Banyak kalangan mengutuk perilaku teror di antaranya ada satu keluarga. Kalangan pemuka agama bahkan hingga berbagai organisasi masyarakat pun turut mengutuk perbuatan pelaku bom dan mengatakan teror tersebut bukanlah ajaran agama yang ada dan perilaku tersebut bukanlah perilaku orang beragama.
Pernyataan “aksi keji ini bukan ajaran agama manapun. Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Tindakan keji ini adalah perilaku oknum umat” seakan menjadi viral sebab disuarakan serentak walau kadang berubah dengan beberapa diksi berbeda. Penyangkalan agama terlibat dalam aksi ini menurut saya adalah hal yang bisa menyesatkan, sebab penyangkalan akan menyuburkan ketidakmampuan meneroka permasalahan dalam diri Agama sendiri.
Agama dan identitas adalah isu utama dalam tulisan ini. Dua kata tersebut sebenarnya adalah hal yang tidak bisa dipisahkan sebab Agama itu adalah bagian dari identifikasi diri. Kaitan identitas teroris dengan salah satu agama masuk dalam persoalan identifikasi diri ini. Amartya Sen menuliskan dalam buku Kekerasan dan Identitas “Sejarah dan latarbelakang bukanlah satu-satunya cara untuk memahami diri kita dan kelompok pertalian kita. Terdapat begitu banyak ragam kategori tempat kita menjadi bagiannya secara serentak.”
Seorang manusia pada saat yang bersamaan memiliki aneka ragam kategori pertalian yang hadir secara serentak. Apa yang dimaksud Amatya dengan kategori pertalian ini? Amartya menuliskan ini untuk menggambarkan status yang bisa didapatkan oleh manusia dengan berbagai macam sebab. Seperti kelahiran, pendidikan, pekerjaan, agama yang dipeluk, aliran yang dianut, tugas yang diemban, dan lain-lain. Semua pertalian ini dianggap oleh Amartya bisa menggerakkan dan membuat keterlibatan.
Menjadi bagian dari masing-masing kelompok pertalian ini bisa menjadi penting bergantung pada konteksnya. Seorang manusia akan selalu diperhadapkan dengan posisi untuk memilih kelompok pertalian mana yang akan dipilih untuk diprioritaskan, di mana salah satunya adalah agama, walau kadang diantara kelompok-kelompok tersebut tidak timbul perselisihan. Oleh sebab itu, pilihan tetap tergantung pada manusia yang akan memilihnya tergantung pada konteksnya.
Di sini kita perlu belajar kepada Amartya Sen dalam memahami identitas dengan baik. Ada dua persoalan yang perlu kita pahami saat melihat persoalan identitas ini. Pertama, memahami identitas itu secara mutlak bersifat majemuk, bahwa taraf kepentingan suatu identitas tidak harus meniadakan kepentingan identitas lainnya. Kedua, seorang harus mengambil pilihan mengenai kepentingan relatif manakah yang harus diberikan, sesuai konteksnya. Seorang manusia akan menjalani sekaligus dua persoalan ini dalam kehidupannya.
Kembali ke persoalan teroris, saat aksi teror tanpa ada klaim penanggung jawab maka akan menempatkan aksi tersebut sulit untuk mengindentifikasi pelaku. Setelah pelaku diketahui maka biasanya akan dilihat afiliasi dan tujuan dari aksi yang telah dilakukan. Di sinilah problem identitas pelaku mulai dipermasalahkan. Sebab mengidentifikasi diri pada sebuah komunitas itu penting dalam hidup manusia dalam bermasyarakat. Saat identitas pelaku sudah bisa diidentifikasi bagian dari salah satu afiliasi maka biasanya kesalahan pelaku ditimpakan juga kepada afiliasi tersebut.
Analisa seperti ini disebut oleh Amartya Sen dengan “Kedunguan Rasional”. istilah ini diperkenalkan oleh Amartya Sen untuk menyebut mereka yang menganalisa identitas dengan menihilkan atau menampik sama sekali pengaruh rasa berbagi identitas apapun dengan orang lain, menihilkan apa yang kita beri nilai penting dan cara kita berperilaku. Selain itu juga untuk mereka yang mereduksi identitas pada sebuah “afiliasi tunggal”. usaha reduksi ini mengandaikan bahwa setiap orang, demi tujuan praktis, terkait hanya dengan satu kolektivitas saja, tidak lebih dan tak kurang.
Analisa tersebut disebut Amartya Sen sebagai “Kedunguan Rasional” sebab melihat manusia itu hanya dalam bingkai yang sempit. Manusia hidup dalam dunia yang selalu mewarnai diri dan perilakunya setiap masa sebagaimana dijelaskan oleh Sen di atas. Oleh sebab itu memandang pelaku teror itu bukan bagian dari agama Islam adalah yang salah, namun menyalahkan Islam sebagai unsur utama dan satu-satunya dalam membuatnya melakukan aksi teror tersebut juga hal yang salah.
Melihat identitas pelaku teror tersebut jangan sampai mempersempit pandangan kita. Perluaslah sudut pandang kita untuk membaca persoalan teror ini.
Jika ditanyakan apakah agama khususnya Islam bisa mewarnai manusia untuk melakukan aksi teror, maka jawabannya adalah sangat bisa. Sebab dengan tafsiran yang salah dan tertutup maka akan sangat mudah mempengaruhi seseorang melakukan aksi teror.
Di sinilah kita juga instropeksi diri apakah Islam atau agama apapun yang kita peluk selama ini ada mengandung ajaran yang mendorong keinginan untuk menyingkirkan orang lain dan melakukan aksi teror, maka singkirkanlah ajaran tersebut jika kita masih melihat bahwa semua agama itu suci. Satu hal yang juga perlu kita ingat, bahwa agama juga bukan satu-satunya hal yang bisa mendorong manusia melakukan aksi teror, banyak hal yang bisa melakukannya.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin