, begitu tutur Rasulullah Saw. Ini bukti akan betapa pentingnya kepemimpinan cum perpolitikan dalam maksud mengatur dan menata kehidupa kolektif yang harmonis dan produktif.
Hari ini, wajah perpolitikan kita semakin jauh panggang dari tujuannya, khittahnya. Politik sunggu-sungguh lebih sebagai panggung pragmatisme untk memimpin, menguasai, kemudian memperkaya diri dan kelompoknya dengan serakus-rakusnya.
Butuh bukti lagi?
Bagaimana mungkin ada praktisi politik yang hari ini dengan tahun lalu berbeda gerakan politiknya hanya karena ia sedang berada di dalam limgkaran istana atau tidak? Bagaimana mungkin sikap politik yang lahir dari kedalaman rohani dan paradigma untuk menata-kelola kehidupan majemuk bangsa ini bisa berubah-ubah begitu terjalnya bergantung pada posisi elektoeral partai kita? Bagaimana mungkin dulu kita mengkritik suatu kelompok dengan tajam atas nama keadilan ekonomis, misal, lalu kini tertawa semeja dalam koalisi politik untuk menggolkan kepentingan politik yang telah terkompromikan?
Ini jelas pandangan nyata yang memilukan hati. Marwah politik kok jadi terkerucut pada adagium begini: tidak ada kawan atau musuh abadi dalam dinamika politik, karena yang abadi hanyalah kepentingan politik. Tragis. Tapi, inilah kenyataaan umum perpolitikan yang sedang berlangsung di negeri ini.
Pada kalangan aktivis politik yang begitu, kita bisa ajukan satu pertanyaan menohok: di kemanakan marwah rohaninya, Pak, Bu? Di kemanakan denyar-denyar vox populi vox dei yang kita anut selama ini? Di kemanakan ajaran-ajaran ‘politik dalam al-Qur’an’ yang kita tahu merupakan landasan syariat bagi praktik perpolitikan dan tata kelola kemasyarakatan kita?
Jawabannya takkan jauh dari gambaran ini: semua nilai esensial, hakiki, dan rohaniah itu telah ditukar dengan ‘politik dagang sapi’ alias bagi-bagi jatah kekuasaan, ekonomi, dan status sosial.
Nurani entah ke mana. Rohani entah tertinggal di mana. Dan narasi-narasi kemanusiaan, keadilaan, kemaslahatan hanyalah serpihan pepesan kosong yang aromanya sangat bacin.
Salah satu bidang yang dieksploitasi habis-habisan oleh para aktivis politik yang tela kehilangan rohani dan nuraninya itu ialah agama Islam dan umat Islam. Dikeruk sedemikian manisnya seolah-olah yang sedang dipanggungkan dan diperjuangkan adalah marwah Islam dan kesejahteraan umat Islam.
Tak tanggung-tanggung, politisasi dan ideologisasi (boleh Anda baca: faksionalisasi politik) Islam tersebut telah sampai pada level menjual ayat-ayat Allah. Silakan Anda cari ayatnya di awal-awal surat al-Baqarah, misal, lalu temukan ancaman Allah kepada siapa pun yang berperilaku begitu. Na’udzubillah.
Bukti nyata atas telah biasanya ayat-ayat Allah dijual demi elektoral politik –berikutnya jelas terwujudnya kursi-kursi politik dalam genggaman—di antaranya:
Pertama, membawa-bawa nama Allah Swt sebagai corong gerakan politik pragmatisnya. Bahwa Allah sedang melaknat si anu, Allah akan menghancurkan si anu, Allah ada bersama kita dan setanlah yang ada di antara mereka. Ini narasi lazimnya.
Bagaimana si narator tahu bahwa Allah sedang berada di pihaknya dan membenci pihak selainnya yang berbeda?Klaim. Mutlak itu hanyalah klaim yang kebenarannya sangat tak bisa dipertanggungjawabkan blas.
Kedua, ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mujmal alias mutasyabihat dikerucutkan tafsirnya sedemikian rupa untuk mengesahkan posisi dan kepentingannya sembari menyerang dan menjatuhkan posisi politik pihak lain. Kebenaran tafsir ini jelas tak bisa diklaim mutlak sama sekali alias pula tak bisa dipertanggungjawabkan berada di genggaman kanan dan karenanya yang di posisi kiri adalah sebaliknya. Ini sekali lagi hanya klaim yang pasti didorong oleh syah-syahwat politik kekuasaan yang penuh hawa nafsu.
Ketiga, mengesahkan cara-cara politik yang kotor, merusak, dan memecah-belah. Masyarakat muslim yang majemuk –apalagi bila ditambahkan populasi non-muslim yang notabene bagian dari bangsa ini—menjadi terkotak-kotak, terpecah-belah, atas dasar doktrin Islam yang dipolitisasi itu.
Lalu terbentuk opini publik: siapa yang memilih si A adalah musuh Allah. Calon ahli neraka. Dan siapa yang mendukungnya dan memilihnya berada di jalan Allah. Calon ahli surga.
Siapa yang tahu pasti perkara hak prerogatif Allah soal benar/salah dan surga/neraka itu? Kepongahan dan kelaliman macam apakah yang mampu menggerakkan mulut kita mendeklarasikan hal penuh konflik begitu?
Wajar saja bila dampak pepercehana di antara umat Islam sendiri bukanlah suatu kegelisahan lagi. Dianggap tak menyelisihi sama sekali lagi pada salah satu surat dalam Ali Imran yang mencegah dan melarang kita untuk beppecah-belah.
Yang penting, kami menang dan menguasai panggung-panggung kekuasaan politik.
Tak cukup dengan sekadar khutbah-khutbah, lalu dikemaslah lebih jauh tendensi-tendensi politik praktis itu dengan pesona-pesona lelaku syariat. Agar makin menghunjam di pikiran dan hati para khalayak muslim yang relatif mudah dibius oleh selebrasi-selbrasi syariat itu. Final tujuannya jelas hanya suara elektoral.
Anda mau menambahkan fakta-fakta lain yang mengenaskan seputar politisasi dan ideologisasi Islam dan umat Islam di kancah perpolitikan kontemporer kita? Silakan. Dipersilakan. Sudah pasti, contoh-contoh kelakuan menjual ayat-ayat Allah sejenis itu berlimpah ruah di sekitarf kita.
Apakah ini merupakan pertanda nyata betapa hari ini iman kita telah semakin rompal; hawa nafsu kita semakin merajai; dan nadiran (peringatan) yang dikandung dalam al-Qur’an makin tak membekas di hati dan pikiran kita?
Semua telah tahu jawabannya. Di atas semua itu, kendati hari ini masih terlihat musykil, mari tak putus asa kita doakan semoga praktik politik di negeri ini semakin tahun semakin bisa dewasa, intelek, dan terutama bersandar pada ketulusan rohani untuk fastabiqul khairat. Amin.
Wallahu’a’lam bis shawab.
Masjid An-Nur, Tegalsari, Jogja, 3 Mei 2018